Jumat, 08 Januari 2010

Elsa Putri Ermisah Syafril, Kandidat Doktor UGM yang Menerbitkan Kamus Bahasa Tansi


Orang Minang yang merintis karir di bidang akademis dan dinilai sukses tidak sedikit. Jika dibukukan jumlah mereka mungkin berbab-bab. Sangat banyak. Sebanyak yang muncul sebanyak itu pula yang belum terekspose secara luas. Padahal, potensi mereka dapat memotivasi banyak orang di Ranah Minang untuk mengikuti jejak meniti sukses.

Adalah Elsa Putri Ermisah Syafril, putri Minang yang saat ini sedang menyelesaikan pendidikan di Prodi Linguistik, Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM. Di penghujung tahun 2009 lalu, ia berhasil menyelesaikan sebuah buku kamus yang merupakan bagian dari penelitian disertasi, Kamus Bahasa Tansi Sawahlunto, kamus bahasa kreol dengan latar perburuhan yang pertama ditemukan. Sebelumnya, menurut Elsa, bahasa kreol hanya terfokus pada latar perdagangan. Bahasa Tansi, bahasa yg diproduksi kaum buruh dan orang-orang buangan di masa kolonial, sebuah perilaku budaya dari sistem dan struktur sosial yang didasari sejarah kolonial, sebuah impian imperial untuk membangun pax-nederlandica, sebuah proyek dehumanisasi. Melalui kamus itu, dia memberi kesimpulan, bahwa sebuah bahasa tidak semata medium komunikasi, tetapi juga identitas dan resistensi.

Kamus tersebut telah dipesan oleh berbagai pihak yang tertarik dengan bahasa, sejarah, sosial, dan budaya pada kalangan masyarakat bawah, terutama buruh. Kamus itu juga telah dipesan oleh KITLV-Jakarta untuk menambah referensi di perpustakaan mereka yang berada di Leiden-Belanda.

Elsa Putri Ermisah Syafril dilahirkan di Kota Tambang Batu Bara Sawahlunto pada tanggal 27 Nopember 1977 dari pasangan H. Syafril Mukhtar dan Hj. Ermisah Umar dan dibesarkan di kota tambang minyak Duri, Riau. Pendidikan SD dan SLTP diselesaikannya di Duri: SD Negeri 004 Duri (1990) dan SMP Negeri 02 Duri (1993), sedangkan pendidikan SLTA diselesaikan di SMA Negeri 6 Pekanbaru (1996).

Pada tahun yang sama (1996), Elsa melanjutkan pendidikan ke Universitas Andalas Padang Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra. Selama menjadi mahasiswa, ia aktif menjadi pengurus organisasi kampus, mengikuti seminar kebahasaan, juga aktif di kegiatan Yayasan Seni dan Budaya Garak di Padang, Yayasan Pendidikan Roda (Roda for Education and Culture—pendiri), dan bekerja sebagai instruktur Bahasa Inggris di beberapa tempat kursus (1999-2000).

Pada bulan April 2001, Elsa menyelesaikan pendidikan (Sarjana) dan sebulan kemudian ia bekerja di perusahaan minyak PT Baroid-Halliburton Indonesia (Duri), sebagai staff administrasi. Bulan Juli 2002, ia memutuskan berhenti bekerja untuk melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta.

Mengenai kamus bahasa Tansi yang ditulisnya itu Elsa bercerita, bahasa Kreol (buruh) merupakan percampuran (mixture) dari beberapa bahasa buruh tambang, seperti Minangkabau, Jawa, Bali, Sunda, Bugis, Batak, Madura dan juga Belanda, dengan bahasa dasar bahasa Melayu (bahasa perhubungan di Nusantara).

“Percampuran tersebut dapat dilihat (salah satunya melalui kosa kata) bahasa Tansi yang beragam yang berbeda dari bahasa Minangkabau atau juga bahasa (asal) buruh tambang,” ujarnya.

Salah satu contoh, papar ibu muda yang cantik ini, ronggengan yang berasal dari kata ronggeng (tarian daerah yang berasal dari tanah Sunda/Jawa). Salah satu ciri lain dari bahasa Kreol (Tansi) yaitu reduced (secara fonologis, morfologis, sintaksis, leksiko-semantis, dan sintaksis bahasa Kreaol terbatas serta terdapat penggalan (perubahan) dari bahasa awal dan juga memunculkan bentuk polisemi.

“Selain ciri mixture dan reduced tersebut, terdapat beberapa ciri lain dari bahasa Kreol yaitu memiliki kodifikasi longgar, mudah berubah, dan unjuk silang,” katanya.

Kondisi itu, kata Elsa, tidak terlepas dari situasi geografis kebahasaan yang menjadi tempat bahasa (Kreaol) Tansi tumbuh. Karena itu dalam kamus yang ditulisnya itu akan menjelaskan ciri grametikal, daerah penggunaan, dan subdialek bahasa Tansi.

Dia melanjutkan, topik menarik dalam relasi antara bahasa, identitas, dan kekuasaan: languages and imperialism sudah cukup banyak yang membincangkan, khususnya dalam khazanah bahasa Inggris di tanah-tanah bekas jajahan British. Dalam bahasa Melayu-Indonesia, belum ada, khususnya yang ditulis oleh peneliti-peneliti Indonesia, yang melakukan tranformatif bahasa.

“Apakah sebab linguis-linguis kita masih terpenjara dalam “fonem”, atau masih terkurung dalam paradigma bahasa legacy of colonialism, dan sikap apolitis ciptaan Orba? Entahlah,” katanya.

Chomsky misalnya, kata Elsa, tokoh linguis transformatif ini telah menyoal sekian banyak relasi antara bahasa and the greedy imperialism, colonialism/capitalism and so on. Ia telah mengeluarkan linguistik dari sekadar alat penanda/petanda, dan memaparkan bahwa “linguistik” dan “para linguis” tidaklah bebas nilai, tetapi melalui keduanya, sebuah kekuasaan imperial ditegakkan. Kini pun, telaah “human experience” dan “macro history” sudah meninggalkan model-model kajian etnografis yang begitu European centrism, telah mulai beralih ke “bahasa” sebagai pusat telisik, sekaligus representasi dari “human experience” manusia dengan realitas di luar dirinya.

Dia menambahkan, ada beberapa catatan yang menarik dari bahasa Tansi, yaitu belum pernah dikaji oleh linguis dalam maupun luar (kajian bahasa kreol dengan latar perburuhan—tambang batu bara di Sawahlunto). Selama ini hanya terfokus dengan bahasa kreol yg berlatar perdagangan di daerah-daerah pesisir yang ditulis oleh linguis luar negeri.

Selain itu, bahasa Tansi telah tumbuh dan berkembang selama seratus tahun sejak masa kolonial Belanda. Bahasa Tansi juga telah membuktikan bahwa bahasa tidak sekedar medium komunikasi tetapi juga sebagai identitas dan resistensi.

Kenapa Elsa tertarik menulis kamus tersebut? Dia menjawab, karena harapannya, kamus itu untuk mempertahankan keberadaan bahasa tersebut dan persoalan masih hanya segelintir saja bahasa kreol yang dituliskan, seperti di Papua New Guinea (bahasa Tok Pisin).

“Dan yang jelas saya tertarik menulis kamus ini lantaran saya lahir di Kota Sawahlunto,” ujar Elsa saat ini berdomisili di Panjen, Wedomartani, Depok, Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Elsa menikah dengan Agus Hernawan (2002) dan dikaruniai dua orang anak perempuan: Nafila Ankhafiyya Agel dan Hadara Haqqira Agel. Di akhir tahun 2004, ia bergabung di Balai Bahasa Padang, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, dan sekarang kandidat doktor di UGM Yogyakarta. (Muhammad Subhan)

1 komentar:

  1. masih ada kekurangan di kamus mbak elsa,contohnya cabe kalo di sawahlunto lombok sebutannya,menggeh=terengah-engah



    masdwik
    warga sawahlunto

    BalasHapus