Rabu, 11 Mei 2011

Guru yang Menebarkan “Virus Menulis”


Kalaulah ada guru yang suka menebarkan “virus menulis” maka dialah Irzen Hawer namanya, guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Batipuh, Tanahdatar. Cobalah bayangkan, dalam waktu dua tahun (2009-2010) beliau telah merampungkan empat buah novel dengan ketebalan antara 250-300an halaman. Berarti dalam setahun dua novel ditulisnya. Ini luar biasa!

Sungguh saya terkaget-kaget dibuatnya. Di usia yang tidak lagi muda, malah “darah muda” itu baru kini datangnya. Saya saja yang genap berusia 30 tahun saat novel Prosa Cinta di Kota Serambi ini diterbitkan, hanya baru mampu merampungkan satu judul novel. Ingin menulis novel kedua terasa berat kepala. Tapi semangat yang ditularkan Irzen Hawer—maaf, izinkan saya memanggil nama saja—ini, membuat saya tertantang untuk mengejar ketertinggalan meski sejujurnya peluang untuk menulis banyak buku bagi saya lebih besar dibanding Irzen Hawer yang jauh usianya di atas saya. Konon lagi bagi pecinta sastra yang berusia di bawah saya.

Pelajaran berharga yang diberikan pengarang yang sukses dengan novelnya Cinta di Kota Serambi (2010) ini adalah bahwa mengarang itu benar-benar gampang. Dalam mengarang cerita, beliau sendiri berangkat dari pengalaman masa kecil, khususnya di masa-masa sekolah seperti yang terlihat di dalam Cinta di Kota Serambi. Pengalaman masa kecil itulah yang didramatisir sedemikian rupa sehingga benar-benar menarik dibaca. Memang, cara gampang mengarang adalah dengan mengambil sumber ide cerita terdekat dari diri si pengarang, itulah pengalaman impirik atau juga pengalaman orang lain yang dilihat si pengarang. Irzen Hawer sudah membuktikan cara itu sangat efektif.

Motivasi menulis novel diawali Irzen Hawer ketika di akhir tahun 2008 silam ia mendapat kesempatan mengikuti pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Saat itu ia bertemu dengan Ahmad Tohari pengarang Ronggeng Dukuh Paruk, novelnya yang terkenal itu. Dari diskusi-diskusi singkat dengan Ahmad Tohari, Irzen Hawer tertarik pula menulis novel. Siapa sangka, pada tahun 2009 terjadi revolusi pada dirinya, ia mampu merampungkan novel Cinta di Kota Serambi yang terbit di awal tahun 2010—diterbitkan Kuflet Publishing, Padangpanjang. Berkat novel itu dalam sekejap namanya melejit, ia pun dikenal banyak orang, dan tentu saja prestasinya itu membanggakan bagi SMA Negeri 1 Batipuh tempat ia menyiram ilmu kepada murid-muridnya, juga khususnya kepada Padangpanjang kota kelahirannya.

Sejujurnya, atas semangatnya menulis novel itu, saya ‘tersengat’ pula dan ‘merasa iri’ untuk mengikuti jejaknya. Saya memotivasi diri agar bisa menulis panjang, duduk berlama-lama di depan kumputer, juga membaca banyak buku untuk menambah perbendaharaan kata, agar dapat pula saya menulis novel seperti dirinya. Alhamdulillah, asal ada niat jalan pun terbuka, dan berhasil pula saya menulis sebuah novel lalu terbit pada pertengahan Januari 2011 di Yogyakarta. Adapun novel yang saya karang itu berjudul Rinai Kabut Singgalang, yang ceritanya tak jauh-jauh juga dari suasana kota Padangpanjang yang sejuk dan molek ini.

Usai Rinai Kabut Singgalang terbit, seorang warga Padangpanjang lainnya secara tidak terduga diam-diam menulis novel pula. Namanya Berlian Persada. Novelnya berjudul Lafaz Cinta dari Surga diturunkan secara bersambung di media online Korandigital.com. Novel Berlian ini dalam waktu dekat juga akan diterbitkan, menyusul sukses tiga novel yang telah terbit dan beredar luas ke tengah masyarakat (Cinta di Kota Serambi, Rinai Kabut Singgalang, dan Prosa Cinta di Kota Serambi). Dan tak hanya Berlian Persada, seorang siswi MAN/MAPK Padangpanjang bernama Mardhiyan Novita M.Z disaat ia masih duduk di bangku kelas 3, merampungkan pula sebuah novel berjudul Penyair Merah Putih lalu terbit di Jakarta (2011). Mardhiyan adalah siswa Sanggar Sastra Rumah Puisi Taufiq Ismail.

Nama-nama pengarang novel di atas adalah beberapa orang di antara sekian banyak warga Padangpanjang, yang saya kira, juga memiliki potensi yang sama di bidang tulis menulis dan perlu sama-sama diorbitkan. Eksistensi mereka adalah aset masa depan Kota Padangpanjang. Saya yakin banyak karya-karya besar lainnya yang ditulis oleh warga Padangpanjang namun belum mendapat kesempatan untuk diterbitkan. Semua potensi itu hendaknya menjadi perhatian serius banyak pihak, sebab dengan karya-karya mereka yang fenomenal dan dibaca banyak orang, nama Padangpanjang dengan sendirinya ikut terbawa harum. Andrea Hirata, pengarang Trilogi Laskar Pelangi sudah membuktikan hal itu. Hanya dengan menulis novel, Andrea Hirata telah mengangkat potensi Pulau Belitung kampungnya yang terpencil di tengah lautan, dan sekarang Belitung terkenal di mana-mana berkat Laskar Pelangi dan berbondong-bondong orang datang ke sana.

Tepatlah kiranya bila saya menyebut bahwa Irzen Hawer adalah seorang guru yang menebarkan “virus menulis” kepada banyak orang, memantik api semangat masyarakat untuk menulis, khususnya di Padangpanjang. Caranya ia membuktikan sendiri dengan menerbitkan novel-novel karangannya yang fenomenal dan diminati. Semua orang yang membaca kisah-kisah yang ditulisnya tertarik untuk mengarang lalu menerbitkan buku, sehingga semakin banyaklah warga Padangpanjang yang menulis buku.

Tahniah buat “Pak Guru” Irzen Hawer. Teruslah berkarya. Sesudah Cinta di Kota Serambi (2010) dan Prosa Cinta di Kota Serambi (2011) ini terbit, kita akan tetap menantikan karya-karya besarnya yang lain. Semoga.

*) Pengarang Novel Rinai Kabut Singgalang

Catatan:
Tulisan ini sebuah Prolog untuk Novel Prosa Cinta di Kota Serambi karya Irzen Hawer (2011)

Selasa, 22 Februari 2011

Lirik Lagu “Ode Rinai Kabut Singgalang by Muhammad Jujur


Resah ku menggema, mengganti duka nestapa
Apapun ku t'rima, semampu ku pendam
Tak sanggup ku terka, dan tak sempat ku bertanya
Diriku sendiri dalam sepi

Sunyi hati ini, sesunyi embun di gunung
Rinai kabut hati di puncak Singgalang
Aku pergi jauh melangkah di dalam sepi
Batu nisan ini lambang cinta

Cahaya redup kau terang menghias
Ku reguk... Tak kan ku lepaskan
Kau ku peluk... hening... sepi...
Janjimu, oh Rahima…
Walaupun di dunia ini kita terpisah
Ku nanti dikau di sana...
Cinta kita di dunia tak pernah nyata

Setiap waktu musim berlalu
Terkenang Rinai Kabut Singgalang
Menjadi saksi
Membisu….

(Song by: Muhammad Jujur)

(Videoklip “Ode Rinai Kabut Singgalang” dapat didownload di Youtube dengan mengklik tautan ini: http://www.youtube.com/watch?v=IF2P3EkL-8E)

Sabtu, 19 Februari 2011

Rinai Kabut Singgalang, Novel Baru yang Mengharu Biru


Salam Sastra!

Telah Terbit…!!!
Novel Berlatar Ranah Minang
“RINAI KABUT SINGGALANG”
Karya Muhammad Subhan
Terbit Januari 2011
Penerbit Rahima Intermedia, Yogyakarta
Tebal 396 halaman
Harga Rp 48.000 (Diluar ongkos kirim)
ISBN: 978-602-98158-0-1

Pesan Langsung ke Pengarangnya…!!!
Hubungi No Hp 0813 7444 2075 atau 0819 9351 6937
Atau via facebook: rinaikabutsinggalang@yahoo.com

Silahkan download lagu “Ode Rinai Kabut Singgalang” disini:
http://www.reverbnation.com/muhammadjujur

(Catatan: Bila info ini bermanfaat, kami sangat berterima kasih bila Anda berkenan menyebarkan pesan ini kepada rekan-rekan lainnya)

Salam kreatif!

*****

SINOPSIS NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG

Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatera Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang”, “orang di pinggang”, “orang yang tak berurat-berakar”. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medankota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orang tua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat. dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di

Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri mencari mamaknya (paman) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat paman Safri yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh─dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima─utamanya Ningsih (kakak Rahima)─ bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang”, “orang di pinggang”.

Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluhlantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas megabencana Gempa dan Tsunami (2004). Annisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan, begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak? Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong Ningsih ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian, dalam keterpiuhan perasaan lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak kepedihan.

Sampaikah Fikri dan Rahima bersua di kemudian hari ataukah pemuda malang itu hanya bertepuk sebelah tangan? Simak kelanjutan kisah yang mengharu-biru perasaan ini, dan menguras air mata dalam setiap babnya…

*****

SEJUMLAH ENDORSEMENT

Syarat sebuah novel adalah adanya konflik. Muhammad Subhan mampu membangun konflik yang kuat dengan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, hingga jalinan cerita mengalir bening. RKS mampu menerbitkan rasa penasaran untuk mengikuti cerita selanjutnya. Satu lagi yang memperkuat novel ini adalah setting, dan tradisi budayanya. Kearifan lokal dalam novel memang senantiasa mencipta aroma eksotik. (Dianing Widya Yudhistira, Novelis)

Awalnya saya tak percaya, ucapan Sutan Takdir Alisyahbana suatu hari, sastrawan besar akan terlihat dari novelnya. Memang, novel bukan ada cerita lantas sekadar ditulis. Ada riset, ada referensi, dan banyak lagi. Itu alasan STA. Dan Muhammad Subhan telah melakukannya dalam RKS, sehingga tidak kentara bahwa penulisnya adalah orang Aceh, karena terasa kaki Singgalang benar-benar tergambarkan dalam ceritanya. (Sutan Iwan Soekri Munaf, Penyair, Cerpenis)

Menikmati RKS, pengarang dengan cerdas mengelompokkan kata dalam latar, alur, dan konflik melalui para tokoh yang dihadirkannya. Sesungguhnya bila ditelisik lebih jauh, segala peristiwa merupakan realitas diri pengarang yang ditemuinya dalam lingkungan berkehidupan. Peristiwa inilah yang disebut realitas sastra. Kecerdasan novelis meramu tiga dimensi sastrawi; estetika-etika-logika yang ditransformasikannya sebagai medium pendidikan dan moralitas bagi pembaca. Ini yang membuat RKS berkualitas. (Sulaiman Juned, Penyair, Kolumnis, Sutradara Teater, Dosen Jurusan Teater ISI Padangpanjang)

Lebih dari sekedar romantisme kejayaan sastrawan Minangkabau, utamanya pada era Balai Pustaka, RKS menghadirkan kekhasan dan nilai-nilai etis-etnik Minang, dengan kelancaran berselancar di atas alur kisah dan tukikan emosi, kadang landai kadang curam. Tentunya dengan nuansa baru. (Muhammad Nasrudin, Editor, Pegiat Buku)

Roman eksotis-romantis ini tak jemu mengajak saya hanyut seturut panorama alam nan elok dari negeri bernama Minangkabau. Pengarang cukup lihai meracik keelokan alam yang berkelok-kelok naik turun “disebangunkan” dengan kelokan ketegangan-ketegangan di dalam kisahnya. Asmara yang mengharu-biru. Betapa serunut “adat” asmara tak memiliki setitik pun kuasa, melawannya alamat menuai derita tak tertanggungkan. Pengusiran, cerai persaudaraan, stigma buruk, bahkan dituduh sebagai penyebab kematian orang-orang yang ditinggalkan. RKS mengajak pembaca menikmati hingga tanda titik paling akhir dari cerita ini. (Akhiriyati Sundari, Ketua Komunitas MATAPENA Yogyakarta)

Rasa minang hadir dalam kisah perkisah RKS. Pengarangnya mengingatkan kita pada Hamka yang populer dengan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Kisah yang mengharubirukan perasaan. Bahasanya halus, pengarang berhasil mendeskripsikan perasaan yang mendalam para tokohnya, hingga tak dinyana pembaca bagai dihanyutkan oleh tragedi cinta yang amat sentimentil, tragis, dan berurai air mata. (Irzen Hawer, Pengarang Novel Cinta di Kota Serambi)

******

TENTANG PENGARANG

RINAI KABUT SINGGALANG adalah novel pertama yang ditulis Muhammad Subhan. Ia lahir di Medan, Sumatera Utara, berdarah Aceh-Minang. Sejak masih sekolah di SMP Negeri 6 Krueng Geukueh dan SMA Negeri 1 Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, ia sangat suka mengarang. Saat usia sekolah itu, sejumlah puisi, cerpen, dan artikelnya pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, Aceh.

Bakat menulisnya terus berkembang sejak tahun 2000 ia memutuskan menggeluti dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan di sejumlah suratkabar di Padang, Sumatera Barat, diantaranya; SKM Gelora, Gelar Reformasi, Garda Minang, Media WatchMimbar Minang (2003-2004), Harian Haluan (2004-2010). Pernah menjadi editor Harian Online Kabar Indonesia (www.kabarindonesia.com)Sabiliwww.korandigital.com yang berpusat di Belanda (2007-2010), dan kontributor Majalah Islam (2008-2010). Sejak April 2010 ia memimpin Media Online yang berbasis di Kota Serambi Mekah Padang Panjang. (2000-2003), Harian

Ia juga sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai pelatihan/seminar tentang kepenulisan/jurnalistik di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi. Selain wartawan ia bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar dan Koordinator Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi.

Beberapa puisi dan tulisannya terkumpul dalam antologi bersama, diantaranya; Lautan Sajadah (Antologi Puisi, Himabasindo FKIP/Universitas Muhammadiyah Padang Panjang, 2009), Ponari for President (Antologi Puisi, Malang Publishing, 2009), Musibah Gempa Padang (Antologi Puisi, eSastera Malaysia, 2009), G30S: Gempa Padang (Antologi Puisi, Apsas, 2009), Hujan Batu Buruh Kita (Kumpulan Liputan Perburuhan, AJI Indonesia, 2009), dan Melawan Kemiskinan dari Nagari (Buku Evaluasi Kredit Mikro Nagari yang ditulis bersama wartawan senior Asril Chaniago dan Ekoyanche Edrie, Bappeda Sumbar, 2009). Ia dapat dihubungi melalui surat elektronik di: aan_mm@yahoo.com atau Hp 081374442075. Add ia di facebook via email fb: rinaikabutsinggalang@yahoo.com.

COVER BUKU DAPAT DILIHAT DI: http://www.facebook.com/profile.php?id=100000023212114#!/photo.php?fbid=183580531652719&set=a.161592157184890.38374.100000023212114&theater

Salam Sastra!

Senin, 14 Februari 2011

Rinai Kabut Singgalang, Sebuah Novel yang Humanis

(Komentar Pembaca Novel Rinai Kabut Singgalang)

Sebuah novel yang humanis dan mampu memberikan inspirasi dan mengundang kita untuk berpikir serta merenungi makna kehidupan dan makna suatu perkawinan, juga makna dari 'harga diri'. Andaikan kita bisa lebih menempatkan sesuatu pada tempat yang tepat dan mampu memaknai kehidupan secara lebih terbuka maka berbagai tragedi kehidupan seperti yang dikisahkan dalam novel itu tentu tak perlu terjadi. Hidup memang perlu pemaknaan yang lebih luas dan dijalani dengan ikhlas karena tidak ada satu kejadian pun tanpa seizin Allah.

Manusia tidak harus menjadi 'hakim' atas setiap perjalanan kehidupan seseorang tetapi lebih baik sebagai bagian dari perjalanan yang penuh dinamika dan makna.

Mudah-mudahan novel tersebut dapat dibaca banyak orang dan pembacanya menjadi tercerahkan.

FB/49/Deltaco

Firdaus Badaruddin"

Dikirim ke Milis Silungkang

Jumat, 11 Februari 2011

Suatu Siang, di Kafe Samping Gedung Gramedia Padang

Catatan Tiara Mairani (Ala 'alaa Lazadouw)

Siang tadi, aku dan teman-teman mampir ke Toko Buku Gramedia di Jalan Damar Padang. Siang sangat teriknya. Udara membawa gerah. Kami berempat orang sepulang sekolah. Kawan-kawan mengajakku melihat-lihat novel terbitan terbaru di toko buku favoritku itu.

Maka bergegaslah kami masuk ke dalam gedung Toko Buku Gramedia yang besar. Di bagian rak buku-buku baru, aku dan teman-teman melihat novel-novel terbitan terbaru. Di sana ada Trilogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, ada Negeri Lima Menara dan Ranah 3 Warna karya A. Fuadi. Bersisian dengan novel Ranah 3 Warna karya A. Fuadi, ada novel yang covernya cukup menarik, novel itu berjudul Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan.

Aku sih sudah lama memiliki Rinai Kabut Singgalang (RKS). Langsung aku pesan ke penulisnya plus dapat tanda tangan unik yang diberikan Bang Muhammad Subhan. Sejak aku memiliki RKS, buku itu tak dapat sejenak diam di tanganku, terus berpindah-pindah tangan dari satu orang ke orang yang lain. Bahkan istri adik ibuku yang bersama keluarganya bertugas di Aceh, juga ikutan membaca RKS. Jadi RKS yang ditandatangani penulisnya langsung itu, tidak bersamaku lagi sekarang. Sudah terbang jauh meninggalkan Padang ke negeri Tanah Rencong.

Siang itu, sebagai pengganti novel RKS yang aku kirim ke Aceh, aku dan teman-teman membeli novel RKS yang baru di Gramedia. Tentu saja novel RKS yang berlabel plastik dan masih baru itu tidak ada tanda tangan penulisnya. Tapi tak apalah, suatu waktu nanti bila bertemu aku minta lagi tanda tangan penulisnya. Eh, tahu tidak, aku membeli RKS juga diikuti ketiga orang temanku. Mereka ikut membeli RKS, katanya tertarik ingin membacanya, seperti apa isi novel itu. Jadilah semua kami membeli RKS siang itu. Pokoknya heboh, deh!

Dan, seusai membayar pembelian novel itu di bagian kasir, kami menyempatkan singgah di sebuah kafe di samping Gramedia. Kami makan minum di sana. Tak jauh dari tempat kami duduk, ada tiga orang ibu-ibu yang rupanya habis membeli buku juga di Gramedia. Aku lihat di tangan mereka memegang Novel Ranah 3 Warna dan Novel Rinai Kabut Singgalang. Mereka pun aku dengar memperbincangkan kedua novel itu yang ditulis oleh putra Minang. Rupanya, baik novel Ranah 3 Warna dan Rinai Kabut Singgalang itu sudah cukup dikenal di Sumatera Barat.

Karena duduk kami berdekatan, tentu saja aku mendengar jelas perbincangan mereka. Kadang mereka tertawa dan berbicara serius mendiskusikan novel itu. Kata seorang ibu yang berpakaian PNS, “Anak-anak sekarang kurang bangga dengan karya-karya sastra negeri mereka sendiri. Remaja sekarang lebih suka baca novel-novel terbitan asing.” Pendapat ibu itu diaminkan oleh teman-temannya yang lain.

Wah, pokoknya asyik sekali aku dan teman-teman menyimak perbincangan ibu-ibu itu. Tidak aku sangka bila kami sejodoh, sama-sama menyukai kedua novel itu.

Karena hari kian sore, kami pun segera beranjak meninggalkan kafe itu dan berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing. Teman-temanku berjanji akan menamatkan membaca Rinai Kabut Singgalang dan mendiskusikannya di sekolah nanti. Buat Bang A Fuadi dan Bang Muhammad Subhan, selamat deh, karyanya cukup inspiratif dan aku turut bangga sebagai orang Minang yang memiliki penulis-penulis muda yang hebat. Aku semangat juga untuk jadi penulis, neh. Amin…

Padang, 11.02.2011

7 Tips Pemasaran Buku Produk Self Publishing

1. Hindari bertumpu pada promosi online

Semua penulis buku melakukannya. Kompetisi terjadi tidak hanya sesama penulis self publishing. Penerbit mainstream rata-rata memiliki situs yang memajang setiap produknya. Mereka gencar memberi insentif bagi blog-blog yang meresensi setiap terbitan terbaru mereka. Penulis indie cenderung menaruh harapan sepenuhnya pada promosi online. Anda bisa melihat status facebook dan timeline twitter dibanjiri oleh promosi buku. Buku anda berada diantara kerumunan pasar. Anda tidak punya ’sesuatu’ yang bisa membuatnya ‘menonjol’. Sebagai salah satu cara, bolehlah. Tetapi sebagai satu-satunya cara, jangan!

2. Manfaatkan Komunitas spesifik anda

Umumnya penulis indie dewasa ini berangkat dari blog. Saya yakin anda punya pembaca, yang lebih dari sekali mengunjungi laman maya anda. Coba buka dashboard —-> Comment. Lihat, di bawah nama pemberi komentar ada tersisip alamat email-nya. Inventaris semua. Lalu, buatlah satu file attachments berisi foto sampul buku, sinopsis buku & testimoni pembaca yang mirip sales letter. Kirim sekaligus kedaftar email tersebut. Mereka suka blog anda, mereka akan suka buku anda.

Jangan lupa berikan sentuhan pribadi berupa tandatangan dan seuntai kalimat bagi pembeli jadi. Sentuhan ini akan jadi kenangan yang memudahkan penjualan buku kedua anda kelak :) (karena tandatangan dan kalimat terima kasih dari penulis Dee Dee Sabrina, saya berjanji akan membeli lagi buku kedua-nya kelak)

3. Testimoni tokoh

Penulis umumnya -hanya- meminta testimoni dari sesamanya penulis. Dan butuh mukjizat bagi penulis pemula untuk memperoleh testimoni dari penulis ternama. Testimoni adalah ‘pengaruh’. Saya sendiri menghindari membeli buku yang halaman belakangnya dipenuhi testimoni. Oleh penulis itu-itu lagi, yang royal mentestimoni semua buku di bawah naungan penerbitnya.

Manfaatkan ‘testimoni tidak tertulis’. Dee Dee Sabrina menceritakan pengalamannya memberikan secara cuma-cuma bukunya pada salah seorang dosen sastra. Tak lama setelah membacanya, Dosen bersangkutan ‘mereferensikan’ buku antologi fiksi ‘ISI’ sebagai bacaan yang ‘wajib’ kepada para mahasiswanya.

4. Berdayakan Media lokal (koran dan radio)

Media konvensional seperti Koran harus diakui lebih punya kredibilitas ketimbang media online. Tingkat kepercayaan publik telah dibangun media tersebut selama bertahun-tahun. Pembaca mempercayai koran langganannya.

Koran biasanya punya halaman budaya pada edisi hari minggu. Anda bisa menemukan kolom resensi buku disebelah cerpen atau puisi. Setiap daerah pasti bangga atas setiap pencapaian prestasi warganya sendiri. Koran lokal umumnya punya keberpihakan untuk memuat sinopsis -atau resensi- buku dari penulis yang punya keterkaitan dengan wilayah penyebarannya. Media gemar menampilkan sosok yang bisa menginspirasi lingkungannya. Kirimkanlah satu jilid buku anda kepada redakturnya. Antar sendiri lebih bagus, disertai dengan soft copy berisi sinopsis atau resensi siap unggah ke hard disk redaksi.

Dee Dee Sabrina mengungkapkan bagaimana dia mendatangi rekan-rekannya di komunitas radio di kota stabat Medan, untuk menampilkan profilnya sebagai penulis muda dalam satu sesi siaran. Radio butuh berita, jadi win-win solution, bukan ?

5. Datangi bekas sekolah/kampus anda

Sumbangkan satu jilid buku anda untuk perpustakaan kampus. Lebih bagus lagi jika kampus anda punya media internal (majalah/bulletin/koran/radio). Buat satu forum dimana anda bisa berbagi pengalaman dan inspirasi kepada yunior-yunior anda. Bawa beberapa contoh buku untuk direct selling. Pembaca buku suka membeli langsung dari tangan penulisnya. Jangan shock bila mereka meminta foto dan tanda tangan, yah.

6. Stok buku

Ini tips dari Vira Cla. Dia sengaja membeli bukunya sendiri dalam jumlah yang cukup signifikan sebagai stock. Ini berhubungan dengan psikologi masyarakat kita, yang lebih nyaman bertransaksi dengan manusia ketimbang situs. Yang perlu diingat dalam penjualan online adalah kejelasan profil penulis yang sekaligus merangkap sebagai pemasar. Buat calon pembeli merasa ‘aman’ berhubungan dengan anda, baik melalui blog pribadi maupun akun anda di jejaring sosial. Lengkapi data-data dan foto pribadi anda di akun tersebut. Penulis dengan nama alias/samaran tidak punya tempat di era web 2.0.

7. Kirim buku anda ke editor/kritikus nasional

Ini tidak berdampak langsung bagi penjualan, tapi umpan baliknya bisa diluar dugaan. Manfaatkan fitur pencarian teman di Facebook anda. Cari nama-nama besar semacam Nirwan Dewanto atau Nirwan Ahmad Arsuka. Cobalah untuk berteman dengan mereka. Mereka adalah orang yang ramah. Jika interaksinya sudah dirasa cukup, kirimkanlah satu jilid buku anda kepada mereka. Minta mereka memberi masukan, semata-mata demi perbaikan bagi cetakan buku anda selanjutnya. Mungkin mereka tidak akan meresensinya di Kompas. Paling tidak dia memberikan apresiasi, penyemangat bagi anda. Syukur-syukur dia menuliskannya di status FB atau tweet di timeline mereka. Bila itu terjadi, siap-siaplah untuk bolak-balik ke kantor pos.

Sumber kutipan: http://halaqah.net/v10/index.php?topic=13964.0

Kamis, 10 Februari 2011

Prosa dan Semesta Luka

Oleh Damhuri Muhammad

SEJUMLAH pengamat sastra menuding “warna-lokal”─sebagai ultimate concern prosa yang muncul sejak beberapa tahun belakangan─tak lebih dari sekadar kerja ornamentasi dengan memancangkan diktum, terminologi, bahkan peribahasa khas lokal dalam teks, hingga sebuah prosa memerlukan sederetan catatan kaki guna menjelaskan maksudnya. Sebutlah misalnya, kumpulan cerpen Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (2009) karya Ragdi F Daye, yang penuh-sesak oleh ungkapan khas Minangkabau semacam “melepongkan,” ‘basilemak,” dan “manggoro,” yang bila tidak merujuk pada glosarium yang terukur tentulah bakal membuat kening pembaca berkerut─utamanya pembaca berlatar belakang non-Minangkabau. Modus dan siasat literer serupa juga dapat ditemukan dalam Bulan Celurit Api (2010) karya Benny Arnas, dengan diktum khas melayu Lubuk Linggau (Sumsel) seperti “Singup,” “Pudur,” dan “Tarup.” Begitupun diksi khas Bugis yang berseliweran dalam antologi cerpen “Mengawini Ibu,” (2011) karya Khrisna Pabichara.

Sekilas-pintas klaim itu barangkali ada benarnya. Namun, bila ditelisik lebih menukik, “warna-lokal” tidaklah sesederhana sebagaimana yang diduga. Mewabahnya jenis prosa dengan ekspresi estetik yang tegak-berdiri di atas “warna-lokal” sejatinya bukan tanpa sebab, tidak taken for granted, sebagaimana wejangan yang meluncur dari langit ke tujuh. Sebab paling absah adalah karena realitas “Indonesia” yang selama berkurun-kurun hendak diniscayakan sebagai fondasi kepengarangan para sastrawan bertumpah-darah Indonesia, kini rapuh─untuk tidak menyebut “telah runtuh.” Megaproyek yang dirancang oleh para founding of the fathers guna memancangkan “Indonesia” sebagai realitas universal telah gagal. Tak disangkal bahwa secara teritorial realitas “Indonesia” masih terang-benderang, tapi secara kultural, adakah seorang pakar yang sanggup membulat-lonjongkan sebuah definisi tentang “kebudayaan Indonesia?” Alih-alih mengunci sebuah pemahaman yang paripurna tentang Indonesia sebagai entitas universal, yang kerap bersilang-pintang dalam keseharian kita adalah Indonesia rasa Jawa, rasa Makassar, rasa Toraja, rasa Batak, rasa Aceh, dan seterusnya. Maka inilah sebuah kurun tempat segala bentuk totalitas dan universalitas dirobohkan. Sebuah episode sejarah ketika segala rupa partikularitas terus-menerus menyesak, “yang pinggiran” senantiasa merangsek masuk, “yang terabaikan” bermunculan seperti cendawan musim hujan.

Kaum filsuf pasca-modernisme menyebut “yang partikular,” “yang pinggiran,” “yang tak terperhatikan” itu sebagai “yang lain” (the others). Bagi mereka, entitas “yang lain” (Minang, Batak, Bugis, Banjar, Toraja, dll) itu harus di-“afirmasi,” diakui, dihargai keberadaannya. Bila tidak, ia akan terus mengancam, dan menjadi benalu dalam entitas universal bernama “Indonesia” itu. Dalam kacamata pasca-modernisme, tidak ada pusat, tidak ada pula pinggiran. Semuanya berjalin-kelindan dalam sebuah jejaring permainan tanda bernama: Simulakra. Tak ada makna tunggal dalam lingkaran Simulakra. Sebab, makna selalu tenggelam─atau menenggelamkan diri─dalam keberbagaian pengalaman baca dan tafsir yang tiada berhingga. Differance, begitu Jacques Derrida (1930-2004) menamai kompleksitasnya.

Maka, baik “Indonesia” maupun “warna-lokal” tidak sebatas kata-kata, bukan pula benda-benda, artefak, melainkan “peristiwa” yang terus berubah, bermetamorfosa, beralih-rupa, dan oleh karena itu, akan terus ditunda kuasa tafsir tunggalnya. Di-“dalamkurungkan” semua asumsi dan presuposisi tentangnya. Epoche, begitu fenomenolog Edmund Husserl (1859-1938) menamainya. Namun, bila teks prosa melulu disibukkan oleh hasrat asali hendak merobohkan fondasi dan kedigdayaan pusat atau “yang universal,” sebagai karya artistik, di manakah pendekatan estetik dapat dilekatkan? Ini pertanyaan yang perlu segera didudukkan, karena selama ini terminologi “estetika” selalu identik dengan ukuran indah-buruk. “Estetika” berasal dari kata “aesthesia” yang berarti “kesadaran” (sensibility). Di dunia medis, kita mengenal suntikan “an-aesthesia” (“hilangnya kesadaran)” bagi pasien yang akan dioperasi. Berangkat dari situ, filsuf Jacques Ranciere dalam Disensus, On Politics and Aesthetics (2010) menegaskan bahwa estetika tidak ada hubungannya dengan parameter indah-buruk. Maka, seni yang berpijak pada fondasi “mimetik” (Plato) dan fondasi “etic” (Arisoteles), bagi profesor bidang estetika di Ecole Normale Superieure, Paris itu sudah lapuk. Ranciere menyebut orientasi “mimetic” dan “etic” dalam ekspresi seni sebagai aesthetic regime of art, dan karena itu harus dirobohkan. Baginya, dunia seni tidak lagi berperan menggambarkan realitas fakta-fakta keras, atau mengejar konsekuensi etis bagi para penikmatnya, melainkan sebagai upaya meredistribusikan kesadaran (redistribution of sensibility), termasuk kesadaran melawan aesthetic regime of art, dan kuasa tafsir tunggal.

Novel Rinai Kabut Singgalang (2011) karya Muhammad Subhan ini sedang meredistribusikan kesadaran terhadap luka personal untuk kemudian menjadi luka yang jamak dirasakan para pembacanya. Disebut “meredistribusi,” karena sebelum dituliskan, luka itu telah terdistribusi ke dalam imaji pengarang. Kata “rinai” pada redaksi judulnya mengingatkan saya pada sebuah lagu pop Minang bertajuk Rinai Pembasuh Luka. “Rinai” yang secara harfiah berarti “gerimis” tampaknya diarahkan pada maksud metaforik: membasuh luka yang bakal terus berdarah. Betapa tidak? Peristiwa luka yang dialami Fikri (tokoh utama) seperti menapaktilasi kembali luka yang pernah dialami ibu-bapaknya di masa lalu. Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Padang) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekat menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang,” “orang di pinggang,” yang tak berurat-berakar. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orangtua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa, lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.

Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Diceritakan, Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Di titik ini, ada perubahan paradigmatik dalam konsep merantau. Bila di masa lalu, merantau adalah pergi menuju sesuatu, tapi perantauan Fikri adalah sebuah ikhtiar meninggalkan sesuatu; luka. Riwayat perjalanan Fikri dimanfaatkan pengarang untuk merekam jejak-luka yang pernah menimpa ibunya, Maimunah. Di Pasaman, Fikri sempat merawat paman Safri─di Padang disebut “mamak─yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh─dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima─utamanya Ningsih (kakak Rahima)─bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang,” “orang di pinggang.” Menurut hemat saya, alibi yang mengatasnamakan adat itu tampaknya tidak lagi terlalu penting, sebab alasan inti dari penolakan itu adalah karena Fikri laki-laki miskin. Di titik ini pengarang tidak saja melakukan redistribution of sensibility, tapi juga berupaya mengekalkan persepsi tentang luka itu dari pangkal hingga ujung novel ini. Jacques Ranciere menyebut upaya kreatif semacam ini sebagai petrification, membatukan pengalaman personal untuk menjadi kesadaran orang banyak.

Dari sisi kebaruan, novel ini belum terlalu menjanjikan. Sebab, eksplorasi tematiknya lebih banyak bergelimang dengan hal-ihwal usang yang dalam roman-roman karya pengarang Minang tahun 40-an sudah ramai diperbincangkan. Sebutlah misalnya roman-roman karya Buya Hamka seperti Merantau Ke Deli (1940) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939). Garis identifikasi tematiknya lebih kurang sama, meski latar-tempatan dan waktu pengisahannya berbeda. Sebentuk stok baru dari barang lama. Namun, pencapaian estetika novel tentu tidak bisa ditimbang semata-mata dengan aspek kebaruan. Oleh karena itu, kedalaman galian Rinai Kabut Singgalang, sesungguhnya dapat ditandai dengan upaya Muhammad Subhan dalam mempertahankan identitas roman berlatar alam Minangkabau yang belakangan mulai terabaikan. Nestapa cinta Fikri dan Rahima boleh jadi setali tiga uang dengan kasih tak sampai Zainudin dan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tapi romantika semacam ini dapat mengingatkan kembali bahwa keistimewaan roman berlatar lokalitas Minangkabau memang dapat tertandai di titik ini. Resistensi terhadap adat-istiadat, ketersingkiran kaum laki-laki lantaran kuatnya tikaman “garis ibu,” dan konsep keterusiran yang dilemah-lembutkan dengan terminologi “merantau.” Muhammad Subhan, sedang berusaha melakukan konservasi ingatan dan kenangan terhadap peristiwa-peristiwa penting yang terus bergejolak di bawah permukaan.

Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluhlantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas megabencana Gempa dan Tsunami (2004). Anisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan, begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak? Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong suaminya ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam keterpiuhan perasaan. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak kepedihan.

Penggambaran semesta kepiluan dan dukalara Fikri yang begitu dramatik─Fikri bahkan sempat berkeinginan menenggelamkan dirinya ke laut─dan sesekali berpola sinetronik, menurut hemat saya bertolak belakang dengan militansi dan watak pantang-menyerah laki-laki yang tumbuh-besar di bumi Serambi Mekah. Pada bagian eksplorasi kesedihan, Fikri tampak sebagai laki-laki yang gampang sekali menangis dan berlarut-larut dalam kesedihan. Sangat berbeda dengan watak Sidan, tokoh rekaan dalam Nirzona (2008), novel berlatar Aceh karya Abidah el-Khalieqy. Keras, tangguh, dan tak gampang dihempas gelombang.

Padahal, di penghujung kisah, Fikri menjadi laki-laki yang terlahir kembali. Ia pengarang tersohor, bahkan salah satu novelnya akan dilayar-lebarkan. Alur kisah yang mengingatkan saya pada ketokohan Zainudin dalam Tenggelamnya Kapal Vander Wick, yang pada akhirnya sukses sebagai dramawan terkemuka. Pada salah satu bagian tentang keberhasilan Fikri dituliskan “Hamka baru lahir kembali di Padang,” memperlihatkan obsesi kepengarangan yang terdorong oleh kekaguman pada riwayat kepengarangan Buya Hamka. Kabar tentang keberhasilan Fikri membuat Ningsih (orang yang telah memisahkannya dengan Rahima), tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Lagi pula, pada saat yang sama, Rahima sedang tertimpa masalah; suaminya menjadi tersangka korupsi, dan bunuh diri di penjara. Sejatinya, rasa cinta Fikri pada Rahima tiada bakal punah, meski pengkhianatan itu sukar ia lupakan. Atas dasar itu pula Fikri memenuhi undangan Ningsih untuk datang ke Jakarta, perempuan itu hendak mempertemukan kembali “kasih tak sampai” yang telah membuat perasaan Fikri-Rahima tercabik-cabik. Namun, novel ini disudahi dengan cara sangat tragis, kepulangan Ningsih, Rahima, dan Fikri bukan kepulangan yang membahagiakan. Pesawat yang mereka tumpangi tergelincir. Rahima selamat, tapi Fikri mengalami geger-otak, dan karena itu ia merasa tak memenuhi syarat lagi untuk menjadi suami Rahima. Ia meminta sejawat karibnya, Yusuf, untuk menikahi Rahima. Saat ijab-kabul pernikahan itu berlangsung, Fikri menghembuskan napas penghabisan. Begitulah. Lantaran pada mulanya luka, pengarang pun menimbun romantikanya dengan luka.

DAMHURI MUHAMMAD
Cerpenis, esais Alumnus Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada Bermukim di pinggiran Jakarta

Sabtu, 05 Februari 2011

Email Seorang Pembaca Novel "Rinai Kabut Singgalang"

Friday, February 4, 2011 9:33 AM
From: syamri_can@yahoo.com
Add sender to Contacts
To: aan_mm@yahoo.com

Ass, Bang Subhan. Maaf baru ini saya sempat menuliskan sebaris dua baris kata buat abang. Seperti yang saya konfirmasikan lewat sms kemaren, saya sangat kagum dan tertarik akan novel Anda yang berjudul "Rinai Kabut Singgalang". Saya selama ini memang sangat memuji buku-buku karangan Buya Hamka, bahkan untuk mendapatkan buku yang berjudul "Merantau ke Deli" saya harus bersusah payah untuk terbang ke Yogjakarta.

Dengan membaca buku karangan abang saya tersa membaca ulang Novel karangan Buya Hamka yang berjudul "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck". Saya kira selama ini tidak akan ada lagi orang yang akan menulis dengan gaya tulisan Buya Hamka. Semoga abang tidak berhenti menulis sampai disitu. Saya berharap bakat menulis abang juga bisa dikembangkan ke buku-buku yang lain. Terus terang dengan membaca novel abang saya terbuai pada masa-masa yang saya sendiri tidak akan tahu kapan terjadinya. Selama ini saya memang menyukai novel dengan gaya penulisan yang berlatarkan budaya, seperti novel karangan Buya Hamka dan Andrea Hirata.

Saat ini saya juga lagi mencoba belajar menulis, namun belum dapat tersusun secara sistematis. Maklum sajalah bang. Oh ya, saya berharap suatu saat nanti kita bisa bertemu dan berdiskusi lebih lanjut tentang berbagai hal. Saya juga berharap abang tidak keberatan untuk menerima salam perkenalan dari saya:

Nama: Syamri
Tempat tgl/lahir: Koto Salak, 10 Oktober 1982
Kota sekarang: Dharmasraya
Hp 0813 74 55 43 89

Saya juga berharap abang dapat memberikan saya info-info terbaru yang bersifat membangun lewat fasilitas email ini. Sekian dulu ya bang, semoga di kesempatan yang lain kita masih dapat menyambung silaturrahmi kita. Amin.

Wassalam
Syamri

Inilah balasan email dari saya:

Waalaikumussalam...

Syamri, senang sekali saya menerima email ini. Terima kasih telah memberikan apresiasi terhadap RKS, novel perdana saya. Sebagaimana kekaguman Syamri terhadap Buya Hamka, demikian pula halnya saya. Seluruh buku-buku yang ditulis Buya Hamka, sangat suka saya membacanya. Bahasanya halus, hanyut kita membaca hingga titik ke penghabisan. Memang sudah jarang buku-buku bergaya tulisan Buya Hamka, karena perubahan zaman yang kian pesat.

Sebagaimana harapan Syamri, insya Allah sesudah RKS saya sedang berupaya menerbitkan novel kedua, namun masih dalam proses penulisan. Doakanlah saya mudah-mudahan segera rampung novel itu dan dapat menemui pembacanya.

Oh ya, besar harapan saya bila Syamri berkenan mempromosikan RKS ke kawan-kawan lainnya, baik di Padang maupun di Dharmasraya agar manfaat novel ini dapat lebih luas dirasakan semua orang. Bila pun tidak ada manfaat, tapi setidaknya RKS mudah-mudahan dapat ikut mewarnai jumlah sastra modern yang saya bumbui gaya penulisan klasik.

Sekali lagi terima kasih. Salam saya buat keluarga.

Wassalam
Muhammad Subhan