Minggu, 03 Januari 2010

Ketika Tasya Bertanya tentang Tuhan


Oleh: Muhammad Subhan

ADA gejolak yang tersembunyi di hati Tasya. Tuhan. Ya, Tasya bertanya tentang Tuhan. Tuhan yang selama ini ia dengar dari bibir mama, papa, dan juga dari khotbah guru-gurunya di sekolah.

“Tuhan itu apa, sih?” Tasya bertanya dalam hatinya. Pertanyaan yang membuatnya bingung. Kenapa orang-orang senang membicarakan Tuhan. Padahal setahu Tasya, orang-orang itu tak pernah melihat Tuhan.

“Tuhan itu ada di hatimu, Tasya,” kata temannya suatu kali.

“Di hatiku? Kapan Tuhan masuk ke hatiku?” tanya Tasya bingung.

“Ketika kamu sedang sembahyang,” jawab temannya.

“Ah, nggak mungkin. Aku tak pernah lihat Tuhan, kok,” kata Tasya lugu.

Tasya memang anak yang kritis. Usianya baru enam tahun. Sejak kecil Tasya sudah mendengar cerita dari mama, papa dan gurunya tentang Tuhan. Tuhan yang tidak pernah membuatnya mengerti. Ketidakmengertiannya itulah membuat Tasya selalu bertanya kepada siapa saja.

Tapi Tasya tak pernah puas. Jawaban yang diberikan orang-orang kepadanya tak pernah menghentikan pencariannya tentang Tuhan. Tasya selalu mengajukan pertanyaan yang benar-benar membuat orang menjawabnya kelabakan.

“Tuhan itu seperti apa, sih?” tanya Tasya suatu hari kepada mamanya.

“Tuhan tak bisa dilihat oleh manusia, Tasya,” jawab mamanya bijak.

“Kalau tak bisa dilihat kenapa Tuhan disembah, Mama?” tanya Tasya lagi. Mamanya bingung.

“Duh, Tasya, nanti kalau sudah dewasa kamu mengerti sendiri,” jawab mamanya ringkas.

Tasya tidak puas. Apa yang diucapkan mamanya tidak memberi jawaban akan pertanyaannya. Lalu Tasya pun bertanya kepada papanya. Papa Tasya seorang insinyur.

“Apa beda Tuhan dengan manusia, Pa?” tanya Tasya lagi.

Papanya yang sedang asyik membaca koran sore kaget. Kelabakan. Tapi ia tetap berusaha memberikan jawaban yang bijak. Agar Tasya, anaknya, tidak salah mengartikan Tuhan yang dipahaminya sebagai seorang anak yang masih kecil.

“Tasya, Tuhan itu Sang Pencipta. Manusia adalah makhluk yang diciptakannya,” jawab papanya sembari merangkul tubuh Tasya yang mungil.

Sesaat Tasya mengangguk. Sepertinya ia paham. Tapi tiba-tiba bertanya lagi.

“Lalu, siapa yang menciptakan Tuhan, Pa?”

Dek! Papanya kaget. Jantungnya berdebar cepat. Papanya tidak menyangka kalau Tasya akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Anak ajaib, gumamnya.

“Tasya bobok dulu ya. Nanti kalau sudah bangun papa jelaskan lagi,” jawab papanya. Papa Tasya tak ingin anaknya berpikir berlebihan. Tasya masih kecil, gumam papanya.

Lagi-lagi Tasya kecewa. Jawaban mama dan papanya tidak memberi kepuasan di hatinya. Tasya kesal. Tasya menangis dalam hatinya. Kenapa mama dan papanya tidak mau menjelaskan tentang Tuhan sejelas-jelasnya?.

***

DALAM tidurnya Tasya bermimpi. Tasya bermain-main di sebuah taman yang sangat indah. Di sana-sini bertumbuhan bunga-bunga beraneka warna. Kupu-kupu terbang menari-nari. Cahaya matahari bersinar lembut dan meresap ke pori-pori kulitnya.

Di kiri kanan taman bunga itu, Tasya melihat tiga sungai yang mengalir tenang. Panjangnya berliku-liku. Sungai yang satu berwarna putih susu, satunya lagi berwarna bening bagai madu, dan sungai lainnya mirip seperti warna anggur.

Tasya bermain-main di pinggir sungai itu. Sepertinya Tasya senang sekali. Dari pinggir sungai-sungai itu Tasya dapat melihat ikan-ikan kecil yang bermain-main di dasar sungai. Tasya ingin menangkap ikan-ikan itu.

Ketika Tasya ingin masuk ke dalam sungai, tiba-tiba Tasya dikejutkan suara lembut dari arah belakangnya. Suara itu melarang Tasya menangkap ikan-ikan di sungai.

“Tasya, jangan kau tangkap ikan-ikan kecil itu,” seru suara dibelakangnya.

Tasya terkejut. Iapun menoleh ke belakang. Tasya melihat sesosok wanita cantik dengan pakaian yang begitu gemerlap. Putih bercahaya. Di tangan wanita itu ada sebuah tongkat yang bersinar. Di sekeliling tongkat itu berterbangan bintang-bintang mungil beraneka warna.

“Siapakah engkau, wahai ibu?” Tasya bertanya dalam keheranannya. Takjub.

“Jangan takut anakku. Ibu adalah bidadari penghuni taman ini,” kata wanita yang menatap Tasya dengan lembut.

Tasya mendekat ke arah wanita itu. Tasya merasakan aroma harum yang keluar dari tubuh bidadari dihadapannya.

“Ibu bidadari, kenapa saya tidak boleh menangkap ikan-ikan yang indah itu?” tanya Tasya sembari memegang gaun bidadari yang gemerlapan warnanya.

Bidadari taman itu tersenyum.

“Tasya, ikan-ikan kecil itu milik Tuhan. Kalau kamu mengambilnya, nanti Tuhan marah,” jawab bidadari itu lembut.

“Tuhan? Di mana Tuhan, Ibu Bidadari?” tanya Tasya lagi.

Bidadari penghuni taman itu tersenyum lagi.

“Tasya, kamu anak yang cerdas. Selagi makhluk ciptaan Tuhan masih tinggal di dunia, mereka belum dibolehkan melihat Tuhan,” jawab Bidadari.

“Kenapa, Ibu? Salahkah kalau kita ingin melihat Tuhan agar kita lebih yakin Tuhan itu ada?” tanya Tasya lagi.

Lagi-lagi bidadari itu tersenyum. Senyum yang indah dengan lesung pipit di kedua pipinya yang putih bercahaya.

“Tasya, kekuatan manusia tak sebanding dengan kekuatan Tuhan yang menciptakan. Manusia itu hanya setitik debu, sedangkan Tuhan adalah Maha Penggenggam debu-debu,” jawab bidadari lembut.

“Apa tubuh kita akan hancur bila melihat Tuhan?” tanya Tasya lagi. Ia makin penasaran.

“Tentu saja Tasya, karena kita tak punya kekuatan apa-apa,” kata Bidadari.

“Lalu, bagaimana agar manusia bisa melihat Tuhan, Bu?”

“Nanti, setelah manusia lulus ujian Tuhan, lalu mereka masuk surga,” jawab Bidadari lagi.

“Lulus ujian? Masuk surga?” tasya bergumam sediri.

Tiba-tiba ia tersentak. Tasya memandangi kesekelilingnya. Tasya melihat taman-taman luas yang indah. Banyak gedung-gedung megah bagai istana. Sungai mengalir. Burung-burung berterbangan. Langit cerah. Dan angin sejukpun berhembus sepoi-sepoi.

“Apakah ini taman surga, Ibu Bidadari?” tanya Tasya lagi.

Tapi kali ini Tasya tidak melihat tubuh wanita bidadari yang tadi berdiri dihadapannya. Tasya melihat ke kiri kanan. Muka belakang, tapi tetap juga Tasya tidak menemukan sosok bidadari yang baik hati itu.

“Ibu Bidadari, dimanakah engkau? Apakah ini surga? Di mana Tuhan? Ibu Bidadari….” Tasya terus berteriak-teriak.

“Tasya, Tasya… Bangun, Nak. Kamu kenapa berteriak-teriak?” Mama Tasya tersentak dari tidurnya. Ia mendapati tubuh Tasya yang menggigil berkeringat. Tasya terus mengingau memanggil-manggil nama bidadari, surga dan Tuhan.

Papa Tasya juga bangun dari tidurnya. Mama dan papanya cemas melihat kondisi Tasya yang tidak seperti biasa. Malam itu juga mama dan papanya membawa Tasya ke rumah sakit.

***

“ADA apa dengan anak kami dokter?” tanya mama Tasya pada dokter yang menangani perawatan Tasya. Mama dan papa Tasya cemas. Tasya belum juga sadarkan diri.

“Tenang, Bu. Anak Ibu tidak apa-apa. Tidak ada gejala penyakit yang saya temukan,” jawab dokter menenangkan mama Tasya. Dokter itu terus bekerja memeriksa keadaan Tasya. Ia dibantu dua perawat laki-laki yang menyiapkan segalanya.

“Tidak apa-apa bagaimana, Dok? Sejak tadi anak saya belum sadarkan diri,” ucap mama Tasya lagi.

Sejenak suasana hening. Mama dan papa Tasya diam. Menunggu dengan kecemasan. Dokter dan perawat terus bekerja.

Tiba-tiba Tasya terbangun dari tidurnya. Tasya berteriak-teriak. Tasya berontak.

“Ibu bidadari, dimanakah engkau? Apakah ini surga? Di mana Tuhan?” Tasya terus berontak. Berteriak-teriak menyebut bidadari, surga dan Tuhan.

Mama Tasya menangis. Papa tasya cemas. Dokter dan dua perawat kelabakan.

“Ambilkan suntik penenang,” perintah dokter pada perawat. Dokter pun menyuntik lengan Tasya. Perlahan Tasya tidak berontak lagi. Diam. Tasya tertidur. Papa Tasya memeluk tubuh mamanya yang belum berhenti menangis menyaksikan keadaan Tasya, buah hatinya.

***

DALAM tidurnya, Tasya dibimbing bidadari di antara taman-taman bunga yang indah. Ada kupu-kupu berterbangan. Ada sungai. Ada jembatan. Ada istana-istana mungil yang megah.

“Kita mau pergi kemana, Ibu Bidadari?”

“Meniti Cahaya Tuhan.”

Tasya dan Biadadari tersenyum.

Bahagia. ***

2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar