Rabu, 24 Februari 2010

Sinopsis Novel ”Cinta di Kota Serambi” karya Irzen Hawer


Aku, Syamsu, hari itu diusir dari ruang kelas. Alasannya sepele, karena terlambat membayar uang SPP. Bukan itu saja, uang pembangunan yang jumlahnya lebih besar dari SPP tidak aku serahkan pada bendahara sekolah, karena telah aku habiskan buat jajan.

Sabtu itu, aku ingin menyerahkan uang pembangunan pada Bu Annisa Sorga, sang bendahara sekolah. Tetapi Bu Annisa Sorga sibuk mengurus pertandingan sepakbola. Dan kami disuruh ke lapangan untuk memberi semangat kesebelasan sekolah kami melawan kesebelasan sekolah lain. Maka aku berencana menyerahkan uang itu pada hari Senin saja.

Sepulang menonton pertandingan sepakbola, hujan turun sangat lebat. Aku berteduh di emperan toko. Sampai setengah tiga sore tanda-tanda hujan akan berhenti tidak nampak. Perutku sangat lapar, sementara tak jauh dari tempatku berteduh ada kedai bakso yang sebentar-sebentar aroma uap kuah bakso yang keluar dari periuk besar menari-nari di penciumanku.

Di saku celana hanya ada uang yang rencananya akan aku serahkan pada hari Senin ke bendahara sekolah. Ya, uang pembangunan. Maka berkecamuklah perang dalam diriku. Pikiranku melarang untuk tidak membelanjakan uang itu. Sementara perutku heboh meronta-ronta minta diisi. Akhirnya kehendak perutkulah yang menang. Tanpa rasa berdosa uang itu aku belanjakan. Makan bakso sepuasnya.

Tapi mulai saat itu, dalam pikiranku, sang bendahara sekolah berubah menjadi bentuk yang menakutkan. Tidurku mulai diganggu mimpi-mimpi buruk.

Dan, terjadilah peristiwa yang memalukan hari itu. Karena aku tak membayar uang pembangunan, akupun diusir dari ruang kelas secara tidak hormat. Aku pergi meninggalkan kelas diiringi tatapan wajah kawan-kawanku.

Ketika diusir dari kelas aku takut pulang. Aku keluyuran di pasar. Ketika hari beranjak siang perutku mulai lapar. Aku pun mengais-ngais sampah mencari apa yang bisa dimakan. Aku menemukan sepotong kue yang gepeng sebelah karena diinjak kaki orang. Kue itu aku makan. Setelah itu aku pergi ke rumah kakak dari ibuku yang tinggal di Jalan Kantin dekat pasar. Aku memanggilnya Mak Tuo. Mak Tuoku ini sangat pelit orangnya. Aku bekerja keras di rumahnya tanpa diberi makan, hanya diberi uang sedikit setelah itu aku disuruh pulang.

Tapi hari itu aku tidak langsung pulang. Aku main-main di persimpangan jalan raya memperhatikan kendaraan yang lewat. Waktu aku mau jajan ternyata uang yang diberikan Mak Tuo hilang. Lalu aku mencari-carinya ke tempat di mana aku lewat tadi. Tiba-tiba lenganku dicengkeram seorang lelaki dewasa, rupanya ayahku. Aku diseret pulang. Tiba di rumah aku disiksa ayah. Ayah benar-benar murka karena uang untuk sekolah aku habiskan buat jajan. Kemarahan ayah masuk akal, karena hidup kami susah, usaha ayah tidak berjalan normal.

Setelah ayah melunasi hutangku di sekolah, aku pun mulai terbebas dari himpitan perasaan bersalah dan dikejar-kejar dosa. Aku kembali masuk sekolah. Untuk menambah-nambah uang jajan, aku mulai jualan kue ’pinukuik’ yang diajak Lukman, sepupuku yang duduk di kelas enam. Kami jualan di Subuh hari jelang sekolah. Induk semangku adalah Tek Janah, ibu Minah teman sekelasku. Tek Janah berfamili dengan ayahku. Maka aku dan Minah sangat akrab.

Suatu hari aku menginap di rumah Mak Tuo bersama Lukman. Mak Tuoku itu bernama Asma. Dulu ia tamatan Diniyyah Puteri, dan sangat pandai berkisah. Malam itu kami mendengarkan kisahnya, tentang awal mula ia bertemu dengan Syamsuddin yang sekarang jadi suaminya. Kami memanggil suaminya dengan sebutan Pak Tuo. Pak Tuo tamatan Thawalib Putra Padangpanjang.

Di masa mudanya, setamat Thawalib, Syamsuddin berniat melanjutkan kuliah ke IAIN di Padang. Dia pulang kampung meminta biaya pada mamaknya (kakak ibunya), karena bapaknya telah meninggal dunia. Seluruh sawah ladang dikuasai mamaknya. Tapi, jangankan uang yang didapat, pertengkaranlah yang terjadi. Mamaknya karena emosi ingin mencelakai Syamsuddin. Syamsuddin bukanlah pemuda biasa saja, selama dia tinggal di asrama Thawalib dia juga belajar pencak silat pada seorang guru silat tua di Padangpanjang. Anak mamaknya juga ingin mencelakai dirinya, tetapi berhasil diatasinya. Karena Syamsuddin urung kuliah, dia jadi garin (penjaga masjid) di Kampung Manggis tempat dimana Asma tinggal.

Di Kampung Manggis adat istiadatnya sangat kuat. Di sinilah Asma, Mak Tuoku ini, menjalin cinta kasih dengan Syamsuddin. Tapi karena keduanya memiliki latar belakang pendidikan agama, dan status Syamsuddin sebagai garin masjid pula, percintaan mereka adalah percintaan tidak biasa. Ibarat menarik rambut dalam tepung, tepung tidak terserak rambut tidak putus. Cinta mereka adalah cinta monolog. Perasaan hati hanya tertuang dalam goresan pena dalam surat-surat cinta mereka yang romantis. Hal ini mereka lalui selama lima tahun. Penuh perjuangan dan pengorbanan.

Setelah aku duduk di bangku kelas tiga di SMP Negeri 1 Padangpanjang, datanglah musibah itu...

Tek Janah, emak Minah yang juga induk semangku meninggal dunia. Sepeninggal emaknya Minah hidup sebatang kara. Mengetahui emak Minah sudah meninggal, bapaknya yang telah bercerai dengan emaknya dan tinggal di Medan, datang ke Padangpanjang menjemput Minah dan membawanya ikut ke Medan. Bapak Minah ini telah lama tidak pulang-pulang karena telah beristri pula di negeri orang. Minah tidak mau, dia ingin menamatkan sekolahnya yang telah kelas tiga dan sebentar lagi tamat. Tetapi bapaknya tetap memaksa.

Sebelum Minah berangkat, Minah ingin menemuiku. Dia datang ke rumahku, tapi ketika itu aku belum pulang sekolah. Dia menyongsongku ke jalan dimana biasanya aku lewat pulang, juga mendatangi tempat-tempat dimana kami pernah bermain bersama.

Di sekolah, ketika sudah beberapa hari menemui bangku kosong tempat biasa Minah duduk, perasaanku mulai tak tenang. Aku was-was kalau-kalau telah terjadi sesuatu terhadap diri Minah. Belum usai pelajaran akupun beranjak pulang dan mencari Minah di rumahnya. Tapi Minah tidak kutemui di sana, hanya ada sebuah mobil sedan yang siap-siap akan berangkat. Dari seorang tetangga kuketahui bahwa Minah mencariku ke rumah sementara ketika itu aku masih di sekolah. Aku pun menyusulnya ke rumah, tapi lagi-lagi aku tak menemukannya.

Akupun menyusulnya ke tempat-tempat di mana kami biasa bersua dan bermain-main menghabiskan hari bersama kawan-kawan. Dengan berlari-lari kecil aku menuju jalan yang mungkin ia tempuh ketika mencariku. Tapi Minah tidak juga kelihatan. Aku cepat berlari kembali ke rumahnya. Dari jauh aku lihat mobil sedan di depan rumahnya tadi tidak ada lagi. Ternyata Minah telah berangkat. Kata familinya yang aku kenal, mungkin mobil yang membawa Minah itu singgah di Bukit Surungan, karena disana rumah orang tua bapaknya.

Aku pun meninggalkan Kampung Manggis dan berlari menuju Bukit Surungan di perbatasan kota. Tetapi tetap sia-sia. Minah telah berangkat, meninggalkan Padangpanjang. Aku terhenyak menghadapi realita itu. Di bawah tugu batas kota, dengan nafas yang tersenggal-senggal dan kepala yang berat, batinku berkecamuk. Pikiranku menerawang ke masa beberapa tahun silam ketika aku dan Minah masih bersama.

Air mataku tumpah. Setelah Minah pergi, aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupku.

Apa yang terjadi pada diri Syamsu sepeninggal Minah? Akankah mereka bertemu kembali setelah dewasa nanti?

Dapatkan novel “Cinta di Kota Serambi” dengan harga murah sekaligus menyaksikan peluncurannya oleh Wakil Walikota Padangpanjang dan mengikuti Seminar “Cara Hebat Jadi Penulis Novel” bersama Dianing Widya Yudhistira (Jakarta), Minggu 14 Maret 2010 di Gedung M. Syafei Padangpanjang.

Novel ini akan dibedah tuntas oleh Hj. Roidah (penulis 17 novel best seller asal Padang) dan Sulaiman Juned, S.Sn, M.Sn (penyair dan Dosen Institut Seni Indonesia Padangpanjang).

Segera daftar sekarang juga di Radio Bahana FM Padangpanjang. Informasi lebih lanjut tentang acara ini di nomor 081374442075.

Jumat, 12 Februari 2010

Saya, di Sebuah Persimpangan Titik Balik Hidup


Oleh: Muhammad Subhan

Sejak kecil, saya terobsesi ingin menjelajahi dunia. Maka, menjadi wartawan adalah pilihan hidup saya. Meski saya tahu, dunia wartawan bukanlah dunia yang bisa mewujudkan impian dalam sekejap. Berbagai tantangan pasti akan saya hadapi. Bahkan, ibu kandung saya, awalnya tak merestui niat saya menjadi wartawan. Dalam benak ibu, menjadi wartawan artinya saya harus siap menjadi ‘orang miskin’.

Meski tidak selalu benar, namun logika ibu masuk akal. Delapan tahun melanglang buana diberbagai media, hidup saya biasa-biasa saja. Bahkan selama empat tahun saya sempat berjalan kaki memburu berita. Tak punya sepeda motor, alat komunikasi, apalagi komputer. Gaji pas-pasan. Namun empat tahun kemudian, sesudah masa-masa ujian itu, alhamdulillah hidup saya mulai menampakkan perobahan. Bahkan, setelah ibu menjanda, kebutuhan ibu dan tiga orang adik sayalah yang menafkahi. Semua dari hasil keringat saya sebagai wartawan. Cita-cita yang semula tidak direstui ibu itu.

Meski tidak restu, tapi kasih ibu terhadap saya tidak berkurang. Ia benar-benar sangat menyayangi saya, juga kepada ketiga adik saya. Ibulah yang selalu memotivasi saya agar giat bekerja. Meski ia sedih tak bisa membantu lantaran sakit, tapi keteguhan jiwanya, kesabaran dan kesalehannya, menjadi pemicu semangat saya untuk dapat membahagiakannya kelak, membuatkan rumah, atau mewujudkan impiannya agar bisa menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji ke Tanah Suci.

Saya lahir di Medan 3 Desember 1980. Sejak kelas 2 SMP saya telah menulis. Di SMP pula, saya sempat memprakarsai terbitnya majalah dinding. Hobi menulis berlanjut hingga SMA dan kuliah. Masa SMP dan SMA saya habiskan di Kruenggeukueh, Aceh Utara. Meski gelar sarjana tidak mampu saya raih hingga kini, namun setidaknya saya pernah mengenyam dunia kampus, khususnya di Jurusan Manajemen, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perdagangan, Padang dan Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah, Sekolah Tinggi Agama Islam, Yayasan Kebangkitan Islam (STAI-YKI), Sumatera Barat di Padang.

Seringkali orang bertanya, mengapa saya tidak menyelesaikan kuliah. Saya menjawab, ketika itu saya benar-benar fokus bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan ibu dan ketiga adik saya yang masih sekolah. Memang, sebuah pilihan pahit. Hasrat hati ingin kuliah, tapi selalu berbenturan dengan masalah keuangan. Kuliah tidak sedikit menghabiskan uang, sementara di rumah ibu butuh obat, makanan, dan adik-adik juga harus sekolah agar masa depan mereka lebih baik dari saya. Setiap kali orang bertanya tentang kuliah, saya merasa sedih. Bahkan, setiap kali meliput acara wisuda beberapa perguruan tinggi, tak jarang diam-diam saya menahan air mata.

Bisa dibilang, sejak kecil saya belum pernah merasakan hidup berkecukupan. Almarhum ayah saya, Abdul Manaf, hanya seorang pekerja kasar. Ibu saya seorang buruh cuci yang mengharapkan upah dari satu rumah ke rumah lain. Penghasilan kedua orang tua saya hanya cukup untuk sehari makan dan menyimpan sedikit uang untuk membayar kontrakan rumah. Kami tidak pernah memiliki rumah sendiri, selalu pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya.

Meski hidup miskin, saya sangat bangga dengan kedua orang tua yang pekerja keras. Nasihat ayah yang sangat saya cintai selalu memotivasi saya. Ayah sering bilang, jangan pernah menyerah dengan keadaan, terus berjuang, dan jangan meminta-minta. Kata-kata itu lekat terpatri dalam benak saya untuk merobah keadaan. Saya bertekad, suatu saat nanti saya harus bisa membahagiakan orang tua.

Sampai kelas 2 SD, saya tinggal bersama orang tua di Medan. Ketika naik kelas 3 SD, kami pindah ke Lhokseumawe, Aceh Utara. Di kota itu ayah bekerja sebagai tukang sol sepatu. Setiap pagi, usai sarapan dan minum secangkir kopi, saya lihat ayah menyandang ransel berisi peralatan menjahit sepatu. Pekerjaan itu dilakukan ayah karena ayah bukanlah seorang yang berpendidikan tinggi. Ayah tidak tamat SMP, begitu juga ibu, hanya tamatan SD.

Di awal-awal bekerja sebagai tukang sol sepatu di daerah yang baru, benar-benar terasa sangat berat dan sulit. Bahkan seharian tak ada orang yang memanfaatkan jasa ayah. Dengan raut wajah sedih, ayah sering pulang dengan tangan hampa, tanpa membawa apa-apa. Sering pula saya dengar ayah dan ibu cekcok hanya gara-gara persoalan tak ada uang untuk belanja. Namun ayah adalah seorang yang sangat sabar. Ibadahnya rajin, doanya panjang, dan ayah sangat menyayangi saya dan adik-adik.

Ketika duduk di bangku SMA, dengan inisiatif sendiri saya membantu ayah bekerja. Saya pun belajar menjahit sepatu. Awalnya ayah tidak setuju, namun karena keseriusan saya membantu ayah, akhirnya pekerjaan itu pun kami lakoni berdua. Terkadang, ketika ayah sakit, sayalah yang menggantikannya bekerja.

Bekerja sebagai tukang sol sepatu bukanlah pekerjaan menjanjikan. Nasib-nasiban. Terkadang ada orang, terkadang pula tidak ada sama sekali. Sehari hanya dua tiga orang yang memanfaatkan jasa tukang sol sepatu. Uang yang paling banyak dibawa pulang sehari tidak lebih dari Rp15.000. Dengan penghasilan yang sangat kecil itulah ayah menafkahi kami dan menyekolahkan saya dan adik-adik.

***

Tanggal 15 Maret 2000, adalah hari bersejarah dalam hidup saya. Orang yang paling saya cintai, ayah, berpulang ke Rahmatullah dalam usia 62 tahun. Ujian yang teramat berat kami rasakan. Pupuslah harapan saya untuk membahagiakan ayah kelak. Ketika itu usia saya masih sangat belia.

Sebelum ayah meninggal, saya pernah menyampaikan kepada ayah bahwa saya akan melanjutkan pendidikan ke kota Padang, Sumatera Barat. Saya ingin kuliah di sana. Namun agaknya ayah tidak setuju. Ayah berharap saya dapat membantunya bekerja setamat SMA karena usia ayah telah lanjut dan sering sakit-sakitan. Agaknya persoalan itu menjadi pikiran ayah. Beberapa hari setelah itu ayah jatuh sakit. Ia terkena stroke. Tiga hari kemudian ayah meninggal dunia.

Ketika itu, saya, ibu, dan ketiga orang adik benar-benar tidak siap kehilangan ayah, tulang punggung keluarga. Pendidikan saya di SMA tinggal beberapa bulan lagi tamat. Sempat saya berniat untuk memutuskan sekolah karena tak punya uang membayar biaya sekolah. Namun, atas motivasi guru-guru di sekolah serta kemauan untuk terus belajar, saya berhasil menamatkan SMA dengan hasil memuaskan.

Sepeninggal ayah, Nurhayati, ibu saya, juga mulai sakit-sakitan. Rematik dan asam urat menyerang tubuhnya. Mulanya ibu bekerja sebagai buruh cuci dan sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang camat. Namun sejak ibu sakit, tak ada lagi orang yang membantu mencari nafkah. Siang malam saya berpikir apa yang bisa saya kerjakan untuk membantu ibu dan adik-adik yang masih kecil dan harus bersekolah. Seorang adik laki-laki saya ketika itu masih duduk di kelas 2 MAN (Madrasah Aliyah Negeri), dan dua adik perempuan saya, satu di kelas 6 SD dan satu lagi kelas 2 SD. Saya sangat berharap mereka mampu menyelesaikan pendidikan meski hanya sampai sekolah menengah.

***

Setamat SMA, saya menyampaikan kepada ibu agar pulang saja ke Sumatera Barat. Ayah saya asal Aceh, ibu Minang. Kampung halaman ibu di sebuah desa kecil bernama Kajai di Pasaman Barat. Mulanya ibu menolak pulang kampung. Namun, setelah saya berangkat sendiri melihat kampung ibu, saya lihat banyak sanak famili ibu. Namun, sayangnya kampung itu berada di kawasan pedalaman dan bukan daerah berkembang. Mayoritas masyarakatnya juga berpenduduk miskin.

Setelah bermusyawarah dengan sanak famili ibu di kampung dan menceritakan keadaan keluarga di Aceh sepeninggal ayah, mereka setuju agar ibu dan adik-adik dibawa saja ke kampung. Akhirnya saya kembali ke Aceh menjemput ibu dan adik-adik. Setelah saya yakinkan bahwa keadaan hidup akan berobah di Sumatera Barat, akhirnya dengan berat hati ibu pun berkenan pulang kampung. Sakit asam urat ibu yang sudah akut menyulitkan ibu berjalan jauh. Ibu harus dipapah naik turun bis. Biaya keberangkatan itu, pada pertengahan 2000, semua perabotan yang ada di rumah kontrakan peninggalan almarhum ayah kami jual sebagai bekal perjalanan.

Setelah membawa ibu dan adik-adik pulang kampung, saya pun merantau ke kota Padang. Kota yang baru pertama kali saya jamah seumur hidup itu terasa menyeramkan, karena disana saya tak punya siapa-siapa. Berbagai pekerjaan pun saya coba lakukan. Mulanya saya menjadi salesman menjual barang-barang yang saya ambil dari sebuah perusahaan. Namun pekerjaan itu saya rasakan bertentangan dengan nurani. Beberapa perusahaan tempat saya bekerja saya tinggalkan begitu saja. Selain gaji kecil, kerja yang dilakoni pun terasa sangat berat.

***

Sejak kecil, ayah telah mengajarkan kami anaknya ilmu agama. Saya juga sempat belajar mengaji di sebuah balai pengajian. Dengan kemampuan sedikit ilmu agama itulah, ketika merantau di Kota Padang, saya berinisiatif bekerja menjadi gharin di sebuah mushalla di kawasan Air Tawar Barat, Padang. Tugas gharin adalah membersihkan mushalla, azan, imam, bahkan ceramah agama disaat ustaz yang diundang berhalangan hadir.

Pilihan menjadi gharin saya lakukan lantaran saya tidak juga menemukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saya sering merasakan pedihnya menahan lapar. Dengan menjadi gharin saya pun mendapat jatah beras dan sedikit uang lauk pauk. Saya juga mengajarkan anak-anak sekitar mengaji. Selama menjadi gharin itulah kematangan diri saya mulai terasah.

Pengabdian menjadi gharin saya jalani sejak tahun 2000 hingga 2004. Di akhir tahun 2000, selain tetap menjadi gharin saya mulai menulis di surat kabar, khususnya di sejumlah koran mingguan yang ada di kota itu. Di akhir tahun itu pula saya mencoba melamar menjadi wartawan di sebuah surat kabar mingguan.

Pertama kali terjun di dunia jurnalistik, mulanya saya berpikir pekerjaan wartawan adalah kerja yang menjanjikan dengan gaji besar. Ternyata harapan saya keliru, jauh panggang dari api. Sepanjang tahun 2000-2004, beberapa koran mingguan tempat saya bekerja itu tak satupun yang memberikan gaji layak selayaknya seorang pekerja profesional. Bahkan pernah saya berpikir untuk berhenti menjadi wartawan, namun keinginan itu cepat-cepat saya pupus karena dunia wartawan setelah saya renungi memiliki banyak kelebihan. Dengan menjadi wartawan, wawasan saya terus bertambah karena informasi terbaru selalu saya dapat setiap hari di media. Begitu pula, menjadi wartawan saya menemukan banyak kawan. Dan menjadi wartawan, saya pun berkesempatan mengunjungi daerah-daerah yang belum pernah saya datangi, baik di Sumatera Barat maupun beberapa daerah lainnya di Indonesia dalam berbagai perjalanan jurnalistik yang ditugaskan kepada saya.

Di tahun 2004, saya meninggalkan pekerjaan sebagai gharin. Hal itu saya lakukan semata untuk memfokuskan bekerja menjadi wartawan. Pilihan yang berat karena awalnya jemaah mushalla tempat saya tinggal keberatan melepas kepergian saya. Namun karena tekad yang kuat akhirnya saya pun berhenti menjadi gharin.

Di tahun itu pula, saya bekerja di Harian Mimbar Minang Padang. Namun hanya dua tahun saya mampu bertahan lantaran koran itu bangkrut dan menjadi koran mingguan. Jika saya kembali bekerja di koran mingguan, itu artinya saya gagal dan tidak ada kemajuan. Bersama beberapa kawan, usai melakukan perjalanan jurnalistik ke Aceh pascatsunami, saya pun mendirikan koran Harian Serambi Minang Padang. Namun koran itu hanya bertahan 3 bulan lantaran kehabisan modal.

Di akhir tahun 2004, saya diterima bekerja di Harian Haluan Padang, yang merupakan surat kabar tertua di Sumatera Barat. Mulanya saya tidak menyangka akan diterima di koran itu karena saya tidak memiliki ijazah sarjana, namun lantaran surat lamaran yang saya kirimkan banyak melampirkan sertifikat dan piagam penghargaan belasan pelatihan jurnalistik yang pernah saya ikuti, atas pertimbangan itulah saya diterima bekerja.

Selama bekerja di Harian Haluan kemampuan jurnalistik saya semakin terasah. Saya pun sering ditugaskan meliput kegiatan-kegiatan penting ke sejumlah daerah. Beberapa kali kunjungan Presiden dan Wakil Presiden serta menteri-menteri ke Sumatera Barat, sayalah yang diberikan tugas meliput. Alhamdulillah, kemahiran saya sedikit di bidang fotografi menghantarkan saya menjadi fotografer koran Haluan selama lebih kurang dua tahun. Begitu pun kesenangan saya menulis feature yang mengangkat berbagai persoalaan human interest masyarakat kelas grassroot membuat nama saya cepat dikenal.

Di awal 2007, oleh Pemimpin Redaksi Haluan saya ditugaskan ke Kota Bukittinggi dan diangkat menjadi Kepala Perwakilan Haluan di Kota Wisata itu. Penugasan itu tentu saja saya terima. Selama di kota itu pulalah saya mengembangkan diri. Di sisa-sisa waktu luang saya menjelajah dunia melalui internet. Saya pun berkawan dengan banyak orang di berbagai belahan dunia.

Awal 2009 lalu, saya mendapat kesempatan bergabung dalam manajemen Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar. Sastrawan besar Indonesia asal Sumatera Barat itu membangun rumah yang didedikasikan khusus untuk pengembangan dunia sastra Indonesia khususnya di Sumatera Barat. Di Rumah Puisi ini saya diamanahkan jabatan sebagai Manager Program. Saya pun bisa bertemu dengan banyak sastrawan dan guru-guru sastra yang berkunjung ke sana. Di sampung itu, 7.000-an judul buku koleksi Taufiq Ismail, merangsang minat baca saya yang selama ini haus lantaran tak mengecap pendidikan tinggi.

***

Orang yang paling bahagia atas semua perobahan hidup saya itu, tentulah ibu. Ibu yang kasihnya sepanjang jalan tak pernah berhenti berdoa siang malam untuk kebahagiaan saya. Bahkan, ketika saya menikah ibu ingin tinggal di kampung saja bersama famili di sana. Ibu ingin melihat saya bahagia bersama istri dan tidak memberatkan saya. Tentu saja, keinginan ibu itu tidak saya kabulkan. Ibu tetap saya bawa ikut bersama saya, tinggal di rumah saya meski kami masih tinggal di rumah kontrakan, pindah dari satu rumah ke rumah lainnya jika habis tahun. Sekarang kami tinggal di Kota Padangpanjang, kota kecil berhawa sejuk di kaki gunung Merapi.

Satu hal lagi yang saya kagumi dari sosok ibu, adalah ibadahnya yang sungguh luar biasa. Shalat Dhuhanya tak pernah tinggal. Bahkan, kebiasaan ibu bangun setiap pukul 3.00 dini hari, shalat tahajud, shalat hajat, zikir dan doa yang khusyuk dan panjang. Usai shalat malam itu, ibu tidak tidur lagi, ia tilawah Alquran hingga jelang Subuh. Bahkan, di Subuh itu pula, ibu menyempatkan memasak untuk sarapan saya dan istri. Saya selalu melarang ibu bangun terlalu pagi karena saya kuatir akan mempengaruhi kondisi kesehatannya. Tapi ibu tetap melaksanakan semua pekerjaan itu yang seharusnya dikerjakan oleh istri buat saya.

Ya Allah, satu permohonan saya kepada Engkau, panjangkan usia ibu dan kabulkan doa-doa saya agar dapat membawa orang yang saya kasihi itu ke Tanah Suci Mekah. Sebagaimana impian ibu dan juga impian saya. Sungguh, saya dan ibu ingin mencium Hajar Aswad, menggelilingi Ka’bah dan juga wukuf di Arafah… []

Padang Panjang, Februari 2010

Sebuah Testimoni Tentang Novel “Cinta di Kota Serambi”


Oleh: Muhammad Subhan

Mulanya, saya tidak begitu memperhatikan naskah Novel yang ditulis Pak Irzen Hawer berjudul “Cinta di Kota Serambi” ketika ia menyerahkannya kepada saya di Rumah Puisi Taufiq Ismail beberapa bulan lalu. Saya hanya menyarankan, cobalah dikirimkan ke Jakarta. Mana tahu ada penerbit yang berminat.

Tapi setelah saya baca keseluruhan isi novel tersebut, alangkah kagetnya saya bahwa ini adalah novel yang benar-benar luar biasa, yang ditulis oleh seorang putra Padangpanjang, Kota Serambi Mekah. Saya bawa novel itu ke Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang dimana sehari-hari saya berkecimpung berdiskusi sastra bersama kawan-kawan “senasib”, lalu membedahnya. Kesimpulan saya, novel ini layak mendapat tempat di hati pembaca.

Maka saya berpikir pula, kenapa harus menerbitkannya di Jakarta? Sedikit-sedikit Jakarta, apa hebatnya Jakarta? Padangpanjang meski sebuah kota kecil di wilayah administratif Propinsi Sumatera Barat namun saya kira juga memiliki potensi penerbitan buku. Pak Irzen Hawer pun berharap agar bukunya bisa diterbitkan oleh Komunitas Seni Kuflet melalui Divisi Penerbitannya, Kuflet Publishing. Dengan dana seadanya, kawan-kawan pun mulai bergerak. Komit, dan siap mengangkat novel ini hingga diterbitkan.

Maka, ketika covernya didesain oleh seorang anggota Kuflet, lalu dipromosikan melalui facebook dan situs jejaring sosial lainnya, dalam sekejab mendapat respon luar biasa dari berbagai kalangan, tidak hanya masyarakat umum, namun juga teman-teman sastrawan yang cukup senior di Tanah Air, termasuk mancanegara. Pemesan pun mulai mengalir. Dan siapa sangka, kalau novel ini mendapat komentar luar biasa dari novelis besar Ahmad Tohari, Dianing Widya Yudhistira, Mustafa Ismail, D. Kemalawati, dan sejumlah nama lainnya.

Sampai saat ini, saya dan Kanda Sulaiman Juned, S.Sn, M.Sn belum dibayar sebagai tenaga editor dan yang menerbitkan novel ini. Dan, kami juga siap tidak dibayar asalkan penulis generasi baru (meski usia Pak Irzen Hawer sudah 50-an tahun) Padangpanjang ini bisa terekspose ke permukaan. Dia bisa menjadi “pahlawan” bagi Padangpanjang sebagai kota seni dan seniman serta gudangnya penulis di masa dahulunya.

Kami harapkan, dengan penerbitan novel ini nantinya dapat memotivasi generasi muda Padangpanjang khususnya untuk membudayakan gemar membaca dan menulis sebagai simbol peradaban bangsa-bangsa besar di dunia. Tak soal kita berdomisili di kota kecil namun kota kecil ini kelak bisa menjadi gerbang dunia yang didatangi banyak orang, layaknya Pulau Belitong yang terangkat potensinya lewat Novel Adrea Hirata, “Laskar Pelangi”.

Untuk itu, kami mengajak kerjasama berbagai pihak, khususnya tokoh-tokoh Padangpanjang baik yang berada di kampung halaman maupun di perantauan untuk memberikan bantuan baik moril maupun spirituil sehingga acara Peluncuran ini dapat berlangsung sukses dan membanggakan, bukan bagi kami saja di Komunitas Seni Kuflet namun juga bagi Padangpanjang tercinta. Insya Allah.
Berikut Proposal yang kami ajukan dan semoga mengetuk pintu hati Bapak/Ibu/Saudara/Sahabat untuk menjalin kerjasama (sekali lagi bukan buat kami) tapi buat masa depan Padangpanjang yang lebih baik. Klik Proposal di: http://penamuhammadsubhan.blogspot.com/2010/02/proposal-seminar-cara-hebat-jadi_11.html

Kamis, 11 Februari 2010

Proposal Seminar “Cara Hebat Jadi Penulis Novel”


PROPOSAL
SEMINAR “CARA HEBAT JADI PENULIS NOVEL”
BERSAMA NOVELIS DIANING WIDYA YUDHISTIRA (JAKARTA)
DAN LAUNCHING NOVEL “CINTA DI KOTA SERAMBI”
KARYA PUTRA PADANGPANJANG, IRZEN HAWER
MINGGU, 14 MARET 2010 DI GEDUNG M. SYAFE’I

I. LATAR BELAKANG

Fenomena Tetralogi Novel Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata menyentak banyak kalangan pecinta sastra Tanah Air. Ternyata, penulis yang lahir di Belitong, Kepulauan Bangka Belitung itu, mampu menghipnotis pembaca novelnya hingga berujung pada popularitas daerah kelahirannya, Belitong. Belitong pun, oleh pemerintah setempat, menobatkan diri sebagai “Negeri Laskar Pelangi” yang tidak sedikit mendongkrak potensi pariwisata daerah itu.

Ternyata, dengan menulis novel seseorang bisa menjadi “pahlawan” bagi daerah yang diangkatnya dalam cerita-cerita di dalam novelnya itu. Dan, Andrea Hirata membuktikan bahwa dia mampu menjadi “pahlawan” yang tidak saja bagi Belitong namun juga bagi perkembangan sastra Indonesia di era millenium ini. Tetralogi Laskar Pelangi menjadi salah satu novel yang booming di pasaran hingga mendapat cetak ulang beberapa kali.

Mengikuti jejak Andrea Hirata itu, di Kota Serambi Mekah Padangpanjang, yang terkenal juga negeri tempat lahir dan besarnya sejumlah penulis ternama Minangkabau, seperti AA Navis, Hamka, Inyiak DR, Zainuddin Labay, Rahmah El Yunusiyah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jaho, dan sederet nama besar lainnya, menyimpan potensi luar biasa. Salah seorang diantaranya, penulis generasi kini, adalah Irzen Hawer putra Padangpanjang yang mengabdikan dirinya sebagai Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Negeri 1 Batipuh, mampu menulis novel bertema lokal berjudul Cinta di Kota Serambi.

Cinta di Kota Serambi adalah novel pertama dari dua novel yang diselesaikannya sepanjang tahun 2009 dalam kurun waktu relatif singkat, enam bulan. Sebuah lompatan luar biasa di usianya yang telah memasuki kepala lima, dan sebelumnya tak pernah ia menulis novel apapun. Dan, motivasi menulis novel itu, katanya, terinspirasi setelah mengikuti pelatihan Menulis, Membaca dan Apresiasi Sastra (MMAS) di Rumah Puisi Taufiq Ismail, Nagari Aie Angek.

Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang sebagai satu-satunya komunitas yang menaungi aktivitas dan kreativitas penulis muda Padangpanjang, melalui Divisi Penerbitan Kuflet Publishing memberanikan diri menerbitkan Novel karya Irzen Hawer ini, Cinta di Kota Serambi. Kami yakin dan percaya, novel ini tidak kalah kualitasnya dari Novel Laskar Pelangi yang kelak, Insya Allah, akan mengangkat citra Padangpanjang di mata dunia sebagai gudangnya penulis.

Atas dasar itu, dalam rangka peluncuran Novel Cinta di Kota Serambi, kami bermaksud menggelar acara Seminar bertema Cara Hebat Menjadi Penulis Novel bersama Novelis Dianing Yushistira (Jakarta), Novelis Roidah (Padang), sekaligus Launching Novel Cinta di Kota Serambi yang rencananya dilakukan oleh Bapak Wakil Walikota Padangpanjang.

II. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Memperkenalkan penulis novel asal Kota Padangpanjang;
2. Menarik minat masyarakat untuk membudayakan membaca dan menulis;
3. Memotivasi siswa/mahasiswa menulis novel;
4. Sebagai media pembelajaran bagi penulis-penulis pemula Padangpanjang;
5. Media promosi bagi Kota Padangpanjang.

III. SASARAN

Peserta yang mengikuti Seminar dan Launching ini adalah:
1. Dosen/Guru se Sumatera Barat,
2. Mahasiswa se Sumatera Barat,
3. Pelajar se Sumatera Barat,
4. Masyarakat umum pecinta sastra se Sumatera Barat dan sekitarnya.

IV. WAKTU DAN TEMPAT

Seminar dan Launching Novel ini direncanakan pada:

Hari : Minggu
Tanggal : 14 Maret 2010
Pukul : 09.00 WIB s/d 16.00 WIB
Tempat : Gedung M. Syafe’i Padangpanjang

V. PEMBICARA/PEMBEDAH

1. Dianing Widya Yudhistira (Novelis/Jakarta)
2. Roidah (Novelis/Padang)

VI. PELAKSANA ACARA

Acara ini sepenuhnya diorganisasi oleh Kuflet Even Organizer, yang merupakan EO dari Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, dengan struktur kepanitiaan:

Penanggung Jawab : 1. Penasihat Komunitas Seni Kuflet
2. Ketua Komunitas Seni Kuflet

Ketua Panitia : Muhammad Subhan
Sekretaris/Bendahara : Vivi Astari

SEKSI-SEKSI

1. Seksi Acara : Zaki Mandala Putra (Koordinator)
Sandy
Noevza Wetri
Wessy

2. Seksi Tempat/Perlengkapan/Humas/Dokumentasi
: Afdhal (Koordinator)
Syarif Hidayatullah
Yulhendra
Rika S
Ipunk

3. Seksi Konsumsi : Afleni (Koordinator)
Erna
Riri
Yeni

4. Seksi Bazaar : Rika M (Koordinator)
Dona

VII. PERKIRAAN ANGGARAN YANG DIBUTUHKAN

Untuk suksesnya pelaksanaan kegiatan ini panitia membutuhkan sejumlah dana, yang diperkirakan sebagai berikut:

1. Sewa Gedung : Rp 800.000,-
2. Pembuatan Pamflet 1 rem : Rp 800.000,-
3. Pembuatan Baliho Ukuran 4 m x 6 m : Rp 600.000,-
4. Spanduk Rentang Ukuran 1 m x 5 m : Rp 300.000,-
5. Honor Pembicara 1 (Jakarta) : Rp 2.000.000,-
6. Honor Pembicara 2 (Padang) : Rp 1.000.000,-
7. Honor Baca Puisi 3 Penyair Cilik : Rp 200.000,-
8. Konsumsi + Snack 200 Peserta @Rp10.000,- : Rp 2.000.000,-
9. Cetak Piagam 200 lbr @Rp1.500,- : Rp 300.000,-
10. Administrasi + Transportasi Panitia : Rp 1.000.000,-

TOTAL : Rp 9.000.000,-

Terbilang: Sembilan Juta Rupiah

VIII. PENGHARGAAN KERJASAMA

Pihak-pihak yang membantu kegiatan ini, maka panitia memberikan penghargaan dalam bentuk:

1. Pemuatan Logo/Lambang Instansi/Perusahaan pada Spanduk/Baliho/Banner/Brosur Acara
2. Penyebutan Nama Sponsor oleh MC
3. Mendapatkan Piagam Penghargaan Sebagai Tanda Terima Kasih
4. Dan lain-lain

IX. PENUTUP

Demikian Proposal ini kami buat dengan sebenarnya, harapan kami Bapak/Ibu berkenan membantu sehingga acara ini dapat berjalan baik dan berakhir sukses.

Atas perhatian dan kerjasama yang diberikan sebelumnya kami sampaikan terima kasih.

Wassalam
Kuflet Even Organizer

MUHAMMAD SUBHAN
Ketua

VIVI ASTARI
Sekretaris

Mengetahui:
Penasihat/Pembina
Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang

SULAIMAN JUNED, S.Sn, M.Sn

Siapa Penulis Penulis Novel ”Cinta di Kota Serambi?”



Dialah Irzen Hawer. Ia lahir di Padangpanjang 19 September 1959. Tamatan IKIP Padang pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas FPBS ini, sekarang mengajar bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Negeri 1 Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Semasa kuliah ia aktif di Sanggar Prakarsa FPBS IKIP Padang. Aktif menulis cerpen, puisi, esai di sejumlah surat kabar, di antaranya Harian Haluan dan Harian Singgalang, Padang. Setiap tahun ia mengikuti lomba menulis cerita pendek ”LMCP Program Reguler” untuk guru-guru Bahasa Indonesia SMTA tingkat nasional. ”Cinta di Kota Serambi” adalah novel pertamanya yang diterbitkan Kuflet Publishing, Divisi Penerbitan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kuflet menilai novelnya layak mendapatkan pasar dan diyakini bakal ’booming’, layaknya novel-novel yang ditulis penulis-penulis hebat lainnya. Sejak mengikuti pelatihan di Rumah Puisi Taufiq Ismail Irzen Hawer termotivasi menulis novel. Selain ”Cinta di Kota Serambi” novel keduanya adalah ”Gerhana di Kota Serambi” (akan terbit). Dua novel berkultur Minang dan ditulis dengan gaya yang sangat memikat. Bersama istri dan anak-anak tercinta ia tinggal di Jalan Rasuna Said RT 8, Kelurahan Kampung Manggis, Padangpanjang. (Muhammad Subhan)

Senin, 08 Februari 2010

Perantau Ongeh

Oleh: Muhammad Subhan

Mulia benar pepatah awak, “Karakatau Madang Diulu, Babauah Babungo Balun. Marantau Bujang Daulu, di Kampuang Paguno Balun”. Karena pepatah itu pula ‘urang saisuak’ di masa muda mereka beramai-ramai meninggalkan kampung halaman menuju daerah-daerah perantauan di berbagai pelosok tanah air, bahkan keluar negeri. Mengadu nasib. Dan, memang banyak yang berhasil.

Sutan Ongeh salah seorangnya. Beberapa tahun lalu dia tinggalkan kampung halaman merantau ke Jakarta ikut semendanya berdagang di pasar Tanah Abang. Dia merantau bukan karena belum berguna di kampung, tapi memang tidak berguna sama sekali. Semasa di kampung kerjanya cuma berjudi saja di lepau, mengganggu anak gadis orang yang lewat ke surau, menyabung ayam, dan suka begadang sambil mabuk-mabukan sesama teman sebayanya yang tak berguna pula.

Penat sudah orang kampung melihat perangai dia. Bermacam nasihat tak lagi termakan olehnya. Pak Kapolsek sudah bosan pula menangani kasusnya yang itu keitu saja. Tak jera-jera dia. Tak peduli dia sudah buat malu ninik mamaknya di kampung. Hukum adat pun hendak ditalakkan kepada dirinya, tapi menimbang raso dan pareso juga lembaga adat masih memberi belas kasihan. Maka, ketika semendanya pulang kampung, seorang mamaknya berbisik agar Sutan Ongeh diajak serta merantau ke Jakarta. Semendanya setuju. Sutan Ongeh setuju pula.

Di Jakarta Sutan Ongeh membantu semendanya berdagang kain. Singkat cerita, seiring tahun berganti, sukseslah dia berniaga di Ibukota. Sudah punya toko kain pula dia sekarang. Mainnya ekspor-impor. Jiwa bagaknya semasa di kampung dulu menjadikan dia orang cukup disegani di Tanah Abang. Tak seorang jua preman mengganggu usaha dia.

Karena sudah merasa berhasil di negeri orang, teringatlah Sutan Ongeh pada kampung halaman. Apalagi sekarang sudah berbini pula dia. Gadis Betawi pilihannya. Cantik tentunya. Buah perkawinannya itu dapatlah dia dua orang putra, gagah-gagah perawakannya. Seperti dirinya semasa muda dulu.

Sebagai perantau sukses tentu telah necis pula gayanya. Pulang ke kampung beroto sedan. Ada ajudan pula yang jadi sopirnya. Dasar Sutan Ongeh, ongeh pula cara dia bicara, berjalan, dan makan. Melihat orang dengan sudut mata saja. Karena dia sudah jadi orang kaya segan juga orang kampung kepadanya.

Salah seorang kawannya di masa muda dulu, Sutan Ongok, tak mau berdekat-dekat dengan dia. Takut tertular sifat “ongeh” si Sutan Ongeh. Biarlah mancalik-calik saja dari jauh, katanya. Sejak “jadi orang” di rantau, Sutan Ongeh memilih-milih kawan pula. Begitupun, kalau diminta menderma di surau, dia sebutkan kepada pengurus surau agar menulis namanya besar-besar di papan pengumuman; “Infak dari Sutan Ongeh (Jakarta) sebesar Rp15 juta”. Meski pengurus tahu itu riya, tapi karena surau juga butuh uang, diterima saja permintaan Sutan Ongeh. Yang penting ada pemasukan. Kalau tidak siapa pula yang akan menyumbang ke surau, pikir pengurus. Jemaah biasa paling beri infak uang recehan.

Semakin muaklah Sutan Ongok melihat perangai Sutan Ongeh. Dari dulu hingga sekarang tak lepas-lepas ongehnya. Tercium juga kalau Sutan Ongeh berminat pula jadi calon “kada”, maksudnya calon kepala daerah. Ya, helat Pilkada tak lama lagi digelar. Gelagatnya itu terlihat sejak akhir-akhir ini dia sering pulang kampung, membuat acara ini-itu. Jika benar maksudnya ingin jadi “kada”, ini yang membuat resah Sutan Ongok. Akan jadi apa negeri ini kalau punya pemimpin ongeh seperti itu?

Tapi dia tak mau ambil pusing. Usai shalat Ashar di surau, Sutan Ongok berdoa dengan amat khusyuk: “Ya Rabbi, pertemukan kami kepada pemimpin-pemimpin yang amanah. Bertanggung jawab dan berjiwa mulia. Jauhkan kami dari pemimpin-pemimpin jahat yang mementingkan diri dan kelompoknya saja. Ya Allah, jadikan kami rakyat yang pandai bersyukur dan bersabar dalam menghadapi setiap ujian, amin tsumma amin… []

Minggu, 07 Februari 2010

Festival Serambi Mekah Padang Panjang Apa Kabarnya?

Catatan: Muhammad Subhan

Apa kabarnya Festival Serambi Mekah Padang Panjang? Belum terbetik berita akan digelar. Dulu direncanakan akhir tahun 2009. Mungkin karena menghormati korban gempa. Memang, gempa bumi yang melanda Sumatera Barat pada 30 September 2009 lalu masih menyisakan trauma, tak terkecuali di Padang Panjang. Tapi sayang juga kalau tidak digelar. Soalnya tahun-tahun sebelumnya festival tersebut cukup menarik perhatian masyarakat. Nilai promosinya bagi Padang Panjang tentu akan tinggi pula. Orang akan melirik negeri awak.

Festival Pedati Nusantara Bukittinggi akhir tahun lalu rencananya juga batal digelar. Tapi Bukittinggi tidak ingin kehilangan momen. Pedati tetap diadakan di Lapangan Kantin Bukittinggi dengan mengangkat tema spirit baru Sumatera Barat pascagempa. Ya, semacam motivasi agar rakyat Sumatera Barat tidak terus menerus larut dalam duka. Orang yang datang ramai juga. Meski tidak seramai seperti tahun-tahun sebelumnya.

Nah, Padang Panjang kapan menggelar Festival Serambi Mekah? Atau memang tidak ada sama sekali? Tidak baik pula berlarut-larut dalam duka. Dinas terkait yang berwenang terhadap kegiatan yang telah dicetus ini harus merencanakan kembali. Walau waktu kegiatan yang direncanakan sebelumnya sudah lewat, tidak soal, dan masyarakat maklum juga.

Dan, nanti dalam festival ini apa yang akan “dijual” Padang Panjang? Apa yang menjadi ciri khas Padang Panjang sehingga perlu didatangi orang dari berbagai daerah, tak hanya di Sumatera Barat namun juga dari daerah-daerah lainnya di Tanah Air bahkan luar negeri? Tentu ini kerja keras panitia penyelanggara. Semua pihak yang layak diminta sumbang sarannya diajak duduk bersama. Tunjuannya, tentu, agar Festival Serambi Mekah memiliki nilai plus dari tahun-tahun sebelumnya.

Di Indonesia, negeri berjulukan Serambi Mekah cuma dua, yaitu Daerah Istimewa Aceh dan Kota Padang Panjang. Aceh sebuah Provinsi yang menaungi sejumlah kabupaten/kota di dalamnya yang melaksanakan penegakan Syariat Islam secara kaffah. Sedangkan Padang Panjang sebuah kota di dalam administratif Provinsi Sumatera Barat. Namun kedua-duanya memiliki nilai plus, sama-sama Kota Serambi Mekah, yang benar-benar istimewa dari daerah-daerah lainnya di Tanah Air.

Karena berjuluk Serambi Mekah ini pula, pada setiap momen Festival Serambi Mekah di Padang Panjang diagendakan pula kegiatan-kegiatan berbau “Mekah” (baca: Islami). Misal, lomba busana muslim antarpegawai perempuan di masing-masing SKPD, lomba MCK terbersih baik di kantor pemerintahan, swasta, hotel/rumah makan, maupun rumah-rumah warga. Bukankah Islam suka dengan kebersihan? “Kebersihan sebahagian dari iman,” kata hadis. Selayaknya yang kecil-kecil seperti ini harus menjadi perhatian.

Ada yang mengeluh, seorang pengunjung masuk ke rumah makan di pasar Padang Panjang, kebelet buang air lalu menumpang di kamar kecil di rumah makan tersebut. Namun alangkah kagetnya ia karena kamar kecil itu joroknya minta ampun. Bau! Padahal dari luar rumah makan itu cukup bersih. Tapi kenapa di belakangnya tak mencerminkan kebersihan di luarnya? Masalah-masalah sepele seperti ini tentu akan merusak citra Padang Panjang sebagai Kota Serambi Mekah. Kata pepatah, “gara-gara setitik nila rusak susu sebelanga”.

Festival Serambi Mekah yang dipusatkan di Lapangan Kantin Padang Panjang (atau di lapangan manapun), saya kira hanya “simbol pemersatu” semangat dari seluruh warna dan kegiatan Islami di Kota Padang Panjang. Yang terpenting dari itu adalah, seluruh warga bahu membahu mewujudkan Padang Panjang benar-benar sebagai daerah yang menjunjung Syariat Islam di dalam kehidupan sehari-hari.

Bagus juga nanti, dalam rangkaian Festival itu diberikan juga Award kepada rumah makan yang benar-benar bersih WC/kamar kecilnya, termasuk juga WC/kamar kecil kantor-kantor SKPD yang tentu jarang “di-Sidak” oleh pimpinan kota. Memang sepele, tapi dampaknya akan cukup besar jika tidak mendapat perhatian.

Kita berharap, semoga Padang Panjang tetap menjadi kota Serambi Mekah sepanjang masa. Tentu bukan tugas pemerintah kota saja, melainkan juga didukung penuh oleh sikap dan perilaku masyarakat yang Islami. Kita tunggu gebrakan itu dalam Festival Serambi Mekah. Tabik!

Jumat, 05 Februari 2010

Aku Bermimpi Bangsaku Dijajah Lagi

Muhammad Subhan

aku bermimpi bangsaku dijajah lagi
seperti puluhan tahun silam
oleh tirani-tirani nan kejam
tetapi bukan belanda bukan jepang
bukan portugis bukan inggris
juga bukan pe-ka-i

aku bermimpi bangsaku dijajah lagi
seperti di jaman nenekku sebelum lahir
mereka bersarung dan berpeci
persis seperti pak haji
berkedok islam tak tahunya yahudi
lalu memaksa kami kerja rodi

aku bermimpi bangsaku dijajah lagi
dijajah dengan berbagai krisis multidimensi
merusak moral pemuda-pemudi
menghadiahi pakaian seronok berlabel you can see
dan bermacam tayangan porno dalam vi-ci-di

o, kasihan bangsaku yang tak lagi suci
wajah kudus ulama diludahi
tetes darah pejuang bangsa tak dihargai
kasihan, negeriku hilang harga diri.

Rumah Puisi, 2009

Rakyat Negeriku Sedang Sakit

Muhammad Subhan

Tuhan
rakyat negeriku sedang sakit;
sakit hati-sakit jiwa-sakit korup-bersimaharajalela
berkelindan melindas akal sehat
yang tahyul, yang syirik, yang munafik
bercengkerama bagai sahabat karib
lalu harga diri pun tergadai
uang. begitu manis dikecap.

Tuhan
yang baik yang jahat
dua sahabat akrab. bela membela
damai pun merindu namun tak pernah menepi.

Rumah Puisi, 2009

Senyum Ponari

Muhammad Subhan

di bawah kibaran merah putih
ponari tersenyum menatap Indonesia

hiduplah Indonesia Raya ...

Rumah Puisi, 2009

Di Kamp Pengungsi

Muhammad Subhan

pagi itu di kamp pengungsi
satu lagi mayat ditanam orang
tak ada tangis
tak ada duka
semua berlalu begitu saja
kecuali isak pilu bocah sebelas tahun
di hadapan tubuh kaku
tubuh yang mengadu pada tuhan
tentang pengadilan dunia yang tak lagi adil

kematian itu sebagai pertanda
duka sang bocah sebagai seruan
pada kita yang tinggal
untuk mengulur tangan

tapi yang jelas
semua berlalu begitu saja.

Rumah Puisi, 2009

Terus Mencari

Muhammad Subhan

sepuluh kali kumenatap
hampa
sunyi dan sepi

seratus kali kubicara
diam
tunduk membungkam

seribu kali kutanya
kau tak menjawab
hilang sekejab

sejuta kali kumencari
dapat
siapa yang berbuat.

Rumah Puisi, 2009

Mahkamah Tuhan

Muhammad Subhan

jarum jam yang berdetak menyisiri waktu
tak pernah pasti kapan berakhir
tanpa bosan mendendangkan lagu
tak, tuk! tak, tuk!

ah, sketsa kehidupan semu
tak berwatas dan hanya tuhan yang tahu
kapan yang hidup, mati
dan yang mati dihidupkan kembali.

sampai persidangan yang maha adil dibuka
di mahkamah dengan jutaan terdakwa
dan yang yang jelas
tuhanlah hakim mulia
yang mengadili kita.

Rumah Puisi, 2009

Tentang Derita Sumi

Muhammad Subhan

kutahu kau membenci setiap bayi yang lahir
dari rahimmu yang kotor, sumi
seperti kau juga membenci setiap lelaki yang meniduri
tubuhmu ketika malam meninggalkan sisa-sisa nafsu
dan birahi diantara ruang yang temaram
sebab tak disinari penerang dan sehelai selimut
yang menutup semua kebohongan yang kau tawarkan;
janji, rindu, cinta, dan tentu juga uang.

ketika malam ini tiga lelaki meniduri tubuhmu
untuk kesekian kali, seperti tanpa pamrih kau tersenyum
menyetujui semuanya tanpa merasa berdosa
bahwa benih yang mereka tanam juga akan
melahirkan bayi-bayi yang selalu kau benci itu.

tapi ketika malam telah larut dan tubuhmu
semakin tak berdaya menahan derita yang perih
kau malah berteriak menyumpah serapahi ibumu
yang telah lama terkubur di bumi
dan menumpahkan semua kesalahan itu padanya
mengapa dia telah melahirkan tubuhmu yang hina.

kutahu, batinmu yang suci itu diam-diam mengutuki
tubuhmu yang dekil, kotor dan berkubang lumpur dosa
tapi kau tak peduli semuanya
seperti ketidakpedulianmu pada
bayi-bayi yang lahir dan mati di rahimmu
setelah kenikmatan semu kau teguk
bersama anggur dan setumpuk uang yang diselipkan
lelaki hidung belang diantara blus biru kumuh dan lusuh
yang entah sampai kapan kau lunasi hutang kreditnya.

di malam menjelang pagi ini, sumi
entah mengapa tiba-tiba kau tadahkan tangan
tinggi ke angkasa dan berteriak sekuatnya sebelum nafasmu
yang terakhir lepas dari jasadmu yang dekil dan kotor
sekotor darah di rahimmu yang telah melahirkan bayi-bayi
kesekian kali untuk hidup lalu mati.

Rumah Puisi, 2009

Suara-Suara di Rumahku

Muhammad Subhan

Meoooong… Tak tuk tak tuk. Kukuruyuuuk… Plung!. Tok tok tok. Ria, buka kan pintu. Halo, siapa ini? Di mana bola tadi, Didi? Selamat malam pemirsa, berita utama dari Palestina. Byurrrr… Kecilkan volume tvnya, Man!.
Ah, ibu-ibu jangan begitu dong, kami biasa saja kok. Papanya anak-anak baru pulang dari KL, ini hanya sedikit oleh-oleh. Ayo dicicipi.
Meoong… Usir kucingnya Ade.
Ma, belikan lontong dong. Ah, kamu bisa saja sayang, nanti aku telepon lagi ya. Cepat pulang.
Kerupuk, kerupuk… Brummmm. Tin tin tin … Bang, lihat kandang ayam di belakang. Kroookkkk…. Eh, yang tidur bangun!
Ah, segarnya. Apa yang kamu makan, San? Letakkan piring di sana.
Eh, ibu-ibu nonton gosip di tv tadi malam, gak? Papa, orang mati lagi berita di koran. Mbeekkk… Na, lihat kambing siapa yang masuk pagar. Usir keluar. Kunci pintunya.
Eh, mama belikan dedek balon, dong. Apa? Roti segi tiga? Yang saya tahu cinta segi tiga, Nyah. Bisa saja. Ambilkan uang mama, Rin? Ya, di dalam lemari kain. Pranggg… Piring mana lagi yang pecah?

Rumah Puisi, 2009

Lelaki yang Membeci Perempuan

Muhammad Subhan

Bukan perempuan yang tak mau menerima cintanya namun ia yang hanya diam membisu tak bisa menerima kata cinta dan tak bisa pula mengungkapkannya, maka tak pernah ada cinta yang menepi di hatinya.
Dia lelaki yang tak mempunyai hati hingga cinta tak pernah ia dapati. Lalu ia pun disorak kawan-kawannya sebagai lelaki yang tak laku-laku, padahal banyak perempuan yang merindukan cintanya dan kini masih menyendiri hingga ada yang bunuh diri. Tapi ia tak pernah peduli. Katanya, hatinya telah mati seperti karang di lautan yang dihempas ganasnya ombak. Ia hanya ingin menyetubuhi dirinya sendiri dan memiliki cinta sendiri tanpa dibagi-bagi kepada siapapun termasuk kepada seorang perempuan manapun.
Dia manusia egois yang tak peduli dengan sosok perempuan secantik apapun rupa perempuan itu. Yang ia tahu ia telah lahir dari rahim seorang perempuan yang dia sendiri tidak mengharapkan kelahirannya. Tentu saja karena ibunya adalah seorang pelacur jalanan dan entah dari benih lelaki mana ia tercipta. Lalu ia membenci semua perempuan meski bencinya tak beralasan. Ia mengembara dari satu kota ke kota lainnya hanya untuk membunuhi para perempuan yang melacurkan dirinya kepada laki-laki yang membayarnya dengan harga sangat murah. Ia tak peduli siapa perempuan yang ia habisi karena kebenciannya telah mendarah daging hingga ia pun tidak mengenal dirinya sendiri.
Ya, hatinya telah mati.

Rumah Puisi, 2009

Bukittinggi

Muhammad Subhan

Jam Gadang tua menjadi saksi bisu bahwa kau ada diantara ramainya orang-orang yang datang menyinggahi kotamu yang selalu gegap gempita layaknya kota metropolis di belantara kota-kota di dunia.
Bukittinggi kau sebut namamu yang mengenangkan kita dengan hamparan Ngarai Sianok, kebun binatang yang dulu adalah taman-taman bunga tempat bermain nona-nona Belanda dan Janjang Ampek Puluah yang menghubungkan pasar atas dan pasar banto yang kini telah berdiri mall megah perkasa di mana lahannya dulu tempat amai-amai berjualan mencari nafkah hanya berpayung kertas di tengah terik matahari yang panas. Namun Bukittingggi namamu tetap indah sebab kau punya Lobang Jepang, punya Jenjang Seribu, punya Istana Negara, punya Perpustakaan Proklamator Bung Hatta yang megah di Gulaibancah dan punya panorama Gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang tinggi menjulang.
Bukittinggi kau sebut namamu yang kini menjadi ikon pariwisata Indonesia yang mengundang decak kagum turis-turis yang berulang datang menyinggahi dirimu siang dan malam tanpa beban dan kau tetap tersenyum sebab uang selalu berputar di kotamu hingga subuh buta.

Rumah Puisi, 2009

Dengan Nama Tuhan Aku Mencintaimu, Istriku

Muhammad Subhan

Dengan nama Tuhan aku mencintaimu, istriku
Seperti cintanya Muhammad kepada Khadijah
Dan seperti cintanya Julaikha kepada Yusuf
Bukan cinta semu
Bukan pula cinta nafsu
yang melenakan kita mengingat kepada-Nya.

Dengan nama Tuhan aku mencintaimu, istriku
Seperti cintanya Adam kepada Hawa
Dan seperti cintanya Ibrahim kepada Hajar
Yang mengekalkan kasih sayang
Hingga akhir jaman tak lekang.

Rumah Puisi, 2009

Wanita

Muhammad Subhan

Wanita melahirkan cinta
Cinta melahirkan wanita
Laki-laki menyemai benih cinta wanita.

Rumah Puisi, 2009

Doa Ama Buat Kita Anak-Anaknya

Muhammad Subhan

Ama yang menangis melepas kepergianmu, adikku
ke kota merangkai cita-cita
meninggalkan sawah, ladang, dan gemercik air sungai
serta semilir angin yang senantiasa berhembus
menemani hari-hari kita
memupus kenangan dan asa
yang pernah kita rajut bersama.

Ama yang telah renta dalam usia, adikku
menangis dan tersenyum dalam bait doa-doanya
memuja-muji Tuhan ketika bayang wajahmu menghias
mimpi-mimpinya siang dan malam
air matanya bukan duka, adikku
perih batinnya bukan derita
tapi telaga kasih sayang yang tak pernah sirna
buat kita anak-anaknya.

seperti hari-hari kemarin, adikku
Ama masih berdiri di sisi jenjang rumah ini
menanti kita bersama silau bayang fatamorgana
sementara dzikir terus basah di bibirnya
dan doa-doanya masih terdengar seiring hembusan nafasnya
buat kau, adikku
dan kita anak-anaknya.

Rumah Puisi, Pertengah Juni 2009

Balada Rumah Tangga Ucok-Butet

Muhammad Subhan

Ucok lahir Butet lahir
Sama-sama menyusu di tetek kedua emaknya
Sama-sama makan bubur, tidur di kasur dan terus bertambah umur
Keduanya sekolah di satu sekolah
Sama-sama bermain, sama-sama bolos sekolah
Usia yang bertambah memupuk benih cinta keduanya

Ucok dan Butet akhirnya menikah
Membina rumah tangga mengikat sumpah sehidup semati
Awal menikah semua indah
Makan sehari pun tidak mengapa asal tetap berdua

Tapi nasib tak selalu berkata indah
Lahir anak satu cinta Ucok telah berbagi
Lahir anak kedua Ucok sering pulang pagi hari
Lahir anak ketiga Ucok minta poligami
Lahir anak keempat Ucok nekad tinggali Butet hidup sendiri

Lalu takdir pun mendera rumah tangga Ucok-Butet
Butet yang makan hati akhirnya memilih bunuh diri
Mati bersama keempat anak yang dilahirkannya
Di atas ranjang ketika malam pengantin, dulu, Ucok menggelutinya.

Padang Panjang, Juni 2009

Di Kaki Jam Gadang Ada Cinta yang Hilang

Muhammad Subhan

Si Upik dibuai janji gombal si Buyung
Di malam tahun baru, Jam Gadang menjadi saksi asmara keduanya:
Kata Buyung, “Pik, ayo kita nikmati cinta malam ini”
Tersipu malu Upik menjawab, “Jangan Uda, asmara kita terlarang”
Buyung merayu si Upik dengan janji akan menikahinya
Namun iblis menghembus nafsu birahi ke ubun-ubun keduanya
Malam ternyata begitu indah untuk dilewati begitu saja
Dan, di sebuah hotel tak jauh dari Jam Gadang
Si Upik meratapi kesuciannya yang telah hilang.

Padang Panjang, Juni 2009

Puisi di Rumah Puisi Taufiq Ismail

Muhammad Subhan

Diantara kaki Gunung Singgalang dan Merapi
Di negeri indah bernama Aie Angek, dekat Nagari Pandai Sikek
Berdiri megah sebuah rumah yang penuh dengan buku-buku
Rumah indah menawan mengundang decak kagum
Pemiliknya adalah seorang penyair ternama Indonesia
Dialah Taufiq Ismail sang pujangga
Rumah itu diberi nama Rumah Puisi adanya

Lihatlah taman bunga di halaman rumah itu
Indah rupawan seindah puisi yang digantung di tiang-tiang taman
Bunga beragam rupa beragam warna
Duhai, siapa hati yang takkan tergoda

Lihat pula kabut di puncak dua gunung nan megah itu
Gunung kebanggaan Rang Ranah Minang
Sejuk nian mata siapa saja yang memandang
Dibalik Singgalang tampak pula puncak Tandikek
Gunung kebanggaan Rang Koto Padang Panjang
Nun di sana, di pinggang Singgalang, tampak atap rumah-rumah warga yang diterpa silau sinar sang surya
Bagaikan kumpulan negeri di bawah kabut nan cantik memesona
Angin, kabarkanlah kepada dunia akan keindahan negeriku tercinta.

Rumah Puisi, Juni 2009

Ada dan Tiada

Muhammad Subhan

Aku lahir ke dunia dengan ada
Dan kembali kepada-Nya dengan tiada
Ada dan tiada
Fana.

Rumah Puisi, Juni 2009

Kehormatan Surti

Muhammad Subhan

Semenjak Surti kehilangan kehormatannya
Dia tak lagi dihormati
Meski oleh dirinya sendiri.

Padang Panjang, Mei 2009

Mulut Tikus, Mulut Kakus

Muhammad Subhan

Mulut tikus
Mulut kakus
Sama-sama rakus
Melahap kotoran.

Padang Panjang, Mei 2009

Kita Belajar untuk Melupakan Apa yang Telah Kita Pelajari

Muhammad Subhan

kita belajar untuk melupakan apa yang telah kita pelajari
tentang mimpi-mimpi
tentang janji-janji
tentang semuanya
yang tak pernah kita tahu kapan kita mengerti.

kita belajar untuk melupakan apa yang telah kita pelajari
bahwa kita ada setelah sebelumnya tiada
bahwa kita bisa setelah sebelumnya ragu
bahwa kita percaya tuhan benar adanya.

kita belajar untuk melupakan apa yang telah kita pelajari
kemarin, hari ini dan esok, tentu tak sama
masa depan, kitalah yang merangkainya.

Padang Panjang, 2009

Gempa Padang

Muhammad Subhan

:mengenang musibah gempa bumi di Ranah Minang

Rabu sore sepuluh hari sesudah Idul Fitri
Bumi berguncang di Ranah Minang
Gempa, Tujuh Koma Enam Scala Ricter
Di laut Padang Pariaman pusat patahan lempeng bumi
Untung tak mengundang tsunami
Tapi bencana itu merenggut ratusan nyawa urang awak
Tak kenal usia, tak peduli status sosialnya
Miskin kaya, tua muda, semua binasa
Ribuan orang luka-luka
Ribuan lainnya tertimbun
Di bawah puing-puing reruntuhan
Gedung pertokoan, gedung perkantoran
Dan rumah-rumah warga
Rata serata tanah
Longsoran bukit yang tak berhutan
Menyapu rumah tempat lahir mereka
Memusnahkan kenangan kampung halaman
Alam mengamuk, murka
Tuhan, begitu mudahnya nyawa direnggut

Padang dan Pariaman, dua kota luluhlantak
Kota-kota di dekatnya turut menjerit
Orang tua kehilangan anak, anak mencari bapak ibunya
Air mata mengalir deras, darah mengucur
Lalu asma Tuhan menggema, yang mungkin
Telah lama lupa dibaca
Atau selama ini cuma live service belaka
Penghias bibir orang-orang di masjid dan mushalla
Jiwanya di rumah ibadah, hati dan pikirannya entah di mana

Hari itu, orang-orang berlarian
Panik bak menghadapi kiamat
Kiamat, benarkah kiamat tiba?
Belum, Tuhan masih sayang kepada hambaNya
Kiamat kecil, pertanda akan datang kiamat besar
Entah kapan waktunya
Namun kiamat kecil itu, sudah luar biasa dahyatnya
Konon pula kiamat besar, yang tentu tak seorang jua
Dapat menanggung kegemparannya

Seorang ibu menangis di depan puing rumahnya
Seorang gadis terbaring lemah di dipan rumah sakit
yang para dokter dan perawatnya turut panik
Seorang lelaki tua tertatih memapah kakinya yang berdarah
Seorang anak kecil meraung-raung mencari bapak-ibunya

Padang, Tujuh Koma Enam Skala Ricter
Hari itu menjadi catatan kelabu
Ada tangis haru di negeriku

Padang Panjang, 2009

Senin, 01 Februari 2010

Orang Minang Diami Pulau Simeulue Sejak Ratusan Tahun Lalu


Oleh: Muhammad Subhan

Falsafah Minang tentang keharusan merantau jika belum berguna di kampung halaman agaknya menjadi motivasi orang minang mengadu untung di negeri orang. Bisa disebut, tak sejengkal tanah pun di nusantara yang tak dijejaki orang minang. Bahkan ada guyon, kalaulah di bulan ada kehidupan di sana orang minang pun akan suka merantau.

Apa istimewanya sebuah pulau terpencil di wilayah Barat Nanggroe Aceh Darussalam bagi orang minang yang datang kesana mengadu nasib? Pulau kecil dan terpencil dan jauh dari daratan itu adalah Pulau Simeulue yang baru 10 tahun menjadi kabupaten definitif. Siapa sangka pula kalau orang minang yang mendiami pulau ini sekarang berjumlah sekitar 640 Kepala Keluarga (KK) atau lebih kurang 3000-an jiwa?

Menurut salah seorang pendiri Ikatan Keluarga Minang Simeulue (IKMS), Bagindo Sutan Mul Rivaz Koto (43 tahun), orang minang mendiami Pulau Simeulue sudah ada sejak ratusan tahun lalu, bahkan sebelum Belanda datang menjajah nusantara. Sejarah orang minang merantau ke Simeulue, ceritanya dari sumber yang dapat dipercaya, mulanya dari ekspedisi balatentara Kerajaan Pagaruyung yang melakukan pelayaran ke pulau itu. Salah seorang yang cukup disegani bernama Inyiak Tuo.

“Ada hubungan bilateral antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan Pagaruyung di masa itu. Bahkan Sultan Aceh Iskandar Muda meminta seorang ulama asal Ulakan Padang Pariaman untuk menyebarkan agama Islam di Simeulue. Ulama itu kemudian di Simeulue dikenal sebagai nama Syekh Teungku Diujung,” ujar putra asal lereng Gunung Merapi, Canduang, Kecamatan IV Angkek, Kabupaten Agam ini.

Syekh Teungku Diujung tentu cukup dihormati. Murid Syekh Burhanuddin Ulakan ini menyebarkan agama Islam ke seluruh wilayah Pulau Simeulue hingga pulau-pulau kecil di sekitarnya. Banyak penduduk Simeulue yang fanatik akan kesantunan dan ketinggian ilmu agamanya. Banyak pula murid-murid yang menuntut ilmu kepadanya.

“Bahkan sampai sekarang, makam Syekh Teungku Diujung di Kampung Air Simeulue selalu ramai diziarahi oleh banyak pengunjung yang datang dari berbagai daerah,” kata Mul Rivaz yang saat ini mengabdi sebagai anggota kepolisian di Polres Simeulue sejak 4 tahun lalu.

Dia menyebutkan, organisasi IKMS merupakan organisasi minang yang baru dibentuk di Simeulue. IKMS berdiri pada bulan Juli 2009 lalu dan sekarang diketuai oleh Edi Tanjung, S.E., dengan masa jabatan 2009-2011. Sebelumnya memang ada organisasi minang di Simeulue, namanya Minang Serantau. Tapi beberapa masa sempat vakum.

“Untuk menggalang silaturahim sesama urang awak maka kami bersepakat mendirikan IKMS sebagai wadah utama membangun persatuan sesama perantau,” ujar Mul Rivaz yang telah merantau ke Aceh selama 22 tahun.

Dari jumlah 640 KK orang minang yang terdata di IKMS, jelasnya, sebagian besar didominasi orang minang asal Kabupaten Padang Pariaman dan Tiku Kabupaten Agam. Dari jumlah KK itu, mereka tersebar di beberapa kecamatan di Simeulue, di antaranya di Kecamatan Simeulue Timur (250 KK), Kecamatan Simeulue Tengah (150 KK), Kecamatan Simeulue Barat (20 KK), Kecamatan Teupah Selatan (15 KK), Kecamatan Teluk Dalam (10 KK), Kecamatan Salang (18 KK) dan Kecamatan Alafan (8 KK).

“Lumrahnya orang minang yang merantau ke daerah lain, orang minang di Simeulue juga berniaga, mulai dari berdagang kain, membuka warung makan, hingga pekerjaan swasta lainnya,” jelas Mul Rivaz.

Mengapa orang Minang senang tinggal di Simeulue ternyata tidak lepas dari adat dan budaya Simeulue. Ada kemiripan bahasa Simeulue dan bahasa minang. Di daerah ini sebagian masyarakatnya juga berbahasa minang yang kemudian dikenal sebagai bahasa Jamee (baca: bahasa tamu). Bahasa Jamee merupakan salah satu bahasa yang dimiliki salah satu suku di Aceh yang merupakan percampuran darah Minang-Aceh setelah proses perkawinan.

Bisa dikatakan orang minang di Simeulue cukup erat rasa persatuan dan kesatuan mereka. Meski IKMS baru terbentuk dan seumur jagung, berbagai kegiatan telah dilakukan, khususnya kegiatan-kegiatan sosial seperti penyelenggaraan kematian, olahraga, bazaar murah, dan juga melakukan dakwah di desa-desa terpencil. Bahkan mendukung program Pemda Simeulue saat ini IKMS sedang bekerja keras mempromosikan serta mengelola Danau Mutiara di Kecamatan Teluk Dalam dengan harapan bisa menjadi salah satu objek wisata andalan di Simeuleu.

“Walau kami sebagai perantau di sini, kami merasa Simeulue sudah menjadi kampung halaman kami sendiri,” ujarnya.

Begitupun, sebagai wujud perhatian warga perantau di Simeulue terhadap Sumatera Barat yang mengalami musibah gempa bumi pada 30 September 2009 lalu, seluruh warga minang Simeulue menggalang dana hingga berhasil mengumpulkan bantuan sebesar Rp20 juta. Dana sumbangan itu dikumpulkan secara spontan dengan melakukan berbagai kegiatan amal.

“Ketika mendengar Ranah Minang dilanda gempa hingga banyak menimbulkan korban jiwa, kami di Simeulue merasa turut berduka. Kami mendoakan semoga arwah para korban mendapat tempat yang mulia di sisiNYa,” ujar Mul Rivaz.

Untuk itu, mewakili pengurus IKMS lainnya dia berpesan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk bangkit kembali menata kehidupan masyarakat. Khususnya mengenai bantuan gempa dia harapkan benar-benar merata dan tidak disalahgunakan.

“Kepada para korban gempa kami doakan semoga dapat bersabar dan kuat menghadapi ujian ini. Bangkitlah kembali untuk menata masa depan Ranah Minang yang lebih baik,” harapnya. []

Foto:
DIKELOLA ORANG MINANG – Danau Mutiara di Kecamatan Teluk Dalam Simeulue, Aceh, ini dikelola oleh Ikatan Keluarga Minang Simeulue (IKMS) dengan harapan bisa menjadi salah satu objek wisata andalan di Pulau itu.