Muhammad Subhan
Hidup ini tidak cukup hanya sekedar berpuisi-puisi saja, kawan. Sementara anak bini di rumah menanti kita di depan meja makan yang piring-piringnya kosong dari lauk pauk empat sehat lima sempurna. Apakah cukup kau tawarkan kepada mereka keindahan kata-kata yang kadang kala menyiksa sendiri jiwa ragamu yang gersang dari kasih sayang. Cukup pulakah puisi-puisi itu kau jual atau menggadaikannya dengan sedikit beras, minyak goreng, terigu, sabun mandi, odol gigi atau pun pembalut bayi yang kian hari semakin melambung saja harganya. Belum lagi uang kontrakan rumah bulan depan yang harus dibayar atau kau harus rela mencari rumah baru namun belum tentu didapatkan dengan harga murah di sudut kota ini. Dan setiap malam kau dengar perempuan-perempuanmu mengigau dalam mimpi kapan jari manis mereka dilingkari cincin emas permata, atau leher berkalungkan berlian seperti dimiliki perempuan-perempuan istri tetangga. Ah, suatu saat pula anak-anakmu akan menyumpah serapah bahwa mereka dibesarkan dengan janji-janji muluk seorang bapak yang lebih mecintai puisi-puisi usang dari anak-anaknya sendiri. Jangan lagi torehkan tragedi di rumahmu sendiri, kawan. Jika kata-kata itu tak juga laku-laku jangan lagi kau obral dengan seribu alasan yang dibumbui bujuk rayu. Buang saja ke keranjang sampah lalu carilah kerja baru yang lebih elegan dan membuatmu punya harga diri sebagai seorang suami yang berhati nurani. Cukuplah sudah kawan-kawan kita kemarin yang mati menanggung cibir karena memilih menjadi penyair. Jangan kau tambah lagi daftar panjang itu dengan membubuhkan namamu di pojok kolom paling bawah yang akan membuat anak cucumu menyumpah serapah. Cukup sudah!
Rumah Puisi, Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar