
Oleh: Muhammad Subhan
Saya mempunyai ibu yang (ketika itu) pemarah. Dia paling tidak suka mendengar suara ‘tak tik tuk' mesin tik tua saya ketika hasrat menulis saya tiba-tiba muncul. Kadang pula saya harus sembunyi-sembunyi di rumah agar ibu tidak mengetahui atau mendengar saya lagi menulis, atau tepatnya mengetik tulisan.
Ya, begitulah ibu saya. Tapi dia adalah ibu yang baik dan sangat penyayang pada anak-anaknya. Mungkin, ketika itu ibu belum tahu apa manfaat saya menulis--yang akhirnya sekarang setelah kebutuhan keluarga saya yang memenuhinya--ibu menikmati hasil jerih payah saya dari menulis. Alhamdulillah.
Saya menulis sejak masih duduk di kelas 2 SMP. Hampir tiap hari saya iseng duduk di toko koran/majalah di dekat rumah saya hanya sekedar untuk membolak-balik isi koran/majalah terbaru yang saya lihat. Kadang pula saya dimarahi oleh si pemilik toko karena tidak memberikan kontribusi apa-apa bagi keuntungan tokonya. Kalau sudah begitu, saya cuma bisa nyengir mencibir lalu kabur terbirit-birit lalu datang ke toko buku lainnya yang menjual majalah atau koran. Begitulah hari-hari yang saya jalani. Belasan tahun lalu.
Begitu pula ketika saya harus di 'demo' teman-teman sekolah karena saya ketika itu menolak menjadi pengurus Majalah Dinding (Mading). Tapi karena diiming-imingi akan didukung menjadi ketua OSIS, akhirnya saya terima juga tawaran itu (He he he...).
Proses menulis saya, berawal ketika saya ikut dibawa merantau bersama kedua orangtua ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Belasan tahun silam. Di negeri Tanah Rencong itu saya selalu mencoba mengirimkan tulisan 'icak-icak' (asal-asalan) saya ke koran Harian Serambi Indonesia yang merupakan media group Kompas. Namun, setiap kali saya kirim setiap kali itu pula saya harus "berbangga" karena tulisan saya TIDAK PERNAH DIMUAT!.
Meski demikian, saya tidak menyerah. Lalu akhirnya saya terus berproses. Kalau tidak salah ingat, tulisan pertama saya hanya sebuah puisi satu bait berjudul TUA. Lalu saya coba menulis cerpen perdana berjudul "Ketika Merpati Itu Pergi". Ya, maklumlah ketika itu saya masih ABG dan baru mengenal yang namanya virus merah jambu bernama cinta. Cerpen-cerpen saya selanjutnya mengisahkan tentang "aku, dia, dan kita", cerita ala kehidupan remaja yang baru mengenal dunia. Walah!
Usai menulis puisi dan cerpen yang tak dimuat-muat, akhirnya saya coba menulis artikel yang kata orang susah. Ketika itu saya tidak mengerti bagaimana menulis artikel. Ya, lalu saya coba menyadur sebuah cerita bergambar (cergam) berjudul "Dajjal", yang saya rubah judulnya menjadi "Menyingkap Makna Dajjal". Iseng lagi saya kirim ke Harian Serambi Indonesia yang berkantor di Banda Aceh. Eh, entah kebetulan entah tidak, artikel saya itu dimuat. Luar biasa!.
Duh, senangnya saya ketika itu. Artikel itu saya kliping dan saya perlihatkan (tepatnya pamer) sama siapa saja yang saya kenal. Ada yang memuji saya, ada pula yang cuma tersenyum. Katanya, "baru sekali saja tulisan dimuat senangnya seantero kampung," katanya. He he he. Belum tahu dia, saya akan menjadi penulis terkenal dunia masa depan. He, he, he, amin ...
Setamat sekolah menengah, saya coba melamar kerja menjadi wartawan. Tidak diterima. Karena masih muda, kata pimpinan redaksi koran. Namun saya terus menulis. Awal 2000 saya hijrah ke Padang Sumatera Barat, gudangnya para penulis Nusantara, katanya. Di Ranah Minang itu saya banyak belajar dengan siapa saja. Dan, saya terus menulis di media-media massa terbitan Padang .
Lalu, saya coba melamar lagi menjadi wartawan sambil mencoba menyelesaikan kuliah. Ada beberapa koran mingguan yang menerima saya. Tapi saya tidak betah. Ternyata jadi wartawan itu susah. Tapi saya tidak menyerah. Meski kadang makan kadang tidak, saya tetap jadi wartawan. Lalu, saya terus bermeditasi, merenungi mau jadi apa saya. Tapi hasil dari meditasi itu saya disuruh untuk tetap jadi penulis. (Mungkin sudah nasib saya, ya). Ya, kalau begitu saya harus siap-siap lagi untuk tidak makan-walau sekarang makan saya paling banyak (Ha ha ha ha...). Tapi, setelah menjadi wartawan benaran, saya merasakan indahnya dunia wartawan itu.
Saya tidak pernah membayangkan bisa menyinggahi kota-kota besar di Indonesia--walau sekedar ditugaskan meliput bersama rombongan pejabat, khususnya wakil rakyat di DPRD yang suka kunker sana sini, yang katanya menghambur-hamburkan uang rakyat. Wah, saya ikut kena juga tuh--dan saya merasakan pula banyak menemui hal-hal baru yang mungkin belum tentu saya dapatkan jika bekerja di profesi lainnya. Dan, semuanya saya nikmati, dalam proses menemukan jati diri.
Lalu, saya juga banyak belajar dengan berbagai nara sumber yang saya temui. Dan yang terpenting, saya punya banyak kawan, banyak ilmu dan juga, mudah-mudahan akan banyak uang. Amin lagi ...
Di samping menjadi wartawan "kecil-kecilan" (yah, karena gaji saya memang kecil, he he he), saya juga terus aktif menulis artikel, puisi dan cerpen-cerpen yang saya kirim ke media-media di luar Sumatera Barat. Honornya lumayan walau hanya sekedar untuk bayar hutang, hi hi hi ....
Ya, begitulah tentang proses saya punya ‘libido' menulis yang tinggi. Hasrat saya memang menggebu-gebu. Kadang saya harus "bercinta" dengan komputer selama semalaman hanya untuk mengharapkan mencapai ‘klimaks' hasil karya-karya saya. Semuanya benar-benar memuaskan dan tidak akan pernah saya dapatkan jika saya tidak menulis atau bekerja di bidang lain. Teman saya yang punya warung, mulai dari pagi buka warung lalu sore tutup warung, mungkin tidak bisa saya lakoni seperti dia. Yah, saya orang bebas, tidak suka diintervensi, apalagi dalam tulisan-tulisan saya. Saya mau tulisan-tulisan itu mengalir apa adanya, seperti air. Dan, apakah orang juga menikmati atau tidak, yah saya tidak tahu juga. Dibilang buruk, buruklah, saya tetap juga menulis, insya Allah sampai kapan pun... []
(Tulisan ini sebagai motivasi untuk para penulis dan wartawan pemula yang sering jenuh ketika harus menulis. Jangan menyerah. Tulisan Anda hari ini, kelak, akan menjadi bagian dari lembaran sejarah kehidupan Anda sebagai penulis dunia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar