
Oleh: Muhammad Subhan
SENJA kian menepi. Angin berhembus lembut menerpa kalbu. Sejuk terasa. Deburan ombak memecah sunyi. Mengikuti nyanyian camar yang beranjak pulang ke sarang. Nun, di bibir pantai, tampak biduk-biduk yang ditarik nelayan ke tengah laut. Berlabuh. Mencari rezeki yang telah dijanjikan Tuhan. Panorama senja itu kuresapi dalam-dalam.
"Jim." Sapaan lembut membuyarkan lamunanku.
"Kok, di sini?" tanya suara lembut itu kepadaku.
"Ingin sendiri saja." Jawabku singkat.
"Tentu mereka akan mencarimu."
"Mungkin." Ia menghempaskan pantatnya menduduki pasir putih. Kemudian menyandarkan tubuhnya pada batang nyiur yang tumbuh rindang di belakang kami.
“Kau akan pergi juga, Jim?" suaranya agak sedikit berbisik. Seolah untuk pendengarannya sendiri. Bening matanya menatap jauh ke arah laut.
Aku terdiam. Tak kuasa aku menjawab pertanyaannya itu. Kugenggam jemari mungilnya yang lembut. Kukecup sekali.
"Tekadku telah bulat, Diah. Aku harus meninggalkan negeri ini." Ucapku parau.
"Secepat itukah?" tatapan matanya meredup.
Aku kembali diam. Semakin berat kumenjawab pertanyaannya. Nun, jauh di pondok bambu, sayup-sayup terdengar petikan gitar yang dimainkan kawan-kawanku. Alunan tembang cinta. Begitu syahdu.
Di senja ini, kami tengah menikmati liburan akhir semester. Sebab sekolah telah usai. Dan, besok pengumuman lulus.
"Jim, kau belum menjawab pertanyaanku." Diah menuntut. Sejenak kutatap air mukanya yang lembut. Kutemui kedamaian di sana. Bening matanya kian mengharap agar aku tetap tinggal di negeri ini.
"Di sini bukan tempatku, Diah. Kumohon kau mengerti..."
"Tapi kau bisa menundanya, Jim!"
"Mungkin. Tapi itu mustahil."
"Apa yang mustahil?"
"Korban telah berjatuhan. Semua itu saudaraku, Diah. Kedatangan kami di sini tidak dikehendaki."
Aku menunduk. Tanpa terasa, setetes butiran panas mengalir di pipiku.
"Tidak, Jim. Tidak! Jangan pernah kau ucapkan kata-kata itu!." Diah menggenggam erat jemari tanganku. Ia pun menangis. Aku paham kalau ia sangat mencintaiku.
Memang, aku berbeda suku dengannya. Karena perbedaan itulah yang menghendaki kami harus berpisah. Ini semua berawal karena krisis yang tengah melanda bangsaku. Bangsa yang dulu damai. Tapi kini tak ubah bagai di neraka.
"Diah." Kurangkul tubuhnya bangkit berdiri. "Kau masih ingat ukiran ini? Dua tahun yang lalu kita yang mengukirnya, bukan?" ucapku meraba ukiran nama yang melekat pada batang nyiur yang menjulang. Diah mengangguk. Namun tak lama ia menatap ukiran nama kami berdua itu. Dialihkannya pandangan menatap butir-butir pasir yang mengotori kakinya.
"Tak perlu kau membuka memori itu kembali, Jim." Ucapnya tiba-tiba.
"Kenapa?" tanyaku heran.
Air matanya kembali berlinang. Menetes lembut bak mutiara manikam di pipinya yang putih. Bibir mungilnya terkatup rapat. Seolah menahan birahi yang bergejolak di dadanya.
Sementara waktu kian jauh beranjak. Malam bergulir lembut bak tetes air di dedaunan. Seiring suara jangkrik malam yang mendesing. Purnama perlahan menampakkan rupa. Tersenyum ramah. Seolah menjadi saksi bisu atas ucapan kami berdua. Ucapan duka yang mengharuskan kami berpisah. Benarlah kata pepatah, bukan salah bunda mengandung. Baik dan buruk harus kuterima di negeri orang. Negeri yang kukhayal dapat merobah hidupku. Tapi kini sebaliknya. Yang lebih ironis, mereka membenci sukuku. Membunuh saudara-saudaraku. Padahal kami satu naungan Tuhan. Satu agama. Hanya ras yang berbeda.
"Jim. Kau tak ingin aku bersedih, bukan?" suara paraunya merenyahkan hatiku. Aku tertunduk. Memang aku merasa bersalah kalau melihat ia bersedih.
"Tidak, Diah. Tak kubiarkan engkau bersedih." Ucapku sembari mendekap tubuhnya erat.
"Tapi kau pergi juga, Jim."
"Diah, percayalah. Aku pergi untuk kembali kepadamu." Janjiku sungguh-sungguh.
"Kau bohong, Jim." Semakin erat kudekap tubuh gadis yang sangat kucintai itu. Sungguh tak kuasa aku melepas ia sendirian di sini. Di kota ini. Cinta yang telah lama kami rajut tak menghendaki berpisah. Tapi apa hendak dikata, terompet kapal tujuan tanah Sunda esok pagi akan memanggilku.
Angin laut semakin terasa tajam menusuk tulang. Dingin sekali. Aroma harum yang membawa birahi alam sangat menyengat penciuman. Seolah melukis warna baru, menghias malam. Gemerlap bintang yang bersinar terang mengguratkan panorama indah malam itu. Bertaburan tak terhitung jumlahnya. Bagai butir-butir mutiara yang diserak untuk dibagi-bagikan kepada siapa yang ingin memiliki. Sungguh kuasa Tuhan Sang Pencipta.
Kami yang telah hanyut dalam birahi alam itu, seolah melayang jauh ke angkasa. Menelusuri sendi-sendi kehidupan baru yang tak berwatas. Entah di mana. Bak tangan-tangan gaib yang menuntun kami untuk melangkah jauh meninggalkan dunia. Begitu asing.
***
KUTEMUI sepucuk surat terselip di bawah pintu kamar kostku. Bersampul putih, berhiaskan bunga-bunga. Sandi-sandi mungil terukir manis di bibir atas sampul itu. Telah kutebak siapa pengirimnya. Sejurus kubuka surat itu. Membacanya. Tulisan yang begitu singkat.
“Jim, kusimpan janji-janjimu. Walau sampai kapan pun aku tetap menantimu. Demi benih yang kau tanam, pergilah.”
Kukecup surat mungil itu. Kudekap. Pengharapan yang begitu tulus dari seorang gadis. Gadis yang kucintai. Semakin terasa berat langkahku untuk meninggalkanya sendiri. Meninggalkan negeri yang telah mempertemukanku dengannya. Tapi apa hendak dikata, perpisahan ini tak mungkin ditunda. Berita nasional negeri ini tadi pagi mengumumkan bahwa kapal-kapal untuk memulangkan warga transmigran akan berangkat pukul sebelas nanti. Dan esok lusa, mereka mengumandangkan proklamasi kemerdekaan yang disaksikan oleh seluruh penduduk dunia. Dan negeri Diah akan bebas. Bebas menentukan nasib mereka sendiri dari tangan-tangan tirani.
Dua koper hitam telah penuh berisi pakaian-pakaianku. Kamar kost yang telah empat tahun kuakrabi, seolah bersedih menatap kepergianku. Foto mungil Diah yang menggantung di bilik kamarku, tak memancarkan senyum. Menatapku sayu.
Kujumpai bangku kosong di samping dek. Kurebahkan tubuhku di sana. Di dermaga, di sisi kapal, masih banyak orang-orang sesukuku yang berdesakan menaiki tangga. Mereka berebutan mencari tempat. Wajah-wajah mereka tak terpancar keceriaan. Aroma keringat begitu menyengat di sepanjang anak tangga. Terasa panas. Hari ini juga kami akan dipulangkan ke kampung halaman. Kampung yang dulu jauh dari peradaban. Tapi tak tahu bagaimana kabar sekarang.
***
TUJUH tahun sudah kutinggalkan negeri Diah. Negeri gadis yang dulu kucintai. Entah bagaimana kabarnya kini. Mungkin ia telah disanding orang yang bisa membahagiakan hidupnya. Dan memiliki bocah-bocah manis yang menemani hari-harinya. Sementara di sini, aku telah memiliki dua putera. Hasil perkawinan dari gadis pilihan orang tuaku.
"Itu lebih baik bagimu daripada bersanding dengan gadis yang bukan beradat kita," kata ayahku suatu hari yang menyesakkan dadaku. Sungguh, biar bagaimanapun aku tak dapat melupakan Diah. Aku tetap mencintainya. Sosok Diah bagiku adalah sosok yang tulus. Sulit mencari gadis seperti dia. Kesetiaan itulah yang membuatku betah membujang selama lima tahun. Hingga kemudian menikah.
Hari terus bergulir. Bulan silih berganti. Seiring perubahan masa dan pertukaran waktu. Tak terasa, hidup telah kian panjang kujalani. Peradaban demi peradaban terus berubah. Tukar menukar sesuai zaman. Tanpa terasa, rambut di kepalaku mulai memutih. Tenagaku semakin lemah. Pertanda liang kubur kian dekat menanti.
Januari 2030.....
Entah angin mana yang membawaku kembali ke tanah kelahiran Diah, gadis yang kucintai. Yang jelas, aku bermaksud menemuinya. Kerinduan yang berpuluh tahun kupendam, terasa kembali seperti dahulu. Membuka memori. Namun permata yang kucari tak juga menampakkan rupa. Hilang tak tentu jejak. Hingga suatu hari kutemui tubuhnya di antara tubuh-tubuh lain yang telah kembali pada alam. Kembali pada keagungan Tuhan.
"Ia mati muda. Konon ia berkasih-kasihan dengan lelaki yang sangat dicintainya. Lelaki itu berada di negeri yang jauh dari negeri ini. Lelaki itu berjanji akan kembali dan menikahinya. Namun hingga akhir hayatnya, tak juga ia bertemu dengan lelaki pujaannya itu. Anaknya yang masih bayi saat itu tak lama menatap dunia. Kemudian meninggal karena penyakit ganas yang menggerogoti tubuhnya. Sebelum ia menyusul buah hatinya itu, sempat ia berwasiat kepadaku untuk menyerahkan potongan batang nyiur ini yang terukir namanya dan nama kekasihnya jika kekasihnya itu kembali. Karena taman pantai tempat mereka memadu kasih dahulu, kini telah berdiri bangunan-bangunan megah yang menghilangkan kenangan mereka." Cerita penjaga makam suatu hari.
Aku termenung. Kusimak cerita haru itu dengan deraian air mata. Kesetiaan yang sungguh luar biasa ia korbankan untukku. Mustahil bagi seorang gadis sepertinya sanggup menanti berpuluh-puluh tahun lamanya. Dan kesetian itu benar-benar ia buktikan kini.
Kutaburi kembang kamboja di atas pusara yang terseyum menatapku. Harum semerbak. Seharum tetes air yang bergulir lembut dari daun keladi. Tetesan air itu jatuh tepat menyentuh batu pualam putih yang berukirkan nama ‘Halimatussakdiah-Wafat, Agustus 2020'. Lembut. Seolah ia bersuara melantunkan syair-syair rindu yang terngiang merdu.
semilir bayu membawa kita jauh
jauh menyelami waktu
menapaki kehidupan semu
yang bergulir meraih asa
namun tak teraba
Aceh-Padang, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar