Sabtu, 15 Januari 2011

Menerima Hadiah Buku dari Gubernur Sumbar


Mendapat kehormatan dari Gubernur Sumatera Barat, menerima buku karangan beliau yang diserahkan di hadapan 500an peserta Seminar Internasional "Saatnya Guru Menulis", Minggu 12 Desember 2010, di Graha Serambi Mekah Padang Panjang.

Bang OP, Selamat Jalan…


Catatan Muhammad Subhan

Selasa malam, 23 November 2010, telepon genggam saya berdering tanda ada pesan masuk. Saya buka pesan itu, pengirimnya dari Kanda Adeks Rossyi Mukri, Ketua PWI Bukittinggi. Saya sangat kaget membaca isi pesan Kanda Adeks yang mengabarkan bahwa Bang Osman Poerba, mantan wartawan Harian Singgalang telah berpulang ke Rahmatullah, Selasa siang (23/11), pukul 13.45 WIB usai menikahkan anaknya.
Innalillahi wainna ilaihi raajiuun….

Sungguh, saya tak menduga Tuhan begitu cepat memanggil Bang OP—demikian saya akrab menyaba Bang Osman Poerba—untuk kembali kepangkuan-Nya. Ketika di awal tahun 2007 saya diamanahkan Pemimpin Redaksi Harian Haluan sebagai Korda Haluan Wilayah Bukittinggi dan sekitarnya, hampir setiap hari saya bersua Bang OP, khususnya saat rehat membaca koran di ruang Humas Pemko Bukittinggi. Dia ‘tidak murah’ senyum, tepatnya pendiam, tapi dia sangat baik. Selalu menyapa saya lebih dahulu, “apa kabar,” katanya ramah.

Selanjutnya perhubungan saya dan Bang OP layaknya persahabatan sesama rekan wartawan ketika bertugas di lapangan. Tapi ketika itu Bang OP sudah tidak produktif lagi menulis lantaran penyakit stroke yang merenggut kesehatannya. Berhari-hari ia terbaring sakit. Bahkan kawan-kawan PWI Bukittinggi dan Pemko Bukittinggi berinisiatif merawat Bang OP ke Malaysia. Rupanya, sejak lama Bang OP dan PWI Bukittinggi telah menjalin kemitraan yang cukup erat dengan rekan-rekan wartawan di negeri jiran itu, sehingga Bang OP pun mendapat kesempatan berobat di Malaysia dengan penjagaan pihak Malaysia. Dalam dokumen komputer kantor saya di Bukittinggi, sempat saya menyimpan foto Bang OP saat dirawat itu, tapi sayang sekarang entah kemana foto itu.

Di tahun 2008—saya lupa bulannya—saya bersua kembali Bang OP di Bukittinggi. Sakit strokenya berangsur pulih meski ia harus berjalan dengan dibantu sebuah tongkat. Ia tidak dirawat di Malaysia lagi. Semangatnya yang tinggi membuat gairah hidupnya tumbuh. Di ruang humas Pemko Bukittinggi pula, Bang OP bercerita kepada saya akan cita-citanya untuk membuat film dokumenter Buya Hamka. Ketika menyebut nama Buya Hamka itu, cerah wajah saya. Sebab sebulan sebelum bersua Bang OP, saya sempat menyinggahi Rumah Kelahiran Buya Hamka di Sungai Batang, Maninjau.

“Nanti Subhan saya ikutkan jadi pemeran pembantu, memanggil orang sembayang ke surau,” ujar Bang OP kepada saya saat itu. Tentu saja saya tersenyum, entah apa alasan Bang OP mengajak saya untuk menjadi “aktor” walau sebagai pemeran pembantu dalam film dokumenter yang akan digarapnya itu. (Saya tidak tahu apakah film dokumenter itu jadi dibuat Bang OP atau tidak).

Seminggu kemudian saya bersua kembali Bang OP. Dia baru kembali dari Maninjau, mengunjungi Rumah Kelahiran Buya Hamka. “Pak Afif kirim salam,” ujarnya. Pak Afif adalah pengelola Rumah Kelahiran Buya Hamka yang konon masih ada hubungan kekerabatan dengan Buya Hamka. “Waalaikumussalam,” jawab saya. Lalu Bang OP bercerita banyak tentang kekagumannya pada sosok Buya Hamka.

Di Malaysia, cerita Bang OP, Buya Hamka sangat dihormati dan disegani. Meski pendidikannya tak tamat sekolah rendah (SR), tapi Buya Hamka bergelar Profesor dan Doktor. Kedua gelar itu diperoleh Buya Hamka bukan dari pemerintah negerinya sendiri, melainkan dari luar negeri—Al Azhar Kairo dan UKM Malaysia.

“Pantas bila saya tertarik ingin mendokumentasikan riwayat hidup Buya Hamka dalam bentuk film,” ujar Bang OP lagi.

Saya terpekur mendengar cerita Bang OP itu. Semangatnya sungguh luar biasa. Meski dalam kondisi yang masih sakit, tapi dia tetap semangat untuk berbuat sesuatu. Dengan jalan yang susah payah ia masih sempat mendatangi sendiri Rumah Kelahiran Buya Hamka di Maninjau.

Di pertengahan tahun 2008, batin saya semakin terenyuh ketika suatu hari Ketua PWI Bukittinggi Kanda Adeks Rossyie Mukri mengajak saya mengunjungi Bang OP di sebuah panti asuhan di pinggiran kota Bukittinggi. Bang OP tinggal di panti itu. “Saya senang tinggal di sini, damai,” kata Bang OP singkat. Seorang pengurus panti kepada saya berbisik, ibadah Bang OP semakin rajin sejak ia tinggal di panti. Apa yang disebut pengurus panti itu bukanlah sebagai perintang-rintang hati buat Bang OP saja, saya juga melihat langsung air muka Bang OP yang cerah, selalu bersiram air wudhu.

Setelah mengunjungi Bang OP di panti asuhan itu, sejak itu pula saya tidak lagi bersua Bang OP. Oleh pimpinan kantor, saya ditarik kembali tugas ke Padang, lantaran masa tugas dua tahun di Bukittinggi berakhir sudah. Saya hanya mendapat kabar dari teman-teman saja tentang keadaan Bang OP yang semakin membaik sakitnya.

Setelah dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir saya dengan Bang OP itu, setelah saya tidak lagi bekerja di haluan, kemarin malam kabar meninggalnya Bang OP mengagetkan saya dan mengenangkan saya kembali akan semua ingatan tentang sosok wartawan yang ‘seolah tidak pernah tua’ itu. Semangat dan cita-citanya untuk maju dalam kondisi payah sekalipun, membuat saya merasa malu, di usia muda ini masih cenderung bermalas-malasan. Sungguh, Bang OP adalah teladan…

Selamat jalan Bang OP. Semoga goresan penamu menjadi ‘sitawa sidingin’ di alam yang membawamu menuju kepada keabadian. Doa kami menyertaimu…

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu….

Rumah Puisi, 24-11-2010, 14:19

Pernahkah Tuan Membaca Puisi Cinta Buya Hamka?


Tuan, pernahkah membaca puisi cinta Buya Hamka? Duhai, kalau Tuan membacanya, serasa puisi itu menceritakan diri Tuan sendiri. Siang ini saya temukan buku “Kenang-Kenangan Hidup” Buya Hamka (1951) di rak buku Rumah Puisi, saya baca puisi di dalam buku itu. Sungguh menggugah jiwa saya, mungkin juga jiwa Tuan.

Siapa tak kenal Buya Hamka? Seorang ulama dan sastrawan yang tersohor namanya itu, terutama lantaran kisah di dalam roman-roman kehidupan yang ditulisnya? Sungguh kagum saya akan goresan penanya, yang halus, yang melukiskan jiwa sang pujangga.

Simaklah puisi cintanya berikut ini:


BERJUMPA PULA
Oh kau kiranya, bertemu pula
Setelah 15 tahun kita berpisah
Janganlah gugup. Sudahkah sembuh luka hatimu?
Di aku sudah! Tapi payah aku melipur jejaknya
Parutnya masih berkesan di dadaku

15 tahun, bertemu pula
Setelah kita lalui jalan hidup masing-masing
Maafkan daku. Bersiapakah aku mestinya
Adinda, kekasih, juwita yang pernah kuucapkan di mukamu dulu
Atau dalam surat-surat yang pernah kukirimkan
Tidak ‘kan kuucapkan lagi
Aku takut,
Obat lekat pantang terlampau
Kembali penyakit lama
--Ah, tidak; Aku mulai tua

15 tahun
Sudah berapakah anakmu
Adakah suamimu sehat saja
Beruntung dalam rumah tangga
--Tak usah gugup!

15 tahun
Melihat kau sekarang, kuteringat kau yang dulu
Kau yang ada dalam kenanganku
Kau yang tergambar dalam hatiku
Aku teringat
Mudaku dan mudamu
Semasa kita masih menyangka, alam boleh sekehendak kita
Padahal: Takdir tak mengizinkan kita bertemu
Hidup kita tak dapat dipadu menjadi satu
Kau mengambil jalanmu sendiri – terpaksa atau tidak
Dan aku pun
Mengambil jalanku pula

15 tahun
Aku telah berjalan, dan berjalan jua
Tapi dalam sudut hatiku, kau telah menjadi pelita yang hidup
Kaulah pelitaku
Tanglongku
Dalam kegelapan malam yang senyap sunyi
Sehingga aku menjadi aku
Walaupun kau tak merasa. Barangkali

15 tahun
Tertawa aku, tertangis aku
Tersenyum tersedu
Mendaki ku menurun
Melereng ku mendatar
Pernah kunaik, pernah kujatuh
Jatuh dan bangkit lagi, lalu berjalan jua
Sahaja mati yang belum kurasai
Sehingga aku menjadi aku
Dan perjumpaan kita, 15 tahun yang telah lalu
Adalah pendorong perjuangan hidupku

Hari ini
Setelah 15 tahun
Kitapun berjumpa pula
Aku dengan engkau
Kau yang sekarang
Maka teringatlah aku. Kau yang dulu
Kalau bukan lantaran kau yang dulu
Tentulah air mataku tidakkan titik ke bumi
Garam hidupku yang kulalui
Air mata itulah yang kususun kembali
Sesudah dia jatuh berderai bagai manik putus pengarang
Kujadikan gubahan buat kau. Kau yang dulu
Sehinggaku menjadi Aku

15 tahun…
Alangkah cepatnya putaran zaman
Wahai orang yang sekian lama terlukis di sudut hatiku
Jangan engkau salah terima, Wahai kau yang sekarang
Sekiranya aku melihat tenang. Merenung wajahmu
Izinkanlah sejenak, aku mencari, mencari
Aku ini kehilangan
Dia. Dia akan kucari dalam ruang matamu
Kau yang dulu

Berjalan lurus, dan teruslah
Pikullah kewajiban yang telah ditentukan Tuhan
Buat kau. Dan aku pun
Meneruskan jalanku pula
Berjalan dan berjalan jua
Mendatar, melereng, mendaki dan menurun
Kau lihat. Rambut putih telah mulai berjuntai di ubun-ubunku
Kau lihat. Tiga garis telah mulai ada di keningku
Alamat, sengitnya perjuangan yang telah kutempuh dulu dan kuhadapi lagi
Marilah sama-sama, meneruskan perjalanan
Melaksanakan hayat
Jauh… dan jauh lagi

Hanya sebuah harapanku tinggal
Semoga usia sama panjang
Dapat berjumpa pula 15 tahun yang akan datang
Mau atau tidak mau
Kau… dan aku….

(Buya Hamka, dalam buku Kenang-kenangan Hidup, 1951)