
Oleh: Muhammad Subhan
Bicara soal promosi pariwisata, agaknya hanya Bali yang belum terkalahkan. Meski kunjungan wisatawan membludak setiap hari, Bali tidak pernah berhenti mempromosikan pariwisatanya di halaman media-media nasional. Bahkan beberapa bulan terakhir, di layar Metro TV, berulang kali pesona keindahan Pulau Dewata itu diiklankan. Semakin dipromosikan semakin tak tertandingi saja Bali dari daerah-daerah lainnya di Indonesia yang “mengaku” sebagai daerah tujuan wisata.
Bahkan, setiap kali membuka halaman email, saya menemukan di dinding advertiser sekotak iklan yang menggambarkan icon bangunan adat Bali, juga beberapa wajah laki-laki Bali dengan busananya yang khas. Bali tidak saja mengiklankan dirinya di media cetak, elektronik, namun juga menyelami laman-laman di situs-situs internet, termasuk google, yahoo, facebook, twitter, serta berbagai situs pariwisata dunia.
Selain Bali, juga di layar kaca televisi nasional, Provinsi Jawa Barat tak mau ketinggalan mempromosikan potensi pariwisata daerahnya. Disusul Bontang, sebuah kota industri di Provinsi Kalimantan Timur yang turut ‘bagak’ menawarkan pesona keindahan alamnya. Belum lagi Belitong yang dikenal sebagai Negeri Laskar Pelangi yang mencuat namanya berkat novel tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang cukup fenomenal. Serta beberapa daerah lainnya yang berlomba-lomba mempromosikan pariwisata daerahnya baik untuk merayu kunjungan wisatawan ataupun sekedar menawarkan investasi di berbagai bidang.
Gencar sekali daerah-daerah itu mengiklankan potensi pariwisata mereka di media cetak/televisi nasional, yang tentu saja pemerintah daerahnya tidak sedikit mengeluarkan uang untuk membayar biaya iklan. Tapi uang yang keluar itu agaknya bukan persoalan, sebab timbal baliknya akan lebih besar. Bali misalnya, sebesar apapun uang yang dikeluarkan untuk membiayai iklan di media-media nasional maupun internasional, Bali akan tetap untung, sebab uang terus berputar tiada henti di daerah ini.
Tentu saja, kesuksesan Bali hari ini adalah proses panjang yang telah dilakukannya selama puluhan tahun. Bali benar-benar menjaga citra daerahnya sebagai tujuan pariwisata, sangat menghargai wisatawan karena mereka sadar bahwa wisatawan adalah sumber uang yang menghidupkan Pulau Dewata itu. Jika citra itu tidak dijaga alamat orang tidak bakal berkunjung lagi. Hidupnya sektor pariwisata, dengan sendirinya mendukung dan menghidupkan sektor-sektor lainnya, khususnya perdagangan dan jasa.
Lalu bagaimana dengan Bukittinggi? Agaknya belum terdengar apalagi terlihat di layar kaca nasional Bukittinggi mengiklankan daerahnya sebagai tujuan wisata nasional. Padahal, di Sumatera Barat, Bukittinggi telah ditetapkan sebagai destinasi wisata. Bahkan orang lebih mengenal Bukittinggi dari daerah-daerah lainnya di Ranah Minang. Kalau boleh cakap, Bukittinggi baru dikenal dari mulut ke mulut, lalu disebarkan dari satu orang ke orang yang lain, disamping ‘mendapat berkah’ bantuan promosi orang-orang Malaysia yang sering datang berkunjung ke Bukittinggi lantaran adanya kedekatan emosional.
Bahkan, kabar yang kurang enak terdengar di telinga, ada ungkapan begini, “Bukittinggi tidak perlu dipromosikan, orang akan datang dengan sendirinya”. Kabar ini, tersebut dari mulut ke mulut, tidak mengenakkan dan sangat mengganggu pikiran para praktisi pariwisata maupun pihak-pihak yang peduli terhadap masa depan pariwisata Bukittinggi. Maka, salah satu solusi untuk menghapuskan image itu, Bukittinggi harus membuktikan bahwa daerah ini benar-benar ‘punya uang’ untuk mengiklankan potensi pariwisatanya di media-media nasional bahkan internasional.
Memang, sejumlah persoalan klasik yang cukup pelik masih belum terpecahkan di kota ini, seperti permasalahan sampah yang seringkali mengganggu pemandangan, masalah minimnya tempat parkir plus ulah oknum tukang parkir yang memungut di atas tarif wajar, hingga persoalan pedagang yang ‘memakuak’ harga hingga membuat pening kepala wisatawan. Turis-turis asal Malaysia seringkali menjadi korban akibat ulah oknum pedagang itu, yang tidak menyadari kelakuannya telah merusak citra Bukittinggi sebagai daerah tujuan wisata.
Semua permasalahan ini tentunya kelak tidak lagi terjadi jika Bukittinggi 2010 mendatang dipimpin oleh seorang walikota yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pariwisata Bukittinggi. Tentu, siapapun yang memimpin kota ini ke depannya, figur yang dirindukan adalah yang memiliki kebijakan benar-benar bijak memecahkan semua persoalan tetek-bengek terkait sektor pariwisata itu. Sebab, jika tidak demikian, Bukittinggi suatu saat hanya cukup untuk dikenang, lalu dilupakan orang. Semoga saja tidak. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar