
Hembuskan Nilai-Nilai Religius dalam Lautan Sajadah
Judul : Antologi Puisi Lautan Sajadah
Penulis : Afdal Nur, dkk
Editor : Sulaiman Juned & Muhammad Subhan
Penerbit : VisiGraf, Padang
Cetakan : I, April 2009
Tebal : 154 halaman
MANUSIA sebagai makhluk budaya setiap saat dihadapkan dengan formula rasa dari daya cipta, kemudian lahirlah karya sastra lewat proses kreatif yang panjang. Sebuah kebanggaan, FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, tak hanya melahirkan guru-namun mampu menciptakan penyair-penyair berkualitas. Betapa tidak! Empat puluh enam penyair dalam “Lautan Sajadah” adalah suatu bukti. Penyair dalam antologi ini didominasi oleh perempuan. Hanya lima penyair laki-laki. Jadi, jika selama ini Sumatera Barat kekurangan penyair perempuan, maka terjawablah kekurangan ini.
Puisi-puisi yang mereka publikasikan ini, ada yang telah dimuat di media lokal dan nasional, ada pula awalnya hanya sebagai tugas dalam mata kuliah Sanggar Bahasa dan Sastra Indonesia, serta Menulis Kreatif. Puisi para penyair ini memiliki kualitas yang memadai. Ada denyut religiusitas melalui bahasa puitik yang kuat, ditambah semangat menulis mulai muncul. Ini merupakan penghargaan yang luar biasa.
Mari kita selami puisi Deli Okta Fialis yang menjadi tajuk antologi puisi ini ”Lautan Sajadah”: //luka ini/ tuan, menelan maut/ lalu menyalak/ memaki diri/ merintih tangis/ sesali hati/ sebab sering terlupa mengingat-Mu// kota ini/ tuan, berceceran luka/ membuta-tulikan mata hati/ melalui sajadah/ mengetuk pintu-Mu/ sejarahkan nyiur kehidupan/ menuju surga//. Jelas terasa, Deli ingin menyatakan tentang manusia akhir-akhir ini yang sering melupai Sang Penciptanya. Kata kunci Lautan Sajadah, mengimbau umat Islam agar jangan meninggalkan sembahyang lima waktu.
Begitu juga dengan penyair yang lain, menyampaikan pesan religiusitas, seperti; Afdal Nur, Asmarika, Bismika Brahimi, Desi Mulyani, Dona Sangra Dewi, Erna Mulyani, Evayani Indra, Ernawati, Fithratul Husna, Fitria Desnila, Helmida, Immatul Jannah, Lindawati, Mira Sartika, Minda Mitrasari, Nepi Seprianti, Nopi Yarni, Novza Wetri, Ratna, Rika Silviani, Rosi Rohaya, Siti Rodimah, Ritmayetti, Tessi Mulyani, Teti Muspita, Yeni Dyah Safitri, Yulhendri, dan Maidian Suzane. Semua mereka membahasakan sajadah untuk menunaikan shalat.
Sedangkan beberapa yang lain memakai idiom bahasa untuk menyampaikan kritik sosial kepada lingkungan masyarakatnya, seperti; Wessy Sri Azweni dalam puisi berjudul Pasie Laweh: //Pasie Laweh menjerit/ kisah apalagi di negeri hijau/ sahabat aca/ mengetuk pintu-pintu dendam tak henti/ mengantar kabar air mata, duka dijajakan/ melintas langit menghampar luka//. Pilihan simbolik yang kuat, bencana longsor di Batusangkar dibaca tidak hanya teguran Tuhan, tetapi sebagai kesalahan manusia yang lupa merawat, menjaga hutan. Begitu juga dengan Vivi Astari dalam puisinya Harap: //rindu akreditasi/ dosen belajar berdasi/ potong tangan sekian senti//. Vivi memakai bahasa yang sederhana namun menohok makna yang sangat dalam. Kita lihat juga puisi Sandy Octaria berjudul Bencana: //senja jingga/ mengurung sepi di hati/ hanyutkan nyawa antar pekik/ tangis ke langit menuju Tuhan//. Begitu juga penyair yang membahasakan realita sosial, diantaranya; Desi Lindawati, Mulya Fitria, Rico Aprisa, Rika Hendrawati, Rise Desi, Satrina Nova, Thamrin, Yesi Henita, Elvira Anggraini, Syafni Fitri Novita, Sisca Oktri Santri (Yeyen), Zeki Mandala Putra, dan Jeni Permata Sari. Demikianlah.
Jadi, puisi dalam antologi Lautan Sajadah keseluruhannya berjumlah Sembilan Puluh dua judul. Rata-rata puisi bertemakan religius. Merupakan kebahagiaan tersendiri kepada FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UMSB khususnya, mampu melahirkan penyair-penyair muda masa depan. Semangat yang luar biasa juga kepada pengurus Himpunan Mahasiswa Bahasa Indonesia yang mempromotori terbitnya antologi puisi ini. Seluruh puisi yang terjaring dalam antologi ini laksana ’buah ditutupi daun’. Artinya, puisi-puisi tersebut telah harus dibaca berulang-ulang barulah dapat kita maknai artinya, seperti buah ditutupi daun, kalau ada angin yang meniup daunnya barulah dapat terlihat buah di balik daun, dan untuk mengetahui buah itu masak-manis-mengkal-muda-busuk, kita harus terus tanpa henti memperhatikannya. Tentu sambil menunggu angin menyibak sang daun. Begitulah amsalnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar