Susah Jadi ‘Orang Susah'
Oleh: Muhammad Subhan
KATA orang susah, sangat susah jadi ‘orang susah’. Ya, jelas saja, semuanya serba susah. Tak punya rumah susah, anak banyak susah, utang berserak susah, anak tak sekolah susah, tak punya kerja susah. Lalu kesusahan demi kesusahan pun menghantui setiap hari.
Tapi salahkah orang susah menjadi susah hidupnya karena terhempas dari beratnya persaingan hidup? Kata pepatah, “bukan salah bunda mengandung”. Lalu, siapa yang disalahkan? Tuhan? Bukan! Jangan sekali-kali menyalahkan Tuhan. Bisa ‘cilako’ awak!
Tuhan Maha Besar. Maha Bijaksana. Maha Pengasih dan Penyayang. Tak sedikit pun Tuhan ingin melihat hamba-hamba-Nya hidup di dalam kesusahan. Agama mengajarkan; “fiddun ya hasanah, wafil akhirati hasanah”. Kebahagiaan dunia dan akhirat.
Lalu, siapa yang menyusahkan hidup orang susah? Kata seorang Buya dalam ceramahnya di masjid; diri ‘awak’ lah yang membuat ‘awak’ susah. Awak menyusahkan diri sendiri!.
Seorang jemaah protes, “baa model tu kaji Buya? Sia pulo yang ingin dirinyo susah? Tapi kesusahan tu bana yang tibo tanpa awak undang,” sanggah si jemaah.
Buya tersenyum. Lalu dengan bijaksana menjawab; beristighfarlah kita pada Allah. Bermohon ampunlah. Jangan sekali-kali kufur akan nikmat yang diberikan-Nya. Bersyukurlah.
Lalu Buya membaca ayat-ayat Alquran, surat Ar-Rahman. Ayat yang berulang-ulang. Artinya ditafsirkan Buya; ‘Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?’ Allah telah memberikan mata, telinga, tangan, kaki, namun manusia sering tidak menggunakan semua itu secara baik. Bahkan, karena lemah menghadapi kesusahan, banyak pula orang yang menjual harga diri; meminta-minta, jadi pengemis, bahkan melacur. Padahal, tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah. Memberi lebih baik dari menerima.
Panjang lebar Buya mengaji. Buya ingin menekankan pentingnya rasa syukur. Manusia jangan mudah kalah pada lika liku hidup. Semuanya proses yang harus dihadapi. Manusia harus berjuang.
Jemaah menekur. Mengangguk-angguk. Sebagian ‘takantuak-kantuak’.
Tapi itulah jadinya kalau awak kurang ‘tamakan kaji’. Ketika Buya ceramah di masjid semangat tiba-tiba bergairah kembali. Tapi ketika keluar masjid, kadang kalah lagi awak hadapi kesusahan hidup. Di masjid Buya kaji teori, di luar masjid awak menghadapi realitas hidup hari ini.
Di negeri ini siapa bilang tak ada orang susah. Di mana-mana orang pun sering mengaku hidupnya susah. Kalau tidak percaya, cobalah sekali-kali ‘tes’ awak meminjam ‘pitih’. Jawaban yang akan awak dengar, “Wah, lagi susah. Awak lagi butuh ini itu, segala macam. Susah, lah. Jangan sekarang pinjamnya. Lain waktu saja.” Begitulah kira-kira.
Gambaran orang susah yang sebenar susah pun dapat dilihat jika awak berjalan di kawasan pasar. Hitunglah berapa banyak peminta-minta di sana. Ada pengemis yang dipapah istrinya, dituntun anaknya. Ada yang mengemis sendiri dengan papan roda didudukinya. Ada pula yang berbaring. Ada yang setengah memaksa meminta sedekah. Wah, benar-benar pemandangan susah yang menyusahkan hati orang-orang yang melihatnya.
Konon kabarnya, orang-orang susah itu bukan orang kota. Datang dari kota-kota pinggiran. Datang pagi pulang sore. Begitu saban hari. Tapi kok teganya pemerintah membiarkan begitu terus. Katanya ada petugas yang menertibkan. Tapi kenapa orang-orang susah itu semakin banyak saja di lapangan. Siapa yang salah? Orang susah yang mencari hidup ke kota atau petugas yang setengah hati menertibkan mereka? Walah, serba susah juga.
Yang jelas, Kota Padang yang cantik ini bukan hanya untuk orang-orang yang senang saja hidupnya. Multi kehidupan ada di sini. Dan, alangkah indahnya dunia ini, jika orang-orang senang bermurah hati menyantuni yang susah, dan yang susah pun bersyukur akan nikmat yang didapatkannya dari pemberian orang-orang senang. Melalui pembinaan, pendidikan, kasih sayang, sehingga orang-orang susah itu tidak lagi meminta-minta di tengah kesusahannya. Wallahu a’llam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar