Sabtu, 02 Januari 2010

Belajar Tentang Kesahajaan Hidup dari Seorang Inyiak Samiak

Oleh: Muhammad Subhan

Tak banyak orang betah menekuni profesi sebagai petani selama puluhan tahun. Namun tidak halnya dengan H. Adnan Sutan Samiak (73), peraih penghargaan Kalpataru tahun 1984 di bidang lingkungan hidup. Lelaki yang masih segar bugar meski usianya kian lanjut itu, kini masih giat bercocok tanam di kampungnya, Batu Bakaluak, Jorong Ampek Kampuang, Nagari Kamang Hilia, Kecamatan Kamang, Kabupaten Agam.

Tokoh yang mempopulerkan Limau (jeruk) Kamang di era tahun 1962 hingga tahun 1989 ini, menjadi inspirasi banyak orang untuk berusaha di bidang pertanian. Apa yang memotivasinya bekerja keras sehingga berbagai penghargaan, baik lokal maupun nasional, berhasil diraihnya?. Sebagai orang muda yang ingin banyak belajar tentang hidup dan kehidupan, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan orang tua yang bersahaja ini:

***

Nagari Kamang yang indah, apakah dulu Anda tidak pernah berfikir untuk merantau?

Tradisi masyarakat Minang memang suka merantau. Tapi bagi saya, ketika itu merantau bukan segala-galanya. Yang terpikir oleh saya adalah bagaimana negeri yang dulu gersang ini bisa menjadi subur dan makmur dan bisa menciptakan lapangan kerja sehingga anak kamanakan tidak lagi harus merantau karena apa yang mereka cari bisa diusahakan di kampung sendiri.

Bisa Anda ceritakan tentang kondisi Nagari Kamang Hilia ini dulu?

Sebelum tahun 1963, di Kamang ini, banyak lahan masyarakat yang tidak jadi. Begitupun banyak tanaman yang ditanam tidak teratur. Lahan tidur ada dimana-mana sehingga tidak menghasilkan sama sekali bagi pergerakan ekonomi masyarakat. Ketika itu, masyarakat Kamang banyak yang bertukang. Selebihnya, seperti yang Anda katakan tadi, banyak yang merantau keluar Kamang untuk mencari peruntungan hidup.

Melihat kondisi itu, apa yang Anda pikirkan untuk “menghidupkan” Kamang ini?

Memang saya sering merenung, apa yang bisa saya perbuat untuk kampung halaman. Saya punya ide untuk menanam limau. Sebelumnya saya tidak pernah bercocok tanam limau. Apalagi melihat kondisi lahan di daerah ini yang ketinggiannya berada 900 meter dari permukaan laut. Rasanya sulit untuk bercocok tanam limau. Saya konsultasikan ke Jawatan (sekarang dinas—red) Pertanian Agam, kalau bertanam limau disarankan pada lahan yang tingginya lebih kurang 500 meter dari permukaan laut.

Apakah Anda menyerah melihat keadaan itu?

Tidak. Malah saya makin tertantang untuk terus berusaha dan mencoba. Dengan keyakinan yang kuat, di tahun 1962 saya beli bibit limau dari pasar minggu Kamang. Ketika itu saya punya lahan sekitar satu setengah hektare. Lahan yang cukup luas. Ketika mau mengolah tanah, saya bingung mengolah pakai apa lahan seluas itu. Lalu saya ajukan permohonan untuk meminjam traktor ke Jawatan Pertanian Agam, diberi sebuah traktor besar. Traktor datang dan dalam waktu dua jam tanah berhasil diolah. Ketika itu yang menarik, ratusan masyarakat datang melihat apa yang saya kerjakan. Masa itu traktor barang yang unik. Orang datang ramai hanya untuk melihat traktor, bukan tertarik berusaha seperti saya.

Wah menarik, tentunya masyarakat ketika itu bertanya-tanya anda sedang menanam apa?

Benar, banyak yang bertanya demikian. Saya katakan saya tanam limau. Ada juga bertanya limau itu apa? Saya jawab, buah seperti yang dijual di pasar Bukittinggi. Ditanya lagi, kalau sudah menghasilkan kemana pasarnya? Saya bilang, banyak, bisa ke Bukittinggi, Medan, Pekan Baru dan daerah lain. Tapi sampai disitu orang juga belum tertarik untuk mengikuti jejak saya.

Berapa bibit limau yang akan anda tanam ketika itu?

Ada sekitar 2.000 batang. Jumlah itu sudah cukup banyak, sementara lahan saya yang sehektar lebih hanya bisa ditanami sekitar 400 batang. Sedangkan 1.600 batang saya bagi-bagikan ke masyarakat. Tapi tetap juga tidak ada yang tertarik untuk bertani. Beberapa warga yang berminat untuk menanam satu dan dua batang saja di pekarangan rumah.

Tahun berapa pertama kali Anda memetik hasil limau itu?

Limau yang saya tanam baru panen sekitar tahun 1964. Memang hasil saya panen ketika itu belum benar-benar matang. Saya petik dan saya coba jual ke pasar Bukittinggi. Ketika itu yang banyak dijual orang limau Medan. Harga limau Medan mencapai Rp75,-/kg sedangkan limau Kamang yang saya jual hanya laku Rp25,-/kg. Bahkan ada yang meledek saya ketika itu, katanya ini limau apa? Kok kulitnya kuning seperti cahaya matahari. Baunya pun seperti bau kapindiang. Wah, mental saya kena juga ketika itu. Namun saya tidak menyerah. Untuk selanjutnya saya tunggu limau itu benar-benar matang di pohon. Ternyata ketika benar-benar matang, buah limau Kamang ini sangat bagus bentuknya, buahnya melebar dan besar. Baunya juga harum. Saya jual lagi ke pasar Bukittinggi. Dan ternyata harganya bisa berkali lipat. Kalau limau Medan dijual orang Rp75,-/kg, limau Kamang bisa saya jual Rp85.-/kg.

Artinya kerja keras Anda ketika itu sudah mulai menampakkan hasil, lalu bagaimana dengan reaksi masyarakat kampung Anda?

Di tahun 1966, saya sudah bisa membangun rumah permanen untuk orangtua saya. Di Kamang, ketika itu sangat jarang ada rumah warga yang dibuat permanen, kalau rumah-rumah kayu banyak. Nah, melihat itu, banyak masyarakat yang tertarik untuk mengikuti jejak saya sebagai petani limau. Peluang itu saya tangkap. Lalu saya dan beberapa tokoh masyarakat membentuk kelompok, Persatuan Usaha Tani Kamang. Kelompok tani lain ketika itu belum ada. Nah, saat itulah dijelaskan prospek usaha limau Kamang. Makin populerlah istilah limau Kamang itu.

Apakah ketika itu ada kunjungan-kunjungan studi banding masyarakat dari luar Kamang?

Sangat banyak. Bahkan tamu-tamu berdatangan tidak saja dari Sumbar, tapi juga datang dari Aceh, Jawa hingga Kalimantan. Mereka telah mendengar tentang keaktifan petani di Kamang, dan ingin melihat budidaya tanaman limau Kamang yang ketika itu sudah sangat populer.

Apa dampaknya dari kesuksesan yang Anda raih bagi masyarakat?

Wajah Kamang lebih ‘tacelak’. Kampung lebih bersih dan rapi. Pertanian masyarakat teratur. Pembangunan pun menggeliat karena sudah banyak petani yang sukses. Kelompok tani pun mulai bermunculan di daerah-daerah sekitar Kamang. Yang lebih membanggakan, lapangan kerja makin terbuka, bahkan warga Kamang yang merantau banyak yang pulang untuk berusaha yang sama.

Apa saja penghargaan yang sudah Anda raih selama ini?

Ada sekitar 23 penghargaan diluar Kalpataru. Diantaranya penghargaan dari Menteri Sosial RI, Menteri Pertanian, Menteri Dalam Negeri, Departemen Peternakan, Departemen Lingkungan Hidup, dan sejumlah piagam dari pemerintah Kabupaten Agam dan Provinsi Sumbar. Saya juga sempat menjadi petani teladan Nasional pada tahun 1977, dan bersama 9 petani teladan lainnya se Indonesia kami melakukan studi banding ke Negara Korea Selatan melihat perkembangan pertanian disana. Beberapa ilmu yang saya dapatkan di Korea Selatan saya kembangkan di Kamang, diantaranya pemanfaatan jerami untuk budidaya jamur.

Anda memang luar biasa, apa harapan Anda kepada petani lainnya di Sumatera Barat?

Jangan pernah berhenti berusaha, dan yang terpenting ikhlas. Yakinlah, apapun yang ditanam pasti menghasilkan. Tinggal bagaimana lagi kita mensyukuri apa hasil dari jerih payah kita itu. Semuanya rezeki yang telah diberikan Tuhan untuk kita syukuri. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar