Minggu, 03 Januari 2010

Kau Panggil Aku Natasya


Oleh: Muhammad Subhan

KEMBALI kutemui sosok lelaki itu di pantai ini. Ia selalu berdiri di bawah sebatang pohon nyiur sembari menatap laut. Memandang dengan penuh harap, seolah ada yang ia tunggu datang dari lautan luas sana. Ombak dan gelombang laut yang melenguh mencium bibir pantai, tak pernah ia peduli. Begitu juga dengan burung camar yang mengepakkan sayapnya menangkap ikan-ikan. Semuanya ia diamkan, sediam hatinya yang beku.

Angin datang kepadaku membawa cerita tentang dirinya. Dia datang dari seberang, katanya. Sebulan sudah ia berada di pantai ini. Menunggu kekasih yang ia cintai dan belum juga kembali. Kata angin, ia tipe lelaki setia. Cinta dan cita-cita adalah segala-galanya. Seperti kekasihnya yang juga mencintai dirinya.

Aku Ragu dengan cerita angin itu. Karena angin mengucapkannya dengan nada cemooh kepada lelaki itu. Kata angin, demi sekeping cinta ia rela mengorbankan apa saja. Tak peduli waktu, harta, tenaga yang telah ia habiskan untuk menanti kepulangan kekasihnya. Padahal, orang yang dicintainya itu tidak akan kembali lagi ke pantai ini. Gadisnya telah menjadi milik orang lain di sebrang sana. Cintanya telah ia jual demi sepenggal kehormatan di mata orang-orang di tanah jiran. Dan, yang pasti, ia telah melupakan lelaki itu untuk selama-lamanya.

Benarkah? Lagi-lagi aku ragu akan cerita angin itu. Maka di senja ini, ketika lelaki itu menatap horison di kaki langit sana, aku memberanikan diri bertanya kepadanya. Tentang dirinya. Tentang kekasihnya. Dan tentang kesetiaan, cinta dan rasa yang ia miliki.

“Kau salalu berdiri di pantai ini. Adakah yang kau tunggu?” tanyaku ragu-ragu di antara diam dan sayunya tatapan mata lelaki itu.

Ia tak menjawab ketika itu. Sepertinya, ia gelisah setelah mendengar kata-kata yang kutanyakan. Lalu ia alihkan pandangan menatap butir-butir pasir yang mengotori kakinya. Seolah mencari jawaban di sana.

“Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu,” kataku lagi. Tiba-tiba saja aku merasa bersalah. Lalu aku pun diam, ikut melemparkan pandangan menatap birunya laut.

Tiba-tiba ia memandangku. Matanya yang sayu itu terlukis harapan. Tapi sangat semu. Aku pun membalas tatapannya di antara keraguan, apakah ia marah dengan kata-kataku tadi.

“Tak ada yang perlu aku maafkan,” katanya kemudian.

“Mengapa?” tanyaku, sebab ia telah mau berkata-kata.

“Karena kau tak bersalah.” Dia mengucapkannya sembari menjatuhkan pantatnya menduduki pasir pantai. Di bawah rindangnya sebatang pohon nyiur yang melambai ditiup angin. Aku pun duduk menurutinya.

Ia kembali diam. Jemarinya yang kekar meraih sebatang ranting kayu yang tergeletak tak jauh di depannya. Lalu dengan ranting itu ia melukis sebuah nama di permukaan pasir di sisi kakinya. Natasya, begitu tulisnya. Namun entah mengapa, tiba-tiba saja ia menghapuskannya. Seperti ada kekecewaan di matanya ketika melihat tulisan nama itu.

“Siapa pemilik nama itu? Dan, mengapa tiba-tiba kau menghapusnya?” tanyaku heran melihat tngkah lakunya.

Lagi-lagi ia diam sebelum menjawab pertanyaanku. Kembali ia memandangku, lembut. Ada pesona tersendiri ketika aku membalas pandangan pemilik mata sayu itu. Ia begitu tampan. Dan entah mengapa, tiba-tiba aku menundukkan wajah menghindari tatapan matanya. Seolah ada kekuatan gaib yang keluar dari bening matanya itu. Dan hendak menghipnotisku.

Tiba-tiba jemari kekarnya mendarat di daguku, lalu perlahan mengangkatnya. Kembali kutemui pandangan lembut pemilik wajah tampan itu. Kemudian ia berkata pelan. “Natasya…” Nama itu diucapkannya untukku. Aku kikuk, dan kutepis jemari tangannyn yang menyentuh daguku.

“Namaku bukan Natasya!” Aku protes, sebab ia memanggilku dengan nama itu. Nama yang tidak kukenal.

“Ya. Kau bukan Natasya. Tapi bolehkah aku memanggilmu dengan nama itu?” katanya kemudian.

“Mengapa harus dengan nama itu? Dan siapa Natasya?” tanyaku lagi.

Dia diam. Kembali ia menghempaskan pandangannya menatap laut. Seolah ada yang ia cari di sana. Di antara gelombang, angin dan ombak yang berdebur meninggalkan pecahan-pecehan buih putih. Di kaki langit, matahari senja telah turun. Meleburkan dirinya ke laut. Di angkasa, sinarnya berwarna merah darah. Sangat indah. Mengundang birahi alam yang membuncah di hati lelaki itu.

“Natasya…” gumamnya, nama itu diucapkannya lagi. Begitu pelan, seolah untuk pendengarannya sendiri.

“Natasya kekasihmu?” tanyaku ingin tahu.

Ia mengangguk pelan. Lalu ia kembali berdiri. Memandang sejenak ke arahku yang masih duduk. Kemudian ia pun melangkah ke arah pantai. Sampai ketika ombak menjilati kakinya yang berdebur, ia berhenti. Kembali menantang laut.

Lagi-lagi aku tercenung melihat tingkah polahnya. Dan aku pun bangkit mengikuti jejaknya ke pantai. Kemudian berdiri di sisi tubuhnya. Kakiku pun dijilati ombak, seperti ombak telah menjilati kakinya.

Ada kedamaian ketika tubuhku berdiri di sisi lelaki itu. Ia masih memandang ke laut.

“Natasya pernah berjanji di pantai ini. Ia akan kembali ,” kata lelaki itu.

“Kau mencintainya?” tanyaku.

“Ya.”

“Kau begitu setia.”

Dia tersenyum. Tapi senyum yang begitu pahit.

“Aku telah mencoba untuk menjadi lelaki setia. Seperti yang kau ucapkan tadi. Tapi apa arti kesetiaan bagiku, ketika orang yang kucintai mengkhianati kesetiaanku,” katanya seperti tanpa beban.

“Darimana kau tahu kalau kekasihmu itu mengkhianatimu?”

“Angin!”

“Angin?” aku terkejut.

“Ya. Angin telah mengabarkan semuanya. Natasya, gadis yang kucintai itu, telah menjadi milik orang lain. Dan telah melupakanku untuk selama-lamanya!” Ia mengucapkan kata-kata itu dengan bibir bergetar. Ada mendung menggayut di kelopak matanya.

Aku hanya menunduk mendengar ceritanya. Hatiku ikut terenyuh menyaksikan kenyataan itu. Tak kusangka, perempuan, kaumku yang katanya paling setia cintanya dari laki-laki, tega melacurkan diri dan berbuat khianat. Lelaki itu, yang aku pun belum tahu namanya, menepis mitos orang-orang yang berkata, lelakilah yang sering mengkhianati kekasihnya. Tetapi tidak halnya dengan lelaki itu. Ia telah membuktikan kesetiaan kepada kekasih yang dicintainya. Walau berhari-hari lamanya ia harus menanti kepulangan kekasihnya itu. Di pantai ini.

Angin berdesir lembut. Menampar-nampar wajahku yang masih larut merenungi kata-kata lelaki itu. Dan, angin pun seolah mentertawakanku, bahwa perempuan, kaumku itu, adalah makhluk yang lemah, tapi menjadi khilaf ketika cintanya telah berbagi. Angin pun berfilsafat, kesetiaan tiada selamanya menjamin cinta akan abadi. Ah, begitu indah kata-kata angin itu. Aku pun malu dibuatnya.

Matahari senja telah hilang di telan laut. Yang tinggal hanya rona kuning keemasan yang terpancar dari permukaan kaki langit yang datar. Malam pun turun. Bersama bintang–bintang yang mulai bermunculan satu-persatu. Sementara, nun di tengah gelombang laut, tampak biduk-biduk kecil yang berlayar menentang ganasnya laut. Menggantang harapan, di antara mimpi dan kenyataan.

***

HARI Ini tak kutemui lelaki itu berdiri di bawah batang pohon nyiur. Di tepi pantai. Tempat biasa ia berdiri bermenung sembari memandang laut. Ia seolah raib, tak berjejak dan berimba.

Tapi, lelaki itu tidak pergi begitu saja. Kutemui sepucuk surat yang terselip di antara pelepah nyiur yang rindang itu. Surat bersampul putih polos. Sepolos hatinya yang setia menanti kepulangan kekasihnya.

Kubuka isi surat itu dengan tangan gemetar. Kubayang-bayangi apa yang tertulis dalam selebar kertas itu. Lalu aku pun membacanya.

Kau pasti kembali ke pantai ini. Seperti hari-hari kemarin, kauselalu setia menemaniku memandang laut. Walau ku tahu, laut tak akan memberi apa-apa untukku. Karena orang yang kunanti tak akan pernah kembali lagi.

Natasya… maaf, aku memanggilmu dengan nama itu. Jujur kukatakan, wajahmu mengingatkanku dengan gadis yang kucintai. Tapi sayang, kau bukan gadisku.

Maafkan aku, Natasya.

Tulisan yang begitu singkat. Kuresapi kata demi kata yang tertulis di atas kertas itu. Natasya… nama yang begitu indah. Seindah wajah tampan lelaki yang mecintai pemilik nama itu.

***

KEESOKAN harinya kubaca berita di suratkabar bahwa ditemukan sesosok mayat lelaki tak dikenal yang terdampar di antara batu-batu penyangga dermaga. Perkiraan sementara pihak kepolisian, lelaki itu mati bunuh diri dengan menerjunkan tubuhnya ke laut. Berdasarkan hasil visum dokter, lelaki itu mengalami ganguan jiwa, sehingga berbuat nekat menghabisi nyawanya dengan jalan bunuh diri. Dan, di dada bidang lelaki itu terukir sebuah nama yang sangat kukenal; Natasya! []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar