Senin, 22 Maret 2010

Ujian Nasional

Oleh: Muhammad Subhan

Mata gadis itu menerawang. Ia baru saja keluar kelas. Rona wajahnya menyiratkan suasana hatinya yang was-was. Akankah ia lulus UN tahun ini. Kecemasan yang berulang terjadi. Ya Allah, tolong hamba, gumamnya.

Di luar sinar matahari terik menyengat. Gadis itu berjalan gontai. Meski ia melihat kawan-kawannya santai, tapi sorot mata mereka tak mampu berdusta. Ya, ada keresahan. Terasa meski tak teraba.

Gadis itu ingat akan nasib kakaknya yang tidak lulus UN dua tahun lalu. Kakaknya mengalami depresi. Padahal kakaknya siswa berprestasi. Kabar tidak lulus UN bagai sengatan listrik berpuluh-puluh volt. Menusuk hingga hulu hati. Seorang anak periang, cerdas, dan selalu rangking lima besar di kelas, tiba-tiba terpuruk di jurang paling dalam, tidak lulus Ujian Nasional.

Meski ketika itu ada ujian ulangan, tapi mental kakaknya terlanjur kena. Ia merasa menjadi siswa tak berguna. Tiga tahun sekolah, hancur dalam waktu tiga hari. Ia kehilangan harga diri. Malu kepada teman-teman, lalu berhari-hari bungkam mendekam di dalam kamar.

Kedua orang tuanya cemas melihat derita yang dialami anaknya. Siapa yang harus disalahkan, tanya mereka. Rasanya tak ada kekurangan anaknya. Jauh-jauh hari jelang UN, putrinya itu ikut pelajaran tambahan di sekolah. Di luar itu, ia juga dimasukkan ke lembaga bimbingan belajar. Guru privat pun didatangkan ke rumah. Buku-buku pelajaran lengkap. Apa yang kurang dibeli.

Dan, garis nasib menyurat lain. Kakak gadis itu akhirnya kehilangan akal. Ia menjadi tidak waras. Ayah ibunya cemas. Akhirnya dibawa berobat ke Jakarta. Tak lama sesudah itu, ia menghabisi hidupnya. Menegak racun serangga. Cita-citanya agar bisa kuliah di Fakultas Kedokteran di sebuah perguruan tinggi ternama pupus sudah. Meninggalkan duka nestapa dan air mata keluarga.

Gadis itu tak ingin nasib serupa menimpa dirinya. Cukuplah kakaknya menjadi korban sejarah sepanjang UN ada di Republik ini. Ia tidak ingin menambah daftar korban selanjutnya. Ketika sekolah mengadakan zikir dan doa bersama jelang UN, ia duduk di shaf paling depan. Bersimpuh dengan khusyuk. Ketika ustaz memimpin doa di mihrab masjid sekolah, di sudut matanya mengalir butiran bening bak mutiara manikam. Jatuh membasahi pipinya yang putih. Bibirnya bergetar. Lalu isak tangisnya meledak. Tak mampu ia tahan.

Ya Rabbana, hamba lemah. Kuatkan hamba dengan ketegaran. Berikan hamba kesabaran dan kemampuan menghadapi ujian ini. Hamba yakin, Engkau tidak akan memberikan ujian yang tidak mampu hamba menanggungnya, doa gadis itu. Sesegukannya menambah khusyuk doanya. Ia merasa sangat dekat dengan Tuhan.

Zikir terus berkumandang di masjid itu. Hingga waktu shalat Zuhur masuk. Lalu ia membasuh wajahnya lagi dengan air wudhu. Tangisnya belum reda hingga usai shalat berjemaah. Namun ketenangan jiwa ia temukan, rasa optimis menghadapi UN yang telah menjadi momok itu muncul juga. Ia harus tegar. Setegar karang yang dihantam ombak di lautan.

Ujian hari ini usai sudah. Meski kecemasan tersemburat di wajahnya akan hasil jawaban yang ia tulis, tapi ia merasa lega. Satu masalah telah ia selesaikan. Entahlah, apa ia mampu menghadapi ujian hari esok. Hingga ia keluar dari gerbang sekolah, nama Tuhan selalu terucap di bibirnya yang basah. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar