Oleh: Muhammad Subhan
REZIM pemerintah orde baru pimpinan Presiden Soeharto di tahun 1968 pernah mengkampanyekan berantas korupsi. Namun, setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto nyatanya telah membiakkan 'tikus-tikus' koruptor yang menggerogoti uang rakyat dan menghancurkan keutuhan negaranya sendiri.
Dulu, mantan anggota KPU Mulyana W Kusumah terlibat kasus penyuapan terhadap pemeriksa BPK. Kasusnya merembet menjadi awal terkuaknya korupsi di KPU yang diperiksa KPK. Sebelumnya, Mulyana adalah aktivis LBH, akademisi dan tokoh Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang bersuara lantang berantas korupsi.
Sebelumnya pula, mantan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji (BIPH) Departemen Agama (Depag), Taufik Kamil, ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana abadi umat Rp680 miliar. Menyusul setelahnya, Mantan Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar juga menjadi tersangka dalam kasus penyalahgunaan sisa dana penyelenggaraan haji dan Dana Abadi Umat (DAU) yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp680 miliar.
Di samping mereka, tokoh lain yang selama ini menjadi panutan di jagat Nusantara, ternyata, juga memiliki kenaifan yang sama. Sebut saja diantaranya; Probosutejo yang menyogok Ketua Mahkamah Agung, mantan Direktur Pertamina Tabrani Ismail yang korupsi proyek Export Oriented Refinery I Pertamina, Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, Lesmana Basuki, Samadikun Hartono, dan Sherny Konjongian yang kelimanya adalah buronan terpidana kasus BLBI. Selain itu, skandal seks yang dilakukan Yahya Zaini anggota DPR RI dengan artis dangdut cantik Maria Eva, juga setidaknya semakin menciptakan keraguan kepada masyarakat apakah bangsa ini masih mempunyai panutan.
Itupun, belum terhitung berbagai bentuk korupsi dan penyelewengan lain yang terbukti telah memorak-porandakan sendi-sendi negara dan hajat hidup rakyat. Berbangsa dan bernegara dimainkan semata-mata berdasarkan kepentingan dan kegunaan yang menguntungkan si pelaku, nyaris kehilangan filosofi tentang makna dan kemaslahatan. Akibatnya bangsa ini menjadi semakin kerdil, tertatih-tatih, anarkis, terbelakang, jadi sarang penjarah, dan kehilangan sukma.
Padahal, pada saat yang sama, bangsa ini tengah berduka. Derita rakyat Aceh akibat tsunami dan konflik berkepanjangan sesungguhnya juga belum sembuh. Gempa di DIY dan Jateng belum pulih benar. Apalagi, luapan lumpur panas Lapindo di Porong Sidoarjo. Banjir bandang di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Gorontalo, jatuhnya pesawat terbang, ancaman kekeringan di pulau Jawa dan daerah-daerah lainnya. Kerusakan hutan dan kondisi lingkungan yang kian parah. Sejumlah bencana nasional itu seakan tak menyentuh wilayah kesadaran nurani kaum elite di negeri ini untuk berpikir jernih, selain politisasi. Kurang apa lagi bencana yang harus menimpa?
Indonesiaku memang sedang menangis. Rakyatnya lagi tertatih-tatih kemana harus mencari panutan. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar