Selasa, 05 Januari 2010

Benarkah Sastrawan Sumbar Pemalas (?)


Oleh: Sulaiman Juned

Luar biasa trik yang disampaikan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi beberapa waktu lalu dibeberapa surat kabar, tentang “Sastrawan Sumatera Barat Malas Berkarya”. Ini sebuah gelinjang yang menohok dirinya sendiri atau menepuk air didulang?

Ada tanggapan Fatris Mohammad Faiz, dan Alee Kitonanma dimuat salah satu Koran harian terbitan Padang (3/5) lalu. Ada bantahan dari Muhammad Subhan dimuat Haluan, dikolom detak jam gadang (5/5). Kesemua tulisan tersebut menolak pernyataan Gubernur yang salah menilai tentang sastrawan Sumatera Barat. Pernyataan itu, barangkali sengaja diketengahkan Gamawan untuk memancing kreativitas para sastrawan, atawa dana yang telah disediakan gubernur sebesar Rp. 5 Juta itu untuk penerbitan buku tidak pernah diambil oleh para sastrawan.

Lantas, sang bapak kita itu menilai, sastrawan Sumatera Barat pemalas. Dana sebesar itu, memang tidak berarti apa-apa untuk sebuah penerbitan, buku apa yang dapat dihasilkan dengan dana sebesar itu. Sedangkan desain cover buku saja biayanya mencapai Rp. 5 Juta.

Namun para sastrawan seperti yang telah diungkapkan pleh Fatris Mohammad Faiz, Alee Kitonanma dan Muhammad Subhan, tetap saja menerbitkan karya-karyanya selain berbentuyk buku juga di media massa, seperti Majalah Horison, Majalah Bahasa dan sastra Indonesia di Brunei Darussalam dan Malaysia, majalah Gong, Republika, kompas, media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Solo Pos, Jawa Pos banyak karya sastra sastrawan Sumatera Barat dipublikasikan di sana, pernahkah bapak baca (?)

Baru-baru ini tanggal 25 April 2009 yang lalu, Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (HIMA-BASINDO) FKIP-UMSB Padangpanjang dalam rangka memperingati mengadakan Seminar Sastra Nasional. Yang paling mengharu biru, mereka tanpa dana dari PEMDA menerbitkan buku Antologi Puisi ‘Lautan Sajadah’. Kebahagian itu menjadi lengkap, sebab dari 46 penyair mayoritas penyair perempuan. Karya-karya mereka sebagai penyair pemula memang telah menampakkan kualitasnya. Lalu apakah ini juga masih berani kita sebut, sastrawan Sumatera Barat pemalas?

Sastrawan Indonesia baik yang senior maupun yang yunior mayoritas pula dikuasai oleh sastrawan yang berasal dari Sumatera Barat apalagi bila berbicara masalah eksistensi kesenimanannya, lalu atas dasar apa sang gubernur kita membuat pernyataan yang bombastis itu. Barangkali untuk mencari sensasi, pak gubernur yang mulia, sastrawan itu bekerja dengan hati nurani selain selain membaca realita social untuk dimamahnya dalam proses perenungan.

Jadi bapak gubernur yang terhormat, jika ingin mengaduk ‘lado kutu’ dalam makanan para sastrawan tentu boleh-boleh saja. Namun hendaknya datangi dulu ‘rumah-rumah’ tempat sastrawan itu berproses kreatif, seperti; di Padang ada Komunitas Seni Pelangi pimpinan Yusrizal KW, di Payakumbuh ada Komunitas Seni Intro pimpinan Iyut Fitra, sementara di Padangpanjang ada Komunitas Seni Kuflet. Mereka setiap hari berdiskusi (membaca dan menulis) tentang sastra, bahkan tanpa danapun mereka masuk ke sekolah-sekolah mengajar siswa membaca dan menulis karya sastra. Apa bapak pernah tahu itu (?) Mari berkaca pada wajah kita agar tak salah melihat bopeng orang. ***

Sumber: http://sjuned.blogspot.com/2009/05/kolom-refleksi-dan-detak-jam-gadang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar