Sabtu, 02 Januari 2010

Bangkitlah, Dunsanak!


Oleh: Muhammad Subhan

Dunsanak, Tuhan selalu punya cara untuk mengetuk pintu hati kepedulian hambaNya kepada sesama. Bencana adalah salah satu cara Tuhan itu. Berat dan pedih memang. Tapi banyak hikmah di balik semuanya. Bencana datang, bantuan juga datang. Tidak ada yang memberi komando, semata kepeduliaan atas dasar kemanusiaan.

Lihatlah, ketika bencana itu menimpa hingga merenggut korban nyawa dan harta benda, bermacam orang menyatakan simpatinya. Tak kenal negara, agama, ras, suku, golongan, pangkat dan jabatan, semua berbaur mengulurkan tangan. Kenapa, ketika ada bencana semua mereka tiba. Kenapa, ketika tidak ada bencana kepedulian itu menipis atau bahkan sirna? Di situlah Tuhan melibatkan “DiriNya”, ada Skenario yang tak seorang pun menduga.

Dunsanak. Hidup ini ada siklusnya; ada siang ada malam, ada matahari ada bulan, ada tawa ada duka. Allah SWT bukan sekedar memberi kesenangan hidup kepada manusia, tapi juga memberi sesuatu yang kadangkala membuat manusia terhenyak lalu bercucuran air mata.

Apa yang diturunkan Tuhan di atas dunia, itulah yang dinamakan sunnatullah. Sesuatu yang sudah ditakdirkan Tuhan sebagai bagian kehidupan yang sudah pasti menimpa manusia. Misalnya, ada kelahiran ada juga kematian. Ketika ada bayi lahir, orang tuanya pasti gembira. Tapi ketika orang yang dikasihi meninggal, pasti bersedih. Dan, ternyata, itu terjadi setiap saat dalam kehidupan umat. Tidak ada orang yang bisa menolak kelahiran dan kematian. Semua sudah ditakdirkan Tuhan.

Yang tidak sabar menerima ujian Tuhan itu, ada yang berkata, sungguh tegakah Tuhan melihat mahlukNya menderita? Pasti tidak, tapi Tuhan memang selalu memberikan yang namanya ujian hidup bagi hamba-hambaNya yang beriman. Jika ada manusia yang menyatakan beriman, maka Tuhan ingin melihat seperti keimanannya; sungguh beriman atau sekedar berpura-pura (palsu). Allah SWT berfirman: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS al-’Ankabut [29]: 2)

Sering kita saksikan, ujian berupa musibah itu bermacam-macam bentuknya; mulai dari yang kecil hingga yang besar. Mulai hati yang resah, hingga tubuh yang lemah. Mulai dari kemiskinan, hingga diberi pangkat, jabatan dan kekayaan. Dari kesuburan tanah hingga bencana alam mendera, seperti gempa bumi, tsunami, banjir, gunung meletus, kekeringan, dan lainnya. Semua adalah ujian Allah. Rasulullah SAW bersabda: “Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan atau penyakit atau kesusahan hati, bahkan gangguan yang berupa duri melainkan semua kejadian itu akan menjadi penebus dosa.” (HR Bukhari, Muslim)

Tapi Dunsanak, ada pula yang bertanya, bukankah tidak semua orang tahan menghadapi ujian atau musibah yang diberikan Tuhan itu? Jangan khawatir. Dalam hal ini Tuhan benar-benar Maha Adil. Semua ujian itu ternyata sudah diaturNya agar sesuai dengan kadar kekuatan iman masing-masing hambaNya. Alquran menjelaskan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS al-Baqarah [2]: 286)

Nabi SAW bersabda: “Ujian yang paling berat adalah bagi para Nabi, kemudian berikutnya dan berikutnya, seseorang diuji (oleh Allah) sesuai kadar agamanya. Maka tidaklah musibah menimpa seseorang sehingga ia berjalan di atas bumi dan tidak ada dosa padanya.” (HR Bukhari)

Dunsanak. Orang-orang saleh juga mengatakan kalau hal seperti itu adalah cara cerdas dari Allah untuk membuat manusia menikmati hidup. Sederhananya begini, jika tidak pernah mengalami yang namanya musibah, tentu manusia tidak akan tahu cara mensyukuri nikmat. Contoh kecil, jika Dunsanak tidak pernah mengalami sakit mata, mungkin suka lupa betapa nikmatnya punya mata sehat. Sebab, jika mata sakit, otomotis akan sakit pula pendapatan, bukan?

Untuk itu, tidak perlu bersedih menghadi semua ujian Tuhan, seberat apapun. Hadapi dengan sukur dan sabar. Bersyukur ketika ada, sabar ketika tiada. Tanah kita, yang sedang dilanda bencana, tak perlu terlalu diratapi. Jangan terus menadahkan tangan meminta-minta. Bangkit, bergerak, jalan, kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Buya M. Natsir berpesan, “Jangan pernah berhenti tangan mendayung”. Sederhananya, dari kalimat itu, jika tangan berhenti mendayung, alamat perahu akan karam di tengah lautan.

Kembalilah semangat, Dunsanak. Songsong hari esok yang lebih baik. Garap kembali tanah ini. Jangan ratapi yang telah pergi. Bangun kembali peradaban kita walau telah porak-poranda. Tunjukkan pada dunia, Ranah Minang mampu bangkit. Ya,bangkit menyongsong hidup yang lebih baik. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar