Jumat, 01 Januari 2010
Filosofi Pohon Kelapa
Oleh: Muhammad Subhan
Pohon kelapa hidup di dataran tropis. Oleh banyak penyair pohon kelapa sering ditulis dengan sebutan pohon nyiur. Tidak sedikit kata-kata pohon nyiur masuk dalam bait-bait puisi para penyair. Sebab pohon kelapa juga mempunyai keindahan bentuknya.
Bisa dibilang pohon kelapa adalah tumbuhan multifungsi. Nyaris tak ada yang tidak bisa dimanfaatkan dari tumbuhan pohon kelapa. Semua berguna bagi kehidupan manusia.
Akarnya yang tunggang menghunjam ke bumi dimanfaatkan orang untuk ramuan obat-obatan, juga berbagai bentuk karya seni menarik. Batang tubuhnya yang kurus namun menjulang tinggi mencakar langit bermanfaat untuk dibuat balok atau papan sebagai bahan dasar bangunan rumah. Daun-daunnya digunakan untuk membuat berbagai anyaman indah salah satunya ketupat. Lidinya buat sapu. Tempurung buahnya dibuat asbak rokok, cangkir minuman, maupun benda-benda menarik lainnya. Isi buahnya bisa dibuat minyak, atau santannya untuk menggulai makanan. Sabut dan tempurung buahnya juga bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar. Benar-benar tak ada yang terbuang percuma sedikitpun dari tubuh pohon kelapa.
Banyaknya manfaat pohon kelapa dengan sendirinya manusia bisa berproduksi untuk menambah ekonomi keluarga. Petani-petani kelapa hidup sejahtera dengan mengembangkan kebun kelapanya. Dengan kelapa pula di kota-kota besar berdiri pabrik-pabrik olahan minyak kelapa hingga merekrut banyak tenaga kerja. Dari pohon kelapa juga melahirkan seniman-seniman hebat yang menghasilkan karya seni berkelas dunia. Di sana sini muncul kilang kayu yang mengolah batang kelapa menjadi kayu berkualitas tinggi.
Multifungsi yang dimiliki pohon kelapa ini hendaklah menjadi cerminan diri seorang manusia. Bagaimana pun kondisinya seorang manusia harus memberikan manfaat bagi manusia lain. Bukan malah menjadi beban karena tingkah laku yang bertentangan dengan hukum kehidupan.
Manusia yang bermanfaat kepada orang lain adalah mereka yang merasa bertanggung jawab membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan. Ketika di kiri kanan rumahnya banyak terdapat orang-orang miskin, ia akan menunda keberangkatannya naik haji yang kedua atau yang ketiga kali. Ia akan mendahulukan memberi makan tetangga-tetangganya yang kekurangan atau membantu pendidikan anak-anak mereka sehingga mampu mengecap jenjang perguruan tinggi.
Pintu rumahnya selalu terbuka bagi kedatangan orang-orang yang membutuhkan. Dirinya menjadi tempat mengadu, tempat berkeluh kesah, memintakan tolong, sebab sudah menjadi kewajiban dirinya menolong karena rezeki yang ada padanya hanyalah titipan Allah SWT yang akan dimintai pertanggung jawaban kelak. Jika prinsip ini terpatri pada diri seorang manusia yang mapan hidupnya, alamat entaslah kemiskinan di negeri ini.
Sebuah cerita yang cukup populer di kalangan warga Muhammadiyah, suatu kali Kiai Haji Ahmad Dahlan—pendiri Perserikatan Muhammadiyah—memberikan tugas kepada santri-santrinya agar memahami QS Al-Ma’un. Santrinya pun berlomba-lomba menghafal surat itu dan melagukan bacaan ayatnya seindah mungkin. Tajwid dan makhrajnya fasih. Ketika masa uji tiba, Kiai bertanya kepada santrinya, “Sudah mengerti pesan dalam surat itu?” Para santri menjawab serentak, “Sudah, Kiai.”
“Bagaimana isi pesan itu?” tanya Kiai lagi. “Kamu?” Seorang santri yang ditunjuk membacakan ayat dimaksud dengan suara merdu lalu menjelaskan terjemahannya sampai selesai. Santri lain yang juga ditunjuk melakukan hal yang sama. Setelah beberapa orang membaca ayat itu dan berbuat sama satu dengan lainnya, Kiai berkesimpulan bahwa para santrinya belum paham dengan tugas yang ia berikan.
Dalam dialog tersebut sebenarnya terselip pesan penting bahwa agama tidak cuma minta dipahami namun juga harus diamalkan. Disinilah pentingnya kesalehan ritual yang diiringi kesalehan sosial. Sebab jika satu saja yang timpang alamat tidak baik hasilnya. Ini pula yang melatarbelakangi Perserikatan Muhammadiyah mendirikan banyak Panti Asuhan untuk menyantuni anak-anak yatim piatu.
Untuk itu pantaslah manusia belajar dari filosofi hidup pohon kelapa yang memberi manfaat bagi kehidupan. Dengan belajar itupula, manusia telah meletakkan dirinya benar-benar sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Bukan sebagai makhluk individual yang cenderung materialis dan berjiwa borjuis. []
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar