Oleh: Muhammad Subhan
PERSOALAN kemiskinan merambah ke seluruh kehidupan masyarakat Indonesia. Tak terkecuali Provinsi Bali, pulau yang dikenal sebagai landmark pariwisata Indonesia, tak luput dari persoalan kemiskinan. Di Pulau Dewata ini, dari 3.483.000 jiwa penduduknya, 217.700 KK (6,17 %) masih berstatus miskin.
Pendapat mengenai apa kemiskinan memang amat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, hingga pengertian lebih luas yang memasukkan komponen-komponen sosial dan moral.
Seperti halnya kasus yang terjadi di sejumlah provinsi lain, ragam pendapat menyebutkan bahwa kemiskinan timbul karena adanya ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi; bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan suatu masyarakat; atau bahwa kemiskinan adalah ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi.
Umumnya ketika orang berbicara kemiskinan maka yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini seseorang dikategorikan miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut sebagai kemiskinan konsumsi.
Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan amanat konstitusi dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Meski dikenal juga sebagai negeri ‘dollar’, penanggulangan kemiskinan di Provinsi Bali tidak dapat dilakukan secara singkat dan sekaligus karena kompleksitas yang dihadapi masyarakat miskin dan keterbatasan sumberdaya yang tersedia. Penanggulangan kemiskinan dilakukan Pemprov Bali juga secara bertahap, terpadu, terukur, sinergis dan terencana yang dilandasi oleh kemitraan dan keterlibatan berbagai pihak, dan dikelola sebagai suatu gerakan bersama penanggulangan kemiskinan untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar.
Pemerintah sebagai salah satu penyelenggara negara dan pengemban amanat rakyat berperan aktif menciptakan perluasan kesempatan bagi terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin seperti hak atas pekerjaan, hak atas pangan, hak atas pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Menurut hasil pertemuan penulis dengan jajaran Pemerintah Provinsi Bali diwakili Kabid Sosial Budaya pada Bappeda Bali, Dewa Brata, didampingi Kabid Sarana Prasarana Wilayah, Asrana Laga, dan I Nyoman Sudipa, ST, di ruang Bappaeda Bali, Jumat, 5 Juni 2009 lalu, diungkapkan bahwa berbagai kebijakan program yang telah ditempuh menunjukkan hasil yang kurang optimal. Selama ini, sebelumnya, program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan lebih berorientasi pada program sektoral. Kebijakan dan upaya penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun kemasyarakatan lainnya masih berjalan sendiri-sendiri, sehingga egoisme sektoral sangat kental serta belum optimalnya peran dan fungsi kelembagaan masyarakat dalam mengakomodasikan aspirasi masyarakat miskin.
Sama halnya di Sumatera Barat, permasalahan yang dihadapi masyarakat miskin di Provinsi Bali meliputi :
- Terbatasnya kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi
- Terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan dasar yang bermutu dan rendahnya status kesehatan
- Terbatasnya akses terhadap layanan kemiskinan formal dan non formal yang murah dan bermutu
- Terbatasnya kesempatan kerja dan peluang untuk mengembangkan usaha, lemahnya perlindungan aset usaha, dan lemahnya perlindungan kerja bagi pekerja anak dan pekerja perempuan
- Terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak, rendahnya mutu lingkungan permukiman, dan lemahnya perlindungan atas pemilikan perumahan
- Rendahnya akses terhadap air bersih dan aman, serta sanitasi untuk memenuhi standar kehidupan manusia sehat
- Ketimpangan struktural penguasaan dan pemilikan tanah serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian
- Terbatasnya akses terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan rentan terhadap perubahan lingkungan
- Lemahnya jaminan rasa aman dari tindak kekerasan dan konflik yang menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya
- Rendahnya partisipasi masyarakat dalam perumusan pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi kebijakan dan program pembangunan disebabkan oleh terbatasnya ruang bagi keterlibatan masyarakat miskin
- Rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan rendahnya akses perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi dan keterlibatan dalam kegiatan yang lebih luas.
Berkaitan dengan semua permasalan itu, Pemerintah Provinsi Bali telah merumuskan sebuah strategi penanggulangan kemiskinan dalam bentuk Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (DSPKD) Provinsi Bali Tahun 2005-2009.
Dalam dokumen itu disebutkan, tujuan dan sasaran strategi penanggulangan kemiskinan adalah untuk mengimplementasikan Dokumen Strategi Pennggulangan Kemiskinan Daerah Bali yang direview berdasarkan Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan sebagai salah satu upaya mendorong gerakan nasional dalam penanggulangan kemiskinan.
Pemerintah Provinsi Bali juga telah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) Provinsi Bali dengan keputusan Gubernur Bali Nomor 405/04-H/HK/2002 tanggal 2 September 2002 jo SK Gubernur Bali Nomor 81/04-H/HK/2005 tanggal 3 Maret 2005. KPKD yang dibentuk tersebut disamping bertugas menyusun Dokumen SPK Daerah, juga mempunyai fungsi sebagai wadah koordinasi program-program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Bali. KKPD ini tak jauh beda perannya dengan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) di Sumatera Barat yang telah dibentuk beberapa tahun sebelumnya.
Gambaran Kemiskinan di Bali
Provinsi Bali terletak diantara Pulau Jawa dan Pulau Lombok yang secara astronomi terletak pada 8 derjat 03’ 40” – 8 derjat 50’ 48” Lintang Selatan dan 114 derjat 25’ 53” – 115 derjat 42’ 40” Bujur Timur, dengan batas-batas: sebelah Utara dengan Laut Bali, sebelah timur dengan Selat Bali, sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia dan sebelah Barat dengan Selat Bali.
Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi atas 8 Kabupaten dan 1 Kota terdiri dari 56 kecamatan dan 701 desa dengan luas wilayah 5.632,86 km2 atau + 0,29% dari luas wilayah Indonesia.
Secara umum kondisi alam Pulau Bali terbagi menjadi 2 bagian yang relatif tidak sama, yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai; dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kondisi alam seperti ini sangat berpengaruh terhadap iklim di Bali. Umumnya bagian Selatan mempunyai curah hujan lebih tinggi dari bagian Utara. Relief dan topografi Pulau Bali digambarkan dengan membentangnya pegunungan di tengah-tengah yang memanjang dari Barat ke Timur. Diantara pegunungan tersebut terdapat gunung berapi yaitu Gunung Batur (1.717 m) dan Gunung Agung (3.142 m). Gunung yang tidak berapi antara lain, Gunung Merbuk (1.356 m), Gunung Patas (1.414 m) dan Gunung Seraya (1.058 m). Selain itu terdapat empat buah danau yaitu Danau Beratan, Danau Buyan, danau Tambingan, dan Danau Batur.
Kondisi tanah memiliki karakteristik yang berbeda yaitu tanah subuh terutama pada bagian Selatan dan tengah, sedangkan daerah yang tanahnya gersang/tandus pada umumnya daerah bagian Timur, Utara dan sebagaian Selatan. Di daerah dengan kondisi alam yang gersang/tandus inilah, penduduknya sebagian besar termasuk kategori penduduk miskin. Pola pemanfaatan lahan tahun 2004 berupa areal persawahan 16%, perkebunan 21 %, tegalan 23%, kawasan hutan 25%, pekarangan 9% dan lain-lain 6%.
Luas wilayah Provinsi Bali 5.632,86 km2 atau + 0,29 dari luas wilayah Indonesia, dengan jumlah penduduk 3.483.000 jiwa (2008), kepadatan penduduk mencapai 601 jiwa/km2. Terdapat ketimpangan kepadatan penduduk antarkabupaten/kota, yaitu Denpasar, Gianyar, dan Badung berada jauh di atas rata-rata kepadatan provinsi, masing-masing 4.295, 1.068 dan 826 jiwa/km2. Fakta penyebab utama tingginya perbedaan dalam kepadatan penduduk antarkabupaten/kota adalah perbedaan dalam pertumbuhan penduduk. Pada periode 1990-2000, pertumbuhan penduduk per tahun Kota Denpasar mencapai 3,20%, Kabupaten Badung 2,33%, dan Kabupaten Gianyar 1,56%. Pertumbuhan penduduk Provinsi Bali pada periode tahun 2000-2004 mencapai 1,89%.
Ketimpangan penduduk juga terjadi antar wilayah desa-kota. Pada periode 1990-2000, terjadi peningkatan yang tajam prosentase penduduk di perkotaan, yaitu dari 26,44% menjadi 47,76%, dan sebaliknya terjadi penurunan pada wilayah desa dari 73,56% menjadi 52,24%. Keadaan tersebut diakibatkan terutama oleh perbedaan pertumbuhan penduduk, yaitu pada wilayah kota mengalami pertumbuhan 7,43% per tahun, sedangkan di pedesaan (-)2,15%.
Ketimpangan demografi ini sebagai dampak ketimpangan pembangunan antarwilayah, baik antarkabupaten/kota maupun antar perdesaan-perkotaan, pada gilirannya ketimpangan demografi ini juga berdampak pada ketimpangan ekonomi. Dengan dasar pemikiran tersebut, pengendalian distribusi dan pertumbuhan penduduk antarwilayah akan sangat membantu mempercepat penurunan ketimpangan ekonomi antarwilayah, baik antarperdesaan-perkotaan maupun antar kabupaten/kota.
Jumlah Rumah Tangga Miskin
Dalam penentuan Rumah Tangga Miskin, Provinsi Bali juga memakai variabel Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil pendataan tahun 2006, diperoleh jumlah rumah tangga miskin per 31 Mei 2006 Provinsi Bali mencapai 147.044 KK yang tersebar di kabupaten/kota. Sedangkan keadaan per 31 Desember 2008 jumlah rumah tangga miskin/rumah tangga sasaran di Bali berjumlah 134.804 RTM/RTS. Berbagai program pengentasan kemiskinan yang dilakukan Pemprov Bali secara perlahan menekan jumlah rumah tangga miskin.
Rincian rumah tangga miskin/rumah tangga sasaran per kabupaten/kota di Provinsi Bali keadaan per 31 Desember 2008, adalah; Jembrana (5.727 RTM/RTS), Tabanan (11.624), Badung (3.826), Gianyar (7.509), Klungkung (7.988), Bangli (13.451), Karangasem (35.921), Buleleng (45.187) dan Denpasar (3.571).
Penetapan rumah tangga miskin ini dilakukan setiap tahun dengan keputusan bupati/walikota per 31 Desember setiap tahunnya dan dipakai sebagai acuan penyusunan program penanggulangan kemiskinan tahun berikutnya dan secara rutin melakukan up datting/pemutakhiran/validasi data Rumah Tangga Miskin (RTM) yang merupakan kewenangan kabupaten/kota dengan menggunakan kriteria yang sama yang dilaksanakan oleh masing-masing kabupaten/kota dengan beban biaya dari APBD kabupaten/kota.
Yang menarik, selain variabel yang telah ditetapkan BPS, Provinsi Bali juga punya variabel “local content” yang sangat berpengaruh untuk penduduk di daerah itu. Pelaksanaan ini telah dilakukan dan menghasilkan 8 variabel pembeda, yaitu:
1. Fasilitas tempat buang air besar
2. Sumber penerangan
3. Pengeluaran untuk makanan
4. Pengeluaran untuk sandang (pakaian, alas kaki, dll)
5. Jenis dinding terluas
6. Jenis lantai terluas
7. Adanya anggota rumah tangga yang mengkonsumsi minimal 3 jenis lauk-pauk berprotein tinggi
8. Akses layanan kesehatan
Setelah mengalami beberapa kali pembahasan disepakati 14 variable kemiskinan, yaitu :
1. Jumlah pengeluaran rumah tangga untuk makan selama seminggu yang lalu
2. Beberapa jenis lauk-pauk berprotein tinggi yang dikonsumsi rumah tangga selama seminggu yang lalu
3. Jumlah pengeluaran rumah tangga untuk keperluan membeli pakaian, sepatu, dll selama setahun lalu
4. Berapa kali pembelian pakaian selama setahun lalu
5. Kepemilikan rumah
6. Jenis dinding terluas
7. Sumber penerangan
8. Jenis lantai terluas
9. Sarana tempat buang air besar
10. Fasilitas air bersih
11. Anggota rumah tangga berusia 6-15 tahun baik yang sekolah maupun tidak sekolah
12. Pelayanan kesehatan
13. Jumlah pengeluaran rumah tangga untuk upacara agama selama seminggu yang lalu
14. Sumber keuangan /pendapatan rumah tangga
Program Kemiskinan yang Telah Dilaksanakan
Seperti halnya provinsi lainnya di Indonesia, termasuk Sumatera Barat, Propinsi Bali sebelumnya juga telah menjalankan sejumlah program dalam upaya menurunkan jumlah rumah tangga miskin di daerah itu. Beberapa program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan antara lain: program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program IDT sebagai payung dari gerakan penanggulangan kemiskinan, merupakan perluasan dan peningkatan berbagai program dan upaya penanggulangan kemiskinan yang langsung ditujukan untuk menangani masalah kemiskinan pada tingkat perdesaan. Penanggulangan kelompok masyarakat miskin dalam wujud pemberian bantuan langsung berupa; bantuan dana sebagai modal kerja, bantuan prasarana dan sarana, termasuk alat produksi sebagai sarana kerja, bantuan pendampingan yang diberikan dalam rangka meningkatkan keterampilan masyarakat, dan pengembangan kelembagaan masyarakat, termasuk kelembagaan pengelolaan keuangan.
Dalam upaya menanggulangi dampak krisis ekonomi pemerintah juga melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Prioritas dalam program JPS adalah; peningkatan ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerja produktif, pengembangan usaha kecil dan menengah, dan perlindungan sosial masyarakat dalam pelayanan dasar khususnya kesehatan dan pendidikan.
Program penanggulangan kemiskinan lainnya, diantaranya P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUKESRA (Kredit Usaha Keluarga Sejahtera), dan TAKESRA (Tabungan Keluarga Sejahtera), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), KBU (Kelompok Belajar Usaha), UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga), UED-SP (Usaha Ekpnomo Desa-Simpan Pinjam), PDM-DKE (Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi), LPMD (Lumbung Pangan Masyarakat Desa), P2W-KSS (Peningkatan Peran Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera), BKB (Bina Keluarga Balita), PMT-AS (Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah), UPGI (Upaya Peningkatan Gizi Institusi), PPA (Penanggulangan Pekerja Anak), P2RT (Pembangunan Pertanian Rakyat Terpadu), Diversifikasi Pangan dan Gizi, P2LDT (Pemugaran Perumahan Lingkungan Desa Terpadu), PSAB (Pengelolaan Sarana Air Bersih), UPS/KPS (Unit Pengelola Sarana/Kelompok Pemakai Sarana), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), dan PPWT (Program Pengembangan Wilayah Terpadu), CBD (Community Based Develovment), PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) serta program yang sedang dalam pelaksanaan adalah PPK (Program Pengembangan Kecamatan) dan PKPS-BBM (Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak).
LPD: Gramen Bank Ala Bali, Adopsi LPN di Sumbar
Lembaga keuangan mikro yang dikembangkan Propinsi Bali sebenarnya belum ada apa-apanya jika dibanding Sumatera Barat. Sebab, sejak puluhan tahun lalu Sumatera Barat telah punya program Lumbung Pitih Nagari (LPN). Mengadopsi LPN inilah, Propinsi Bali membentuk Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang saat ini telah berkembang mencapai sekitar 1.300 unit usaha.
Merujuk ke belakang, LPN di Sumbar merupakan lembaga keuangan yang solid di nagari-nagari Sumatera Barat dalam rangka menekan angka kemiskinan masyarakat nagari dan memberdayakan mereka dengan memberikan bantuan modal usaha. Sebab, selain lembaga-lembaga pemerintahan, untuk kepentingan penunjang secara ekonomis, nagari harus memiliki lembaga keuangan yang strategis, itulah yang disebut Lumbung Pitih Nagari (LPN). Lembaga keuangan ini kalau di dalam masyarakat desa adat (pakraman) di Provinsi Bali bisa disamakan dengan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Sama dengan di Bali peran LPN cukup besar bagi masyarakat adat Minangkabau masa saisuak.
Namun sayangnya, pada Oktober 1988 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi perbankan, yang dikenal sebagai Pakto 88 yang antara lain memberi kemudahan bagi pendirian BPR. Sejak itulah LPN diubah statusnya menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kini BPR-LPN ini tidak lagi hanya melayani masyarakat di dalam satu nagari, tetapi juga masyarakat di nagari-nagari lainnya. Dan, sejak berubah jadi BPR, LPN yang tetap tidak mengubah dirinya menjadi BPR hanya sedikit yang bertahan; hidup segan mati tak mau. Bahkan LPN yang murni LPN kini sudah tak terdengar lagi. Hilang tergerus perubahan jaman.
Dalam konteks kepentingan masyarakat nagari di Sumbar, semangat untuk kembali ke pemerintahan nagari yang telah didengungkan beberapa tahun sebelumnya, meski tanpa LPN telah menumbuhkan pemikiran-pemikiran baru, salah satunya yang digagas Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, yaitu membentuk lembaga Kredit Mikro Nagari (KMN) yang sebenarnya tidak lain adalah roh dari LPN yang telah almarhum. KMN inilah nantinya diharapkan mengembalikan kejayaan yang pernah diraih LPN dalam menekan angka pengangguran dan kemiskinan masyarakat. Sebagai gubernur Gamawan Fauzi Paham betul bahwa mengentaskan kemiskinan adalah tanggung jawab pemerintah sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.
Provinsi Bali bisa disebut unggul karena mereka telah menjalankan konsep LPN yang mereka pelajari sendiri dari Sumatera Barat. LPD yang dibentuk di Bali telah menghidupkan banyak usaha masyarakat di daerah itu. Hal tersebut diakui Kabid Sosial Budaya pada Bappeda Bali, Dewa Brata, bahwa LPD telah menjadi kekuatan ekonomi luar biasa di Bali. Bahkan sejumlah LPD di Provinsi Bali telah membangun kerja sama dengan perbankan dalam satu sistem jaringan online dengan menyediakan berbagai layanan. Dengan demikian, LPD lambat laun mengahapus segala praktik rentenir yang juga marak di Bali.
Dia mencontohkan, satu LPD di Denpasar dalam setahun mampu meraih keuntungan Rp1,2 miliar. Belum lagi LPD Kuta yang juga berkembang luar biasa, asetnya telah mencapai triliunan rupiah. Potensi yang luar biasa dilahirkan LPD tersebut tentu saja mendapat perhatian dan dukungan penuh dari Pemprop Bali, disamping membantu penambahan modal aset LPD juga membantu komputerisasi disertai jaringan online ke seluruh LPD yang tersebar di seluruh desa adat.
Pelayanan yang dikembangkan LPD di Bali pun sudah beragam, misalnya untuk pembayaran listrik, air, telepon. Kedepan juga dipersiapkan untuk melengkapi anjungan tunai mandiri (ATM). LPD yang didukung sepenuhnya oleh lembaga adat di Bali ini, kedepan tentu saja akan menjadi kekuatan yang dahsyat dalam mendukung perekonomian masyarakat dan daerah yang kaya akan potensi pariwisatanya itu.
Diakuinya, persoalan yang sedang dicari jalan keluarnya adalah mengenai sikap Bank Indonesia yang masih mempermasalahkan LPD sebagai bentuk usaha di luar perbankan. Namun persoalan itu diharapkannya tidak terus berlarut dan ditemukan solusi bijak karena LPD di Bali sangat bermanfaat membantu meringankan beban keluarga miskin di daerah itu. Dia berharap pemerintah bisa bersikap lebih arif dan bijaksana, misalnya dengan merangkul LPD dalam kelompok bisnis tersendiri yang diberikan izin seperti perbankan layaknya.
Kehadiran LPD di Bali diperhatikan tetap eksis di masa krisis finansial global. Evaluasi sementara yang dilakukan terhadap sejumlah LPD, perputaran uang berjalan lancar dengan terus melayani masyarakat serta dipercaya nasabah di desa adat masing-masing. LPD ini pun, lambat laun menjadi pesaing berat bagi bank konvensional, bank unit mikro, termasuk bank perkreditan rakyat. Namun persaingan ini benar-benar akan sehat karena LPD mempunyai segmen pasar tersendiri.
Yang menarik, LPD bisa disebut “Grameen Bank”nya Provinsi Bali. Jika saja Muhammad Yunus dan Grameen Bank (Bank Desa) dari Bangladesh tahu bahwa Bali punya LPD, Muhammad Yunus mungkin akan tak sungkan datang ke Bali untuk menyamakan visi mengentaskan kemiskinan masyarakat dunia.
Memang, lingkup LPD terbatas hanya di Pulau Bali dan di sejumlah desa adat yang membuat gaungnya terbatas. Grameen Bank telah merambah ke seluruh negara Bangladesh dan beberapa negara lainnya. Namun demikian, pengamatan penulis, dari sisi kinerja, LPD boleh dibandingkan dengan bank sekaliber swasta nasional. Debitor-debitor LPD sangat taat waktu. Mereka tahu diri kapan saat membayar kembali kreditnya. Hal itu tentu saja dilakukan, sebab jika terlambat membayar atau tidak mau membayar sama sekali, maka sanksi adat setempat akan berperan. Debitor akan disidangkan dimuka tokoh-tokoh adat dan masyarakat hingga membuat mereka malu. Dan mereka menanggungnya sebagai beban sosial dan adat di masyarakat. Taruhannya, setiap kredit yang macet di LPD akan dikenakan sanksi tidak mendapat jatah makam (kuburan) di desa.
Sanksi adat ini membuat bulu kuduk segenap debitur LPD merinding. Masalah status dan harga diri sangat terkait dengan tersedianya makam. Mau di mana lagi mereka dimakamkan selain di desa adat? Di pulau yang dijuluki Pulau Dewata dan tempat di mana adat masih dipegang teguh, tanah tempat kelahiran adalah tempat terbaik untuk istirahat abadi. Layaknya adat di Sumatera Barat, yang melanggar adat maka mereka bisa dibuang sepanjang adat.
Kuatnya sanksi adat ini, LPD pun diklaim sebagai salah satu lembaga pembiayaan sehat yang terhindar dari cengkeraman kredit macet. Menurut Kabid Sosial Budaya pada Bappeda Bali, Dewa Brata, setiap tahunnya masalah kredit macet dibawah nol persen, bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali.
Secara ukuran-ukuran keuangan, LPD bisa jadi salah satu lembaga pembiayaan keuangan nonbank terkecil di Indonesia. Dasar hukumnya hanya ditarik dari Peraturan Provinsi Bali Nomor 8/2002 yang mengartikan LPD sebagai perusahaan milik desa dan sebagian dari aset desa. Wewenang mengeluarkan izin, mengatur dan mengawasi semua LPD diatur sepenuhnya oleh Gubernur.
Penggalangan simpanan dibatasi dari masyarakat desa saja. Wilayah kerja satu LPD setara dengan wilayah administratif satu desa adat di Bali. Salah satu LPD di Bali, yaitu LPD Desa Ketewel, awal mula berdiri (tahun 1991) hanya memiliki aset Rp2 juta, sedangkan sekarang telah punya aset Rp30 miliar. Ini tentu saja pencapaian sukses yang luar biasa.
Kemandirian LPD di Bali menyebabkan LPD tidak hanya menunggu bola, melainkan mereka juga menjemput bola mendatangi nasabahnya. Beberapa nasabah mengaku rumah mereka dikunjungi petugas LPD untuk menawarkan layanan yang diberikan. Konsumen yang diincar LPD umumnya adalah para penduduk desa dan pedagang pasar dari luar desa adat. Umumnya masyarakat yang berkenan menjadi nasabah LPD alasan utama adalah mereka butuh pinjaman untuk pengembangan usaha.
Selain kebutuhan meminjam, banyak nasabah juga menggunakan LPD untuk menyimpan uang (menabung) agar uang mereka aman, selain itu ada yang meminjam dana untuk kebutuhan konsumtif termasuk keperluan darurat. Yang menarik, LPD di Bali juga digunakan sebagai wadah pengumpulan dana bagi kegiatan keagamaan. Ada nasabah yang menggunakan LPD sebagai kontribusi desa adatnya dan ada nasabah yang menabung di LPD untuk persiapan upacara keagamaan di masa mendatang.
Menurut Kepala LPD Desa Adat Ketewel I Ketut Mardika, berdasarkan pendidikan, 38,5 persen nasabah LPD yang dipimpinnya lulusan SD, kemudian berturut-turut dibawahnya 34,9 persen lulusan SMA, 13,5 persen lulusan SMP, dan hanya sembilan persen yang menikmati bangku kuliah. Sementara dari mata pencaharian, nasabah LPD didominasi oleh wiraswasta sebanyak 48,7 persen, disusul petani sebanyak 25 persen. Lalu karyawan swasta 13 persen, pegawai negeri sipil 7,7 persen, dan kalangan pelajar/mahasiswa dua persen.
Dari pendapatan bulanan, dari pendataan yang dilakukan pihaknya, sebagian besar nasabah LPD ditempatnya berada pada atau mendekati garis kemiskinan. Tercatat nasabah LPD yang memiliki pendapatan bulanan di bawah atau sama dengan Rp500 ribu mencapai posisi kedua nasabah terbanyak. Ia setelah nasabah dengan penghasilan antara Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan sebanyak 47 persen. Baru kemudian nasabah yang pendapatannya antara Rp1,5-3 juta per bulan yang sebanyak 26 persen, dan nasabah tajir dengan tingkat pendapatan di atas Rp5 juta hanya 6,1 persen.
Menurut Ketut, secara keseluruhan nasabah LPD puas dan menikmati layanan lembaga tersebut. Nasabah LPD merasa puas dalam hal kemudahan transaksi dan kepercayaan pada LPD sebagai tempat yang aman untuk menabung. Kepuasan utama nasabah diperoleh dalam hal kemudahan transaksi dan kepercayaan terhadap LPD sebagai tempat untuk menabung. Namun di sisi lain, ada juga yang merasa tidak puas atas kurang canggihnya LPD, karena belum semua LPD di Bali memanfaatkan kemudahan teknologi, juga kondisi kantor yang kecil sehingga nasabah sering antri, serta media informasi LPD yang belum sepenuhnya berjalan maksimal.
Potensi yang dimiliki LPD tersebut diharapkan nasabah agar LPD-nya menerbitkan kartu kredit. Sebab teknologi yang dimiliki perbankan konvensional lain memiliki layanan kartu kredit dalam rangka memudahkan transaksi nasabah. LPD pun sebagai lembaga keuangan yang mulai menampakkan eksisnya bisa mengikuti langkah yang dilakukan perbankan konvensional itu.
Yang menarik adalah tingkat bunga yang ditawarkan LPD ternyata tidak menjadi prioritas nasabah. Bunga pinjaman hanya 1,3 persen, sangat kecil dibandingkan bunga yang ditawarkan bank konvensional atau lembaga keuangan lain. Kecilnya bunga pinjaman inilah yang membuat nasabah betah bertahan. Jika dibandingkan KMN di Sumatera Barat yang tidak memungut bunga, KMN dalam hal ini lebih unggul. Namun persoalannya usia KMN masih relatif muda dan belum seluruhnya menyentuh masyarakat kurang mampu di Sumatera Barat.
Beberapa langkah startegis dalam pengembangan LPD yang sedang dilakukan pemerintah daerah Bali, adalah memberikan pelayanan sebanding dengan kesetiaan nasabah yang mereka terima. Disamping itu sejumlah trik bisnis LPD pun sedang disiasati. LPD akan meningkatkan kinerja manajemen dan staf terutama dari sisi kemampuan marketing dan komunikasinya. Ini akan diimbangi dengan memberikan pelatihan dan insentif yang mumpuni.
Selanjutnya adalah memperbanyak atau mulai memperkenalkan insentif dan bonus promosi, khususnya pada nasabah tabungan. Ini diikuti oleh strategi penjualan silang, di mana LPD menilai sejumlah penabung yang prospektif untuk ditawari pinjaman dan membangun deposito secara otomatis ke dalam jadwal pembayaran cicilan kreditnya. Disamping itu, memperbaiki tata ruang dan penampilan kantor. Sebab sebagian LPD di Bali masih menumpang di kantor desa dan kantor dengan status kontrak. Sebagai lembaga keuangan independen, LPD sudah harus memikirkan kantor sendiri yang letaknya strategis hingga layanan yang diberikannya tetap maksimal.
Tata Kelola LPD
* Organisasi dan perencanaan
Berdasarkan Perda Provinsi Bali No. 8/2002, setiap LPD dikelola oleh sebuah komite (ketua, kasir dan petugas administrasi). Deskripsi manajemen inti dapat dijelaskan bahwa ketua bertugas mengordinasi kegiatan operasional harian LPD, pembuatan perjanjian kontrak dengan nasabah, bertanggung jawab pada desa adat melalui pemimpinnya (Dewan Pengawas LPD), menyusun rencana kegiatan dan anggaran, dan memformulasikan kebijakan LPD. Petugas administrasi melakukan tugas-tugas administrasi, baik administasi umum maupun tata buku, bertanggung jawab kepada ketua LPD, menyusun laporan neraca dan laporan pendapatan, serta mengelola arsip. Sedangkan kasir adalah mencatat aliran dana. Staf LPD membantu ketua melaksanakan tugasnya dan terlibat dalam pembuatan kegiatan dan rencana anggaran dalam keputusan pemberian kredit.
Dalam mengelola LPD, tim manajemen juga memantau perubahan situasi makro-ekonomi, melakukan rapat formal triwulanan untuk evaluasi internal yang melibatkan semua staf. Staf pengumpul kredit diberi pengarahan harian mengenai tugas mereka oleh ketua LPD sebelum mereka mulai bekerja evaluasi internal LPD dilakukan oleh dewan pengawas.
Hal ini membenarkan pendapat bahwa struktur organisasi LPD mampu mengimplementasikan kebijakan dan strategi LPD untuk mencapai tujuannya. Kemampuan manajemen internal LPD memperoleh dukungan dari pengawasan dan bimbingan yang diberikan pemerintah lokal pada tiap tingkatan dan oleh bank BPD Bali.
Hal ini membenarkan pendapat bahwa struktur organisasi LPD mampu mengimplementasikan kebijakan dan strategi LPD untuk mencapai tujuannya. Kemampuan manajemen internal LPD memperoleh dukungan dari pengawasan dan bimbingan yang diberikan pemerintah local pada tiap tingkatan dan oleh bank BPD Bali.
* Prosedur Rekruitmen
Tim manejemen inti direkrut dari desa adat lokal. Mereka dipilih dari anggota komunitas desa dan ditetapkan dalam rapat desa untuk periode empat tahun. Namun mereka dapat dipilih kembali apabila mampu bekerja dengan baik. Komite manajemen biasanya dibantu oleh dua atau tiga staf yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan tabungan dan pinjaman.
Menurut pasal 11(4) Perda Provinsi Bali No. 8/2002 bahwa salah satu tugas penting komite inti adalah menjalankan kewenangan untuk menunjuk staf baru atau untuk memberhentikan staf manajemen operasional LPD. Rekruitmen staf tambahan dilakukan berdasarkan perkembangan skala usaha LPD. Pemilihan staf baru oleh Dewan Pengawas juga didasarkan atas tes kemampuan dan sifat atau karakter pelamar, dan masing-masing dusun di desa adat harus terwakili oleh anggota staf. Kemudian para pelamar mengikuti tes kemampuan (motivasi, kemauan untuk mengabdi di LPD, dan pengetahuan umum) yang diadakan oleh PLPDK. Persyaratan umum untuk pelamar ialah memiliki minimal ijazah tingkat SMU. Singkatnya, prosedur rekruitmen ini menggambarkan pentingnya peran institusi informal dalam tata kelola LPD, dan menunjukkan kuatnya keterikatan LPD dengan lingkungan sosio-kulturalnya.
Prinsip Pengaturan Operasional Prinsip ini mencakup peraturan mengenai kecakupan modal (capital adequacy), batas jumlah peminjaman (legal lending limit), cadangan untuk kerugian pinjaman manajemen likuiditas, dan sistem pemeringkatan LPD. LPD harus menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dari lembaga keuangan agar dapat menjadi lembaga keuangan yang sehat.
Berdasarkan kriteria CAMEL BPR yang diterapkan BI berdasarkan surat edaran No. 30/UUPB, 30 April 1997 (Bank BPD Bali, 2000) bahwa pengaturan ini mengatur CAR, kualitas aset produktif, aspek manajemen, pendapatan dan likuiditas.
* Mekanisme Penyaluran Pinjaman
Dalam kaitannya dengan tingkat bunga, pada tahun 2008 tingkat bunga pinjaman untuk pinjaman berkisar antara 1 hingga 1,3 persen, lebih rendah dari pada rata-rata tingkat bunga bank umum lainnya. Peraturan desa adat juga berlaku bagi staf LPD yang melanggar peraturan dan salah dalam mengelola operasional harian LPD, seperti kolusi, korupsi atau manipulasi. Sanksi sosial dapat dikenakan pada mereka. Selain itu, berdasarkan peraturan legal formal, pasal 24 Perda No. 8/2002 yang menyatakan bahwa staf LPD yang melanggar peraturan dan menyebabkan LPD menderita kerugian keuangan haruslah mengganti kerugian tersebut. Pasal 26 yang menerangkan pasal 24 peraturan tersebut menekankan bahwa staf terpidana dapat memperoleh hukuman maksimum 6 bulan penjara atau maksimum denda Rp5 juta. Singkatnya, gambaran ini menunjukan bahwa institusi informal (seperti norma-norma dan sanksi sosial) dan institusi formal (peraturan legal formal) digunakan bersama-sama dalam tata-kelola LPD.
* Sistem Penggajian
Sistem penggajian pada LPD dimaksudkan untuk menstimulasi kinerja yang lebih baik dari stafnya, terutama dalam mengumpulkan pinjaman dan mempromosikan dan melayani tabungan. Diantara manjemen inti LPD, ketua memperoleh gaji paling tinggi, diikuti oleh petugas kasir dan tenaga administrasi. Prinsip penentuan gaji pokok yang didasarkan biaya hidup di desa di mana LPD berada juga tercermin pada kuatnya hubungan antara LPD dan lingkungan sosio-ekonominya.
Kondisi makro-ekonomi yang terus tumbuh dan stabil disertai dengan liberalisasi pasar keuangan pada tingkat nasional, stabilitas politik di Bali, dukungan dari pemerintah pada semua tingkat administratif, tingkat kohesi sosial masyarakat Bali yang tinggi dan struktur sosial tradisional yang penting telah mendukung pertumbuhan LPD. Tidak ada keraguan bahwa kondisi makro-ekonomi yang terus tumbuh dan stabil dan lingkungan sosio-kultural merupakan faktor penting dalam pertumbuhan dan perkembangan LPD di Bali.
Kebijakan strategis
Selain gencar menggerakkan LPD, Pemerintah Provinsi Bali juga melakukan langkah-langkah strategis lainnya dalam rangka meningkatkan pendapatan penduduk miskin melalui kegiatan produktif. Langkah-lagkah yang dilaksanakan itu diantaranya; penciptaan dan perluasan kesempatan berusaha bagi kelaurga miskin, membuka peluang pasar menjadi lebih terbuka bagi hasil produksi kelompok masyarakat miskin.
Selain itu melakukan penguatan ekonomi keluarga, kegiatan-kegiatan ekonomi dalam keluarga yang semula bersifat pemenuhan kebutuhan sendiri, ditingkatkan menjadi kegiatan produktif yang lebih berskala ekonomi dan berorientasi pada pasar. Disamping itu melakukan pemberdayaan masyarakt miskin, yaitu memberdayakan manusianya, pemberdayaan usahanya dan pemberdayaan lingkungannya.
Diakui, kebijakan penanggulangan kemiskinan pada masa lalu memperlihatkan beberapa kelemahan antara lain lebih berorientasi pada pertumbuhan daripada pemerataan, sentralisasi kebijakan daripada desentralisasi kebijakan, memposisikan masyarakat sebagai objek daripada subjek dan asumsi permasalahan dan solusi kemiskinan sering dipandang sama (seragam) daripada pluralistik.
Atas dasar kelemahan kebijakan tersebut, Pemerintah Provinsi Bali telah melakukan kebijakan penanggulanan kemiskinan dengan pedekatan, dari sentralisasi ke sentralisasi. Perubahan ini tentu saja memungkinkan terjadinya masyarakat lebih dekat dan lebih langsung terhadap program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah dan disinergikan dengan program yang dikembangkan melalui partisipasi masyarakat.
Begitupun, dari sistem komando dan kontrol partisipasi masyarakat, selain itu dalam rangka mendorong terbentuknya partisipasi masyarakat yang lebih besar dilakukan penciptaan kepemilikan program oleh masyarakat itu sendiri.
Dalam hal itu, peran pemerintah daerah Bali lebih sebagai pendamping terhadap seluruh program yang dijalankan. Pendekatan tersebut menuntut satu perubahan paradigma tentang peran penanganan program secara langsung oleh pemerintah yang diubah menuju peran yang bersifat fasilitasi, katalisasi maupun mediasi bagi antar pelaku pembangunan.
Melalui pendekatan-pendekatan tersebut, tidak berarti bahwa peran pemerintah daerah Propinsi Bali menjadi berkurang, walaupun pemerintah bukan lagi sebagai pelaksana utama melainkan lebih berperan sebagai penggerak. Dalam hal ini yang bertindak sebagai pelaksana program adalah masyarakat itu sendiri. Melalui pergeseran paradigma seperti itu, adalah sangat strategis apabila kemudian dapat dibangun kemitraan antara pemerintah dengan seluruh komponen stakeholders yang terlibat dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan seperti pihak swasta, LSM dan komunitas lainnya. []
SUCCES STORY:
LPD DESA ADAT KETEWEL, GIANYAR BALI
Berawal dari Modal Rp2 Juta, Kini Punya Aset Rp30 Miliar
LUAR biasa! Kata itu yang mungkin pantas diucap mendengar prestasi gemilang sebuah lembaga keuangan desa di Desa Adat Ketewel, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Betapa tidak, lembaga keuangan bernama Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Ketewel ini, sekarang punya aset 30 miliar rupiah dari modal awal hanya 2 juta rupiah.
Tentu saja prestasi itu bukan semudah membalik telapak tangan, butuh proses panjang yang memakan waktu, tenaga dan pikiran para pengelolanya. Kerja keras itu membuahkan hasil dan menjadi cermin keberhasilan Pemerintah Provinsi Bali menghidupkan LPD di Pulau Dewata itu yang tidak lain adalah adopsi dari lembaga sejenis di Sumatera Barat bernama Lumbung Pitih Nagari (LPN).
Menurut Ketua LPD Desa Adat Ketewel I Ketut Wardika ketika diwawancarai penulis, Jumat 5 Juni 2009 lalu di ruang kerjanya, LPD Desa Adat Ketewel berdiri pada tahun 1991 dan diresmikan pada Selasa, 20 Agustus 2002. Peresemian dilakukan Bupati Gianyar Tjokroda Gde Budi Suryawan, S.H., disaksikan pejabat terkait dan pimpinan adat di Desa Adat Ketewel.
Ketika awal berdiri LPD Ketewel mendapat sorotan negatif banyak pihak khususnya masyarakat calon nasabah yang meragukan kesolidan LPD itu yang hanya punya modal 2 juta rupiah. “Bisa apa dengan uang 2 juta itu?”, kata Ketut Wardika menirukan ragam komentar masyarakat terhadap LPD yang dipimpinnya.
Meski mendapat tanggapan negatif, namun Ketut Wardika bersama dua pengurus lainnya tetap menjalankan amanah yang dipikulkan kepada mereka. Modal 2 juta rupiah itu merupakan bantuan dari bank desa (bankdes). Namun pada tahun 1995, Pemprov Bali menyuntikkan modal sebesar 2,5 juta rupiah untuk pengembangan LPD itu.
“Dengan bantuan 2,5 juta dari Pemprov Bali, maka modal kami ketika itu menjadi 4,5 juta. Dengan dana sebesar itulah kami mengembangkan LPD ini,” ujar Ketut Wardika.
Dengan semangat kerja keras dan pantang menyerah, LPD Desa Adat Ketewel pimpinan Ketut Wardika menjalankan program layanan yang menyentuh ke sendi-sendi persoalan yang dihadapi masyarakat miskin di desa itu. Mereka pun tidak menunggu bola dengan modal terbatas, namun terjun langsung ke rumah-rumah warga dan sentra-sentra industri kecil di daerah itu. Awalnya diakui sangat berat menyakini masyarakat desa yang sebelumnya telah tramua dengan perbankan konvensional.
“Kami yakinkan bahwa layanan kami berbeda dengan perbankan konvensional. Mulanya mereka ragu. Namun setelah menjadi nasabah mereka pun betah dan setia,” ujarnya.
Hari berganti hari, bulan pun bergulir. Secara bertahap LPD Desa Adat Ketewel terus berkembang. Nasabah mulai percaya terhadap layanan LPD. Sebab, keunggulan LPD diawasi langsung oleh pimpinan adat di desa itu, disamping lurah dan kepala banjar. Dan yang menarik, peminjaman kredit di LPD bisa tanpa agunan (jaminan) maksimal sebesar Rp5 juta.
“Perkembangan LPD ini kami lakukan rapat evaluasi setiap triwulan bersama pengawas. Dari evaluasi inilah kami tahu dimana kekurangan dan merencanakan keberlanjutannya di masa datang,” ujarnya.
Disebutkan, LPD Desa Adat Ketewel diawasi oleh dewan pengawas yang berjumlah enam orang, empat orang dari unsur pimpinan adat dan dua orang dari kalangan perbankan profesional. Dari tahun ke tahun jumlah modal pun bertambah. Sumber modal terutama dari tabungan nasabah dan dari keuntungan 60% setiap tahunnya.
Dalam merekrut nasabahnya, LPD Desa Adat Ketewel melakukan pendekatan kekeluargaan, demikian juga jika ada nasabah yang bermasalah. Jika pendekatan kekeluargaan yang dilakukan tidak mangkus, maka persoalan selanjutnya diserahkan pada dewan pengawas.
“Karena pengawas ada unsur pimpinan adat, persoalan berlanjut ke sidang adat. Disini umumnya nasabah takut karena malu jika sampai disidang di balai adat,” ujar Ketut Wardika.
Karena adanya sanksi adat itu, berdampak pada tingkat ketepatan waktu pemulangan dana pinjaman. Peminjam sangat taat pada perjanjian. Kredit bermasalah bisa dikatakan tidak ada, atau di bawah nol persen.
Diebutkan, berdasarkan data per 30 April 2009, kredit lancar yang diterima LPD Desa Adat Ketewel sebesar Rp20.239.226.979 (1.571 orang), sedang jumlah pinjaman yang telah disalurkan sebesar Rp20.300.520.179 kepada 1.574 orang. Sebanyak 5.533 orang nasabah menabung uangnya di LPD ini, 281 orang menjadi nasabah simpanan berjangka dan 1.574 orang nasabah yang meminjam kredit usaha.
“Dari banyaknya jumlah nasabah kami ini, aset pun terus bertambah. Sekarang total aset yang kami miliki sebesar Rp30 miliar,” ujanya.
Ketika awal berdiri, mulanya kantor LPD ini menumpang di bilik kantor Desa Ketewel. Seiring perkembangan LPD yang semakin pesat, kantor baru pun dicari dan didapati lokasinya didekat pasar Desa Adat Ketewel. LPD Desa Adat Ketewel pindah kantor dari kantor kepala desa ke kantor yang berlokasi sekarang pada tahun 2002 dan diresmikan secara adat.
Saat ini, LPD Desa Adat Ketewel memiliki 21 orang karyawan. Jam kantor buka dari Senin hingga Sabtu, pukul 08.00-16.00 wib. Diakui Ketut Wardika, LPD di Bali kuat karena dukungan penuh dari gubernur Bali yang mempunyai visi dan misi mengentaskan kemiskinan di Pulau Dewata ini.
Diungkapkan, sejarah LPD di Provinsi Bali berawal dari Seminar Kredit Pedesaan di Semarang Jawa Tengah yang diadakan Deaprtemen Dalam Negeri RI pada 1984 yang juga mengambil konsep LPN di Sumbar. Berdasarkan itu, Pemerintah Provinsi Bali kemudian mendirikan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). LPD yang pertama, sebagai proyek percontohan, didirikan tahun 1984 yang kemudian diikuti oleh banyak yang lain pada tahun-tahun berikutnya.
Tujuan pendirian sebuah LPD pada setiap desa adat, berdasarkan penjelasan peraturan Daerah No. 2/1988 dan No. 8 tahun 2002 mengenai Lembaga Perkreditan Desa (LPD), adalah untuk mendukung pembangunan ekonomi perdesaan melalui peningkatan kebiasaan menabung masyarakat desa dan menyediakan kredit bagi usaha skala kecil, untuk menghapuskan bentuk-benttuk eksploitasi dalam hubungan kredit, untuk menciptakan kesempatan yang setara bagi kegiatan usaha pada tingkat desa, dan untuk meningkatkan tingkat monetisasi di daerah perdesaan.
“Setelah LPD-LPD di Bali berjalan, tujuan yang dimaksudkan itupun mulai tercapai. Inilah yang sangat membahagiakan kami sebagai pengelola,” ujarnya.
Benarkah layanan LPD membantu meringankan usaha masyarakat kurang mampu di Provinsi Bali? Pertanyaan ini dijawab oleh I Nyoman, 42 tahun, warga Desa Adat Ketewel Gianyar yang menjadi nasabah di LPD itu. Nyoman yang bersama istrinya bekerja sebagai pedagang rempah-rempah di pasar Ketewel meminjam kredit Rp5 juta di LPD tersebut. Pinjaman itu diakuinya sangat bermanfaat hingga usahanya berkembang karena adanya bantuan modal.
“Mulanya saya ragu meminjam. Tapi karena tidak ada agunan saya berani mengajukan permohonan. Setelah saya gunakan uang itu untuk modal usaha, alhasil usaha saya semakin berkembang,” ujar I Nyoman yang sekarang telah memiliki sebuah kios di pasar Desa Adat Ketewel.
Besarnya manfaat LPD di Desa Adat Ketewel juga diakui Kepala Desa Ketewel I Made Janji yang ditemui penulis di ruang kerjanya. Dari 2.050 KK masyarakat Desa Ketewel, sebutnya, sebagiannya telah menjadi nasabah di LPD Desa Adat Ketewel.
“LPD ini harus terus dikembangkan karena masyarakat benar-benar merasakan manfaatnya. Ini juga meringankan tugas kami di pemerintahan yang diamanahkan untuk mengentaskan kemiskinan di tengah masyarakat,” ujarnya.
Ditambahkan I Made, ada empat faktor yang saling terkait terhadap pertumbuhan LPD yang sangat cepat tersebut sebagai lembaga perantara keuangan di Provinsi Bali. Pertama, pertumbuhan LPD secara tidak langsung menunjukan bahwa pemerintah Provinsi Bali memiliki keinginan politis yang kuat untuk menyediakan akses kredit bagi masyarakatnya melalui pendirian LPD. Kedua, pertumbuhan yang sangat cepat pada portofolio nasabah dan pinjaman LPD mengindikasikan bahwa LPD–baik sebagai lembaga keuangan maupun mekanisme tata-kelolanya–sesuai dengan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Bali, terutama di daerah perdesaan. Ketiga, Karena masing-masing LPD beroperasi hanya disebuah desa adat yang wilayahnya relatif kecil, anggota komunitas memiliki informasi yang cukup mengenai LPD dan dapat dengan mudah mengaksesnya. Dan keempat, jumlah tabungan menunjukkan bahwa LPD bukan hanya merupakan lembaga pemberi pinjaman (lending institution) tetapi juga sebagai lembaga tabungan (saving institution), yang berarti LPD telah mampu berperan sebagai lembaga perantara keuangan seperti halnya bank umum.
“Inilah yang menyebutkan bahwa keberadaan LPD memiliki peran yang strategis bagi pengentasan kemiskinan masyarakat di Bali,” tambahnya. []
Bali, Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar