
Oleh: Muhammad Subhan
SAYA punya seorang teman, alumni training Emotional and Spiritual Quotion (ESQ) nya Ari Ginanjar Agustian. Kemana-mana memakai jaket hitam bertulis logo ESQ di dadanya. Begitupun, peci (kopiah) pak haji tak pernah lepas dari kepalanya. Gagah dan terkesan alim benar. Tapi sayang, belum sekalipun saya melihatnya shalat!
Teman saya yang lain, anggota halaqah sebuah pengajian. Berjilbab, tepatnya berbusana muslimah yang baik. Ayu penampilannya. Dan, kemana-mana selalu pergi berkelompok dengan teman-temannya yang “sepakaian” dengannya. Namun, lagi-lagi sayang, setiap “ngumpul”, setiap itu pula saya dengar si akhwat gosipin orang lain. Gunjing!
Satu lagi, teman saya juga, berpenampilan biasa-biasa saja. Agak kalem, atau bisa dibilang pendiam, begitulah. Bukan alumni ESQ dan tidak juga anak “pengajian”, tapi dia belajar dari banyak guru dan buku. Setiap berkumandang adzan di mesjid, saya lihat dia yang paling pertama duduk di shaf terdepan. Sayapun salut kepadanya.
Dari pengalaman melihat perbedaan ketiga teman saya itu, saya berkesimpulan, ternyata, “pakaian” tidak menjamin kedekatan seorang hamba di hadapan Sang Khalik. Begitupun, “pakaian” tidak selalu mencerminkan budi dan sikap si pemakai pakaian. Bahkan, pakaian sering menciptakan kebohongan yang cenderung mengarah pada kesombongan. Padahal, dalam ayat-ayat-Nya, Allah SWT menegaskan bahwa Allah tidak melihat pangkat, jabatan, kedudukan (pakaian)nya seorang hamba kecuali takwanya.
Memang, banyak orang yang tertipu memandang kadar takwa seseorang, walaupun sebenarnya kita tidak pantas menilai kadar ketakwaan seorang hamba. Karena nilai dari ketakwaan hanya Allah SWT yang tahu dan berhak menilai.
Banyak orang memandang kadar ketakwaan seseorang dari pakaian, dan atribut-atribut ibadah lainnya. Padahal belum tentu orang yang memakai atribut tersebut bisa konsisten dengan apa yang mereka pakai. Banyak kaum pria memakai setelan baju koko lengkap, tapi hanya di saat momen-momen tertentu saja. Ada juga kaum perempuan yang memakai jilbab, namun hanya untuk kebutuhan trend mode semata. Kondisi itu, sekarang telah umum terlihat dimana-mana. Sangat disayangkan sekali.
Dari tiga pengalaman tentang “pakaian” itu pula, saya teringat anekdote Abu Nawas yang berpenampilan ala orang biasa ketika bertandang ke pesta seorang bangsawan. Karena Abu Nawas tidak memakai pakaian layaknya tamu yang sedang mengikuti pesta, tak seorang pun tuan rumah yang melayaninya. Bahkan, Abu Nawas diusir karena dianggap merusak acara.
Bukan Abu Nawas jika tidak panjang akal. Iapun pulang ke rumah menganti pakaian, lalu kembali ke pesta. Bajunya indah layaknya seorang bangsawan. Sesampainya di pesta, dua pelayan menyambutnya dan menghidangkannya makanan dan minuman yang lezat.
Namun apa kata Abu Nawas, sembari melepas pakaian kebangsawanannya, “Hai pakaian, makanlah makanan yang disediakan tuan rumah. Karena yang dihargai di sini hanyalah dirimu, bukan aku!” kata Abu Nawas sembari pergi meninggalkan pesta. Tuan rumah dan tamu lainnya pun hanya melongo melihat tingkah polah Abu Nawas.
Pakaian memang mencerminkan identitas seseorang. Namun sayangnya, identitas kadangkala sering dikaburkan hanya karena salah memakai pakaian. Dan, alangkah indahnya jika si pemakai pakaian membungkus dirinya dengan jiwa ketakwaan dan rendah hati. Waallahau allam. []
P.A.K.A.I.A.N , YA.. PAKAIAN. KITA SERING TERTIPU OLEH "THE MASK". PAKAIAN, MAKE-UP, PENAMPILAN, ADALAH BAGIAN DARI THE MASK (DALAM ARTI LUAS), ATAU TOPENG UNTUK MENUTUPI DIRI YANG SESUNGGUHNYA... YANG TAHU SIAPA DIRI KITA SEBENARNYA ADALAH KITA DAN SANG PENCIPTA. ALLAH TIDAK AKAN MENILAI SESEORANG DARI THE MASK-NYA TAPI DARI KADAR KEIMANANNYA...
BalasHapusBenar sekali kanda. Semoga pakaian yang kita pakai, tidak malah mengkerdilkan diri kita. Semoga, semua kita menyadari bahwa pakaian yang kita pakai, adalah fana. Terima kasih komentarnya. Salam.
BalasHapus