Oleh: Muhammad Subhan
MENGAPA senja yang selalu kau tuliskan dalam cerpen-cerpenmu, Rey. Seolah ada memori yang kau sembunyikan tentang sepotong senja dan tak pernah mau kau ungkapkan padaku. Begitu berartikah senja bagimu?. Sehingga hampir setiap sore kutemui kau berdiri di tepi pantai ini sekedar menunggu kedatangan senja. Walau kutahu, kadangkala kau harus kecewa karena senja yang kau rindukan tak menampakkan rupa. Sebab, bukankah beberapa hari ini hujan dan mendung menutupi kedatangan senja?.
Kau selalu diam ketika kutanya semua alasan itu. Kau tak pernah mau bicara jika topik yang kuutarakan adalah tentang senja. Kau diam membisu dan selalu mengalihkan pembicaraan, asalkan aku tak membicarakan tentang senja.
Dan ada-ada saja yang kau katakan jika aku telah berada bersamamu di pantai ini. Tentang sekolahku, tentang ibu, dan tentang pacarku. Padahal aku tak pernah suka dengan semua perkataanmu itu. Karena yang kuharap kau mau bercerita tentang senja. Ya, senja yang selalu membuat aku penasaran. Sehingga aku mau menunggu dan berdiri di sisimu di pantai ini. Berjam-jam lamanya, sembari menanti senyum yang terukir indah di bibirmu, ketika senja datang perlahan membawa kabar yang entah apa isinya.
Rey. Tahukah kau kalau aku menyukai senyumanmu itu? Seperti aku menyukai sikapmu yang lembut dan penyabar. Tapi sayang, kau terlalu dingin buatku. Sedingin es di puncak Himalaya yang enggan mencair walau panas menerpanya. Sehingga kadang aku merasa risih berada di sisimu ketika sikapmu itu mulai kau tampakkan. Ingin aku menangis dan menumpahkan semua kekesalanku padamu ketika kau mulai egois. Ya, kau egois ketika bersikap dingin, Rey. Aku benci padamu. Walau benci itu tak mampu kuungkapkan, sebab aku…. Ah, haruskah kuberterusterang kalau aku mulai mencintaimu, Rey.
Dan, seperti minggu-minggu kemarin, kutemui lagi senja dalam cerpenmu yang dimuat koran pagi ini. Kau menulis: Senja melukai batinku untuk kesekian kali. Luka yang teramat dalam, sementara luka-luka kemarin yang ia torehkan belum mengering. Ada pilu, nyeri, juga sakit yang tak tertahankan. Sementara senja selalu tersenyum menatap semuanya. Tanpa berdosa...
Ah, Rey. Apa maksud kau menuliskan kata-kata itu? Apakah kau selalu bermain dengan majas dan kias pada setiap kata dalam cerpen yang kau tuliskan?. Kata yang membuatku semakin penasaran. Karena senja yang kau ciptakan adalah senja yang berjiwa. Hidup dan bercerita. Hingga jujur kukatakan kalau aku cemburu pada senja yang kau tulis itu. Cemburu yang melebihi cemburuku ketika adik-adik kelas perempuan di kampus menggodamu.
Rey. Tak adakah topik yang lebih indah dari sepotong senja dalam cerpenmu itu?
Di kalimat lain kau menulis: Maafkan aku. Kusadari, semua kulakukan semata untuk membahagiakanmu, senja. Aku selalu merasa bersalah jika melihat rupamu tak lagi bersinar seperti dulu. Aku rindu senyummu, aku rindu canda dan tawamu. Bukankah sudah kukatakan, aku tak sekedar ingin menjadi sahabat yang mau kau ajak tertawa. Tapi aku juga ingin menjadi sahabat yang mau menangis ketika kau dirundung duka. Bahagiamu adalah bahagiaku, senja. Deritamu deritaku juga…
Semakin yakinlah aku, bahwa senja yang kau maksudkan bukan sekedar senja, Rey. Kau telah mendustai aku. Kau pernah berkata bahwa kau tidak punya wanita yang dekat di hatimu selain aku. Buktinya, semua tulisanmu melukiskan kerinduan seorang lelaki pada kekasih yang dicintainya. Dan aku yakin, lelaki itu adalah dirimu.
“Aku menyayangimu, Dee. Seperti aku menyayangi adik-adikku sendiri.” Katamu suatu hari di pantai ini.
“Sekedar itukah?” tanyaku karena kau menganggapku tak lebih dari seorang adik.
“Ya.”
Aku kecewa dengan kata-katamu ketika itu, Rey. Kau selalu menganggapku sebagai seorang adik. Tak lebih. Padahal kau tahu aku telah dewasa. Sama sepertimu, walau kau dua tahun lebih tua dariku. Dan, telah lama aku memendam perasaan kepadamu, Rey. Cinta. Ya, aku mulai mencintaimu ketika kau tak merasakan apa-apa terhadapku. Kau kejam, Rey. Kau jahat!.
Satu kelemahanku, Rey. Aku tak pernah mampu menumpahkan semua amarah dan kecewaku di hadapanmu. Semuanya aku pendam. Sebab aku takut kau akan membenciku jika aku melukai perasaanmu. Aku takut kehilanganmu, Rey. Takut sekali. Aku tak ingin berpisah darimu, walau kau selalu membuatku cemburu. Cemburu dengan senja yang selalu kau puja. Dalam cerpen-cerpenmu yang hampir tiap minggu kubaca.
***
MINGGU kedua setelah hujan berhenti.
Rey, aku pulang. Mungkin untuk beberapa waktu aku tak berada di sisimu di tepi pantai, tempat biasa kau menanti senja. Ibu sakit. Tapi aku tak ingin lama tinggal di kampung. Aku akan segera kembali bersamamu. Doakan semoga ibu cepat sembuh.
Dari Dee.
Surat pertama kukirimkan untukmu, Rey. Surat biasa, dan bukan surat cinta. Aku hanya hendak mengabarkan padamu bahwa ibu sakit. Dan aku harus segera pulang. Walau berat berpisah darimu, tapi aku yakin kau tak merasa kehilanganku. Bukankah begitu, Rey. Ya. Sebab kau menganggapku tak lebih dari seorang adik. Adik yang manja, ingin selalu diperhatikan olehmu. Semanja kedua adikmu yang masih kecil di rumah.
Tapi, dua hari setelah surat itu kukirim padamu, kau malah mengirim balasannya ke kampung. Aku tak menyangka kalau suratku itu kau balas. Kau menulis:
Kesunyian semakin menerpaku ketika senja tak datang menemani hari-hariku. Senja pergi. Pergi begitu saja tanpa secarik pesan yang biasa ia kabarkan lewat angin. Aku merindukannya. Dan kuharap ia segera kembali kepadaku….
Rey, aku tersenyum membaca surat ringkasmu itu. Ternyata, tak hanya dalam cerpen kau menuliskan kata-kata puitis tentang senja. Tapi, dalam surat buatku pun kau menuliskannya. Aku semakin bingung dan penasaran, Rey. Kau selalu misterius buatku.
Surat itu tak kubalas, karena kuyakin kau tak mengharap balasannya. Karena suratmu tak sedikit pun menyinggung tentang diriku, atau tentang ibu yang sedang terbaring sakit. Kau hanya menulis tentang senja. Ya, senja yang tak pernah kumengerti tabir apa dibaliknya.
Sehari, dua hari berlalu. Surat ringkasmu itu masih tergeletak di atas lemari kain ibu. Entah mengapa, tak sedikit pun tergerak di hatiku untuk membalasnya. Namun begitu, ada kekuatan gaib yang mendorongku untuk mengambilnya, kemudian membacanya kembali. Berkali-kali. Dan aku selalu tersenyum sendiri.
Esoknya. Lagi, setelah hujan berhenti.
Aku menerima suratmu untuk kedua kali. Di kampung ini. Ketika ibu belum juga sembuh dari sakitnya. Dalam surat kedua itu kau menulis:
Haruskah aku menunggu berabad-abad lamanya hanya untuk menanti kedatanganmu, senja? Tiadakah kau berperasaan sehingga tega meninggalkan aku sendirian di sini, di kota sepi ini?. Kembalilah senja. Aku rindu menatap bening matamu. Canda dan gelak tawamu. Di pantai ini. Seperti hari-hari kemarin yang pernah kita jalani. Bersama….
Lama aku termenung setelah membaca suratmu, Rey. Berulang kali aku mencoba memahami makna kata demi kata yang tersirat dibaliknya. Kau menyebutku senja. Senja yang selalu kau tulis dalam cerpen-cerpenmu yang dimuat koran hampir setiap minggu. Benarkah kerinduan itu kau tujukan kepadaku, Rey?. Kau rindu padaku karena aku tak ada di sisimu?.
Aku semakin bingung. Malamnya aku tak bisa tidur hanya memikirkan kata-kata yang kau tulis dalam suratmu itu. Kau memang misterius, Rey. Aku tak pernah mampu memahami sikap dan hatimu kepadaku.
***
SAKIT ibu telah sembuh. Ibu sudah dapat melakukan aktivitasnya kembali di rumah. Dan aku akan kembali ke kota. Menemuimu, Rey. Menanyakan tentang maksud surat-surat yang kau kirimkan buatku. Dan aku harus menemukan jawabannya darimu.
Tapi, di sore ini, ketika aku mencari-cari sosokmu di pantai ini. Tempat biasa kau berdiri bermenung menanti kedatangan senja. Aku tak menemui tubuhmu di sana. Kemanakah engkau pergi, Rey? Padahal hujan tak turun sore ini. Dan, sebentar lagi, senja yang kau rindukan akan segera hadir bersama ronanya yang indah.
Hampir seharian aku mencarimu di pantai ini. Tapi kau tak juga menampakkan rupa. Senja pun telah kembali ke peraduannya. Seiring malam yang datang bersama angin dingin yang menusuk tulang. Purnama juga tak tahu di mana kini kau berada, Rey.
Malam itu, untuk pertama kali aku berkunjung ke bilik kostmu, Rey. Mencari tahu, apakah kau sakit sehingga tidak bisa keluar sore tadi menunggu kedatangan senja. Atau kau sedang ada tugas kuliah yang menumpuk hingga tak menyempatkan dirimu keluar rumah. Semuanya ingin kutahu, Rey. Karena aku rindu padamu.
Tapi, di tempat kostmu itu, aku hanya mendapatkan sepucuk surat yang kau titipkan pada seorang kawanmu. Dalam surat itu kau menulis:
Dee…
Kini giliranku pulang kampung. Sebab, ibuku juga sakit. Aku juga tak ingin berlama-lama di kampung. Aku segera kembali ke kota. Menemuimu. Menikmati hari-hari yang pernah kita jalani. Di tepi pantai, ketika senja hadir bersama rindu dan cinta yang dibawanya.
Dee…
Kau bertanya tentang senja? Kurasa kau telah cukup dewasa untuk memahami kata-kata yang kutulis dalam cerpen-cerpenku. Senja tak lain adalah dirimu, Dee. Senja yang kucintai. Karena kaulah yang selalu menemani hari-hariku.
Dee, maafkan aku.
Dari Rey
Ah, Rey. Hampir tak percaya aku membaca suratmu itu. Tanganku gemetar dan dadaku bergemuruh ketika kata demi kata dalam suratmu kuresapi satu persatu. Kau berkata bahwa senja yang kau tulis dalam cerpen-cerpenmu adalah aku. Sungguhkah, Rey?. Bersungguh-sungguhkah kau mencintai aku?
Rey. Aku tak ingin misteri yang kau suguhkan selalu menjadi tanda tanya buatku. Lekaskah kembali. Aku ingin kau berkata jujur. Aku ingin kata-kata itu keluar dari mulutmu. Ya, sejujur hatiku kalau aku mencintaimu.
Ah, Rey. Lihatlah, pipiku basah oleh air mata bahagia… []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar