Rabu, 06 Januari 2010

Lelaki Petarung

Cerpen: Muhammad Subhan

Kelebat bayangan tubuh hitam itu semakin mendekat. Melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Sangat sigap. Ilmu olah kanuragannya cukup tinggi. Daun-daun pepohonan tak terdengar berisik. Begitupun tak ada suara ranting-ranting kayu yang patah.Lelaki itu masih terpaku mengamati gerak-gerik bayangan hitam itu. Sejak tadi ia telah memasang kuda-kuda tanda siaga. Tangkai golok yang menyelip dipinggangnya ia renggangkan. Waspada kalau-kalau bayangan tubuh manusia misterius itu menyerang dirinya. Malam semakin pekat. Suara lolongan anjing di puncak bukit terdengar sahut-menyahut. Pertanda ada kabar kurang baik. Suara burung hantu di tengah hutanpun terdengar menakutkan. Belum lagi dinginnya malam menegakkan bulu kuduk siapa saja yang berada di pinggiran hutan itu.Lelaki itu masih diam. Kedua matanya tetap awas mengamati kelebat bayangan hitam yang mendekat ke arahnya. Iapun menarik nafas dalam-dalam. Mengatur detak jantungnya yang terdengar semakin cepat.

Wusssshhh!!!

"Huph! Heaaahhkh....!!! Lelaki itu melompat beberapa langkah ke belakang. Benar saja, sosok tubuh hitam misterius itu menyerangnya. Pertarungan sengit pun tak terhindarkan. "Siapa kau! Apa maksudmu menyerangku?" lelaki itu menghardik. Tapi bukan jawaban yang dia terima, melainkan pukulan dan tendangan yang bagai kilat berkelebat menghunjam tubuhnya.Untung saja ilmu beladirinya mendekati sempurna. Sebelum meninggal, eyangnya Ki Rama Bikhu telah mewariskan jurus pamungkas kapas putih. Bagaikan kapas, tubuhnya pun melayang-layang menghindari serangan bertubi-tubi dari makhluk misterius itu.

Jurus demi jurus yang dikeluarkan manusia bertubuh hitam itu semakin cepat. Lelaki itu tampak kewalahan. Beberapa kali tangkisannya meleset sehingga pukulan telak menghantam perut dan dadanya.

"Hekhh! Achh!!" pukulan ke arah perutnya membuat lelaki itu terjungkal ke belakang. Belum sempat dia bangkit, satu tendangan lagi mendarat di lehernya. Untung saja dia mampu menangkis. Kalau tidak, mungkin dia bisa mati mendapatkan tendangan yang dipadukan dengan tenaga dalam tinggi. Secepat kilat lelaki itu melompat ke samping. Berguling-guling. Tubuh hitam itu pun terus mengejar. Semakin cepat. Mengunci langkah-langkah lelaki itu.Jurang dalam menganga lebar di belakang lelaki itu. Dia terjebak. Satu langkah saja ia mundur ke belakang, maka tamatlah riwayatnya. Tapi dia belum mau mati. Namun di benaknya tak ada terbayang cara lain untuk menyelamatkan diri.

Tubuh hitam itu tiba-tiba berhenti menyerang. Tubuhnya tepat berdiri tiga langkah di hadapan lelaki itu. Sorot matanya menatap tajam. Bersinar-sinar seolah menyimpan bara dendam yang menyala-nyala.

"Apa maumu, hei orang misterius?!," tanya lelaki itu. Nafasnya terdengar tersenggal-senggal. Makhluk bertubuh hitam itu tak segera menjawab. Ia mengepal tangannya. Terdengarlah suara gemeratak jari-jari tangannya yang kekar. "Aku Biju!. Kuingatkan untuk pertama dan terakhir kali, jangan coba-coba kau dekati lagi Lasmini. Kalau tidak, kau akan dapati tubuhmu menjadi tengkorak di bawah jurang sana!" suara lelaki bertubuh hitam itu terdengar lantang. Menggelegar di telinga lelaki itu.

Setelah mengucapkan kata-kata demikian, manusia bertubuh hitam bernama Biju itu melesat ke belakang. Melompati popon-pohon. Dan menghilang di tengah kegelapan malam. Ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna.

Lelaki itu masih diam ditempatnya. Tiba-tiba saja dia terduduk. Keletihan. Peluh-peluh membasahi sekujur tubuhnya. Golok masih terselip di pinggang kirinya. "Biju," gumam lelaki itu.

***

"Kau cantik sekali Lasmini," lelaki itu melingkarkan tangannya yang kekar ke pinggang perempuan di hadapannya. Menatapnya dengan nafsu. "Ah, Kakang Rangga, jangan." Perempuan itu menggeliat. Seperti ular. Ranjang kayu dalam bilik gubuk itu berderik-derik

Malam malu-malu menyaksikan nafsu dua anak manusia yang bergumul. Pada sebuah gubuk di pinggiran hutan.

"Kakang Rangga..." perempuan cantik bernama Lasmini itu merebahkan kepalanya di dada bidang lelaki itu. Tiba-tiba dia menangis. "Hei, Lasmini. Kenapa kau menangis?" tatap lelaki itu heran."Aku mengingat seseorang," jawab Lasmini.

"Siapa?" tanya lelaki itu penasaran."Biju." "Siapa Biju?" tanya lelaki itu lagi."Suamiku." "Bukankah dia sudah mati?""Entahlah. Dia pergi mengembara dua tahun silam. Aku selalu bermimpi bertemu dengannya." "Lupakan dia. Bukankah sekarang ada aku?"Malam semakin beranjak larut. Kokok ayam hutan mulai terdengar. Sebentar lagi fajar akan menyingsing.
***
"BIJU..." lelaki itu masih terduduk di pinggiran jurang. Nafasnya tersenggal-senggal. Otot-otot tubuhnya terasa sakit. Biju, suami Lasmini telah datang dan nyaris membunuhnya. Lelaki itu coba bangkit berjalan. Matanya berkunang-kunang. Perutnya mual. Dan tiba-tiba dia muntah. Darah kental berwarna hitam pekat melompat dari mulutnya."Hueekkkh!!!

Tubuh lelaki itu gemetar. Pandangannya gelap. Brraakk!!! Lelaki itu terjatuh. Pinsan.

***

"EEAAHHH... di mana aku?" lelaki itu mendapati tubuhnya terbaring di atas sebuah dipan kayu. Kedua matanya terasa sulit dibuka. "Kakang Rangga, kau sudah siuman?" dia mendengar suara lembut seorang perempuan yang cukup dikenalnya."Eahh... kau, Lasmini. Di mana aku?"' tanya lelaki itu.

"Kakang di kamarku. Pagi tadi aku temukan kakang pinsan di pinggiran hutan. Apa yang terjadi, Kakang? Sepertinya semalam kakang berkelahi," ujar Lasmini sembari membalurkan ramuan obat-obatan ke dada lelaki itu yang terlihat lembam.

"Ya, aku diserang seseorang," jawab lelaki itu. "Siapa yang menyerang Kakang?" tanya Lasmini penasaran."Biju!"

Bagai petir menyambar di telinga perempuan itu. Tubuhnya mundur selangkah. Wajahnya yang ayu tiba-tiba menjadi pucat pasi. Ketakutan.

"Kau jangan takut, Lasmini. Aku berjanji akan membunuhnya," ujar lelaki itu. Tiba-tiba perempuan itu menangis. Terisak-isak. Terbayang kesalahannya selama ini. Ia telah berselingkuh. Ia telah jadi pelacur bagi Rangga.Tapi salahkah Lasmini? Biju meninggalkannya tanpa pesan dua tahun silam. Pergi begitu saja. Lasmini mendengar dari penduduk kalau Biju, suaminya, sedang menuntut ilmu kedikjayaan di puncak Gunung Lawu.

"Biju tak akan mengganggu kita, Lasmini. Tunggu saja saatnya ketika kepalanya kupenggal dan tubuhnya kucincang-cincang," geram Rangga.

Lelaki itu masih memegang perutnya yang terasa sakit. Pukulan dan tendangan Biju begitu membunuh. Untung saja tenaga dalamnya ia kerahkan setiap kali pukulan dan tendangan Biju mendarat di tubuhnya.

***

MALAM kesepuluh setelah Biju datang tiba-tiba menyerang lelaki itu. Lasmini mendekat ke arah lelaki yang terbaring menatapnya. Pandangannya binal. Nafsunya menggebu-gebu.Lelaki itu tetap tak bergeming. Namun matanya buas menatap tubuh Lasmini yang berbalut kain selendang.

"Kakang, ayolah kemari..." Lasmini membentangkan kedua tangannya meminta lelaki itu agar segera mendekat kepadanya.

Belum sempat lagi Rangga bangkit dari pemberangannya, tiba-tiba gubuk yang mereka tempati bergetar. Suara angin diluar cukup kencang. Lasmini tersentak. Begitupun lelaki itu terhentak-hentak di atas dipan kayu. "Kakang, ada apa ini? apa yang terjadi?" Lasmini kelihatan ketakutan. Gubuk terus bergoyang. Suara pintu dan jendela terdengar berderit-derit.Rangga melompat cepat dari dipan kayu menuju arah jendela. Ia mengintip keluar. Namun alangkah kagetnya ia ketika melihat sesosok tubuh hitam kekar menghunus sangkur berdiri di bawah sebatang pohon besar di depan gubuk itu.

"Dia datang Lasmini," ujar Rangga terbata."Siapa, Kakang?" tanya Lasmini yang masih terlihat ketakutan. "Biju!""Biju?"

Mendengar nama itu, Lasmini gemetar. Secepat mungkin Lasmini melompat dan berlari ke arah lemari pakaian. Dia sambar selembar kain panjang dan secepat mungkin membalut tubuhnya yang tembus pandang.

"Kakang Biju pulang? Ah, Kakang Rangga, dia akan membunuh kita!" Lasmini semakin ketakutan. "Tenang Lasmini, sebelum kita dibunuh, biarkan aku yang lebih dahulu membunuhnya!" geram Rangga."Jangan, Kakang. Kakang tidak akan mampu menandingi ilmunya!" cegah Lasmini.

"Tidak! Nanti akan kita lihat golok siapa yang bermandi darah," ujar Rangga.

Setelah berkata demikian, Rangga melompat keluar rumah. Ilmu meringankan tubuh membuatnya melayang-layang di udara. Dan tubuhnya yang kekar mendarat tepat di atas tanah sepuluh tombak di hadapan Biju. "Kau datang lagi bedebah!" geram Rangga."Kali ini aku datang untuk membunuhmu!" secepat kilat Biju melompat menyerang Rangga. Pukulan dan tendangannya mematikan. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindari.

"Huph! Heah...!!

"Ciaat..!!!" Dekk! Ahh! Hupshh!!!!

Ilmu Biju memang tampak sempurna dibanding Rangga. Rangga kelihatan terdesak. Tangkisan demi tangkisannya tak memberi arti. Tubuhnya tetap terkena pukulan dan tendangan Biju. "Bajingan! Rasakan ini, yeaahhh...!!! Rangga mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tubuhnya berputar-putar membentuk gulungan angin yang menghempas tubuh Biju.

Biju lebih gesit. Seperti orang sedang bersemedi, tubuhnya pun berputar-putar. Ilmu angin puting beliung yang dimiliki oleh keduanya beradu. Membentuk gulungan badai besar. Menghempas apa saja yang ada di sekitar mereka. "Kau memiliki ilmu puting beliung juga rupanya," ujar Biju. Jurus-jurus Biju terus mendesaknya. Kekuatannya memang lebih unggul.Rangga semakin terdesak ke belakang. Satu tendangan Biju lagi mendarat di perutnya.

"Achhhhhh... Hueakkh!!! Ranggga muntah darah. Tubuhnya terhempas ke belakang. Terguling-guling.

Secepat itu juga biju mengeluarkan sangkur beracunnya. Mata sangkur yang berkilat diterpa cahaya rembulan itu melesat secepat kilat dari sarangnya. "Jangan Kakang Biju.... Heakhhhh.....!!!" sangkur yang dilemparkan Biju melesat cepat menembus dada Lasmini yang tiba-tiba berlari ke arena pertarungan dan mencoba melindungi Rangga. Perempuan itu rebah bersimbah darah. Tubuhnya kejang-kejang sesaat, lalu diam."Lasmini.... Tidaakkk!!!" Rangga melompat menahan tubuh Lasmini. Darah segar dari mulutnya terus mengucur deras. Perempuan itu tak lagi bergerak.

Biju tak bergeming. Matanya menatap tajam ke arah dua insan yang bersimbah darah di hadapannya. Satu sosok lelaki yang saat ini menjadi musuhnya. Dan satunya lagi tubuh istrinya, Lasmini, yang telah dia tinggalkan dua tahun silam dan tertembus mata sangkurnya yang tajam.

"Bajingan, kubunuh kau Biju...!!!" Rangga mencoba berlari ke arah Biju dan menyerangnya. Belum sempat rangga mendekat, dua jarum beracun melesat cepat menembus ulu hatinya. Rangga terjungkal ke belakang. Tubuhnya tepat terjatuh di dekat kepala Lasmini. Kemudian diam tak bergerak. Angin masih mendesir kencang menyaksikan dua insan yang bersimbah darah itu. Daun-daun dari pepohonan berguguran. Malam semakin larut. Suara jangkrik tak berbunyi. Hanya sesekali lolongan anjing di tengah hutan memecah suasana yang semakin mencekam.

Lelaki itu, tak bergeming dari bumi pijakan kedua kakinya. Deru nafasnya begitu tenang.

Sebelum melangkah meninggalkan dua mayat di hadapannya, sesaat ia memandang ke sosok tubuh perempuan yang tak lagi bernyawa itu. Perempuan yang lebih sepuluh tahun ia gauli. Dan yang menemani hari-harinya.... "Kang Biju, kalau kita punya anak laki-laki, kau akan beri nama apa?" tanya Lasmini, dulu ketika masa-masa indah masih menemani kehidupan rumah tangga mereka."Tentu saja nama sepertiku, Biju Anggara. Ha, ha..." jawab lelaki itu sembari tertawa renyah.

Seolah tak menginjak bumi, lelaki kekar itu melangkah tanpa menoleh lagi ke belakang. Malam yang pekat melenyapkan tubuhnya seiring fajar yang sebentar lagi akan menyingsing di ufuk timur. []

Bukittinggi, Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar