
Oleh: Muhammad Subhan
PAGI yang indah. Namun tak seindah yang aku rasakan. Pandanganku menerawang jauh menatap hijaunya bukit-bukit yang menjulang di pulau Sabang ini. Hutan yang asri mengukir sejuta pesona yang menyibak tabir rahasia dibaliknya. Membawa aroma harum yang menggetarkan birahi. Kabut putih tipis yang perlahan turun merayapi puncak bukit itu, seolah melambaikan salam perpisahan. Sangat syahdu. Rasanya, baru saja ada secercah kenangan yang tinggal di sini.
Dua hari yang lalu…
“Aku tak yakin kau akan kembali untukku, Han.” Keraguan gadis itu lagi-lagi menghias wajahnya. Aku diam. Kutarik nafas dalam-dalam. Dan, perlahan menghempaskannya begitu saja. Dadaku terasa sesak.
Pagi itu, kami berada di sebuah cottage tempat ia menginap. Ia sakit, sebab angin pantai yang kurang bersahabat. Wajahnya tampak pucat dan sembab. Mungkin ia kurang tidur semalaman. Berkali-kali pula sahabatnya, Ros, memintaku untuk menemaninya. Tapi selalu saja ada hal lain yang membuatku tak dapat menjaganya.
Sementara, nun di pinggiran pantai, sayup-sayup terdengar riuh suara teman-temanku yang bernyanyi. Membawa lagu-lagu kenangan yang terasa sendu. Begitu sejuk di pendengaran kami.
“Diah.” Suaraku bergetar. Perlahan kugenggam erat jemari mungilnya yang halus itu. Kukecup sekali. Seolah tak ingin aku lepaskan. Ada gemuruh bergejolak di dadaku.
“Kau harus bersabar, Diah. Beri aku kesempatan untuk membuktikan kata-kataku ini.” Kutatap sorot matanya dalam-dalam. Kutemui kedamaian di sana. Namun, masih jelas terlihat kalau ia ragu akan kata-kataku.
“Aku tak akan sanggup menanti kepulanganmu, Han,” ia mulai menangis. Secepat itu pula kukatup bibirnya yang terasa berat bergetar. Aku tak ingin ia melanjutkan kata-katanya. Dan aku tak ingin ia berputus asa dalam penantian.
Sungguh berat perpisahan ini. Batinku berontak. Aku harus pergi. Dan kepergianku bukan untuk hal yang sia-sia. Kepergianku adalah untuk kembali kepadanya.
Sebenarnya keinginan untuk merantau sudah lama aku rencanakan. Apalagi sekolahku telah selesai. Aku ingin mencoba mengadu nasib di negeri orang. Mencari peruntungan. Sebab, aku telah lama hidup miskin. Aku bosan. Aku ingin merubah hidup ini menjadi sesuatu yang berarti. Dan juga untuk membahagiakannya kelak.
Di luar, angin pantai masih terus menampar-nampar kaca jendela cottage tempat kami berbincang-berbincang. Seolah ia tak setuju dengan keputusanku untuk meninggalkan Diah. Sebab, Diah sangat mencintaiku. Ia takut, kalau-kalau sekembalinya aku nanti, Diah telah menjadi milik orang lain. Ah, tidak! Aku tak ingin itu terjadi.
Kalau aku tak salah, setahun sudah hubungan kami. Waktu yang panjang, namun terasa begitu singkat bagi kami. Aku masih ingat, saat pertama kali ia mengirim surat untukku… “Han, maafkan aku, ya. Kalau selama ini aku berdoa kau menjadi kekasihku…” tulisnya dalam surat itu.
Sangat bahagia sekali aku membacanya ketika itu. Ternyata, gadis yang selama ini hadir dalam mimpi-mimpi purbaku, rupanya juga menaruh perasaan sama terhadapku. Sejak saat itu, aku semakin sayang kepadanya. Tak sekali-kali kubiarkan ia bersedih. Lalu aku berjanji untuk membahagiakannya kelak.
Ah, terlalu indah memori itu untuk kukenang kembali. Ingin rasanya aku pinta pada waktu agar ia mengulang semua memori itu. Aku ingin selalu menemaninya, membelai rambutnya yang indah, atau juga menggodanya. Mengapa waktu begitu cepat berlalu?
Lagi-lagi ia gelisah. Matanya tampak berkaca-kaca. Giginya yang putih tertata apik itu, menggigit-gigit bibirnya yang tampak basah. Dadanya bergemuruh hebat.
Sementara hari terus beranjak. Kicau burung di ranting-ranting pohon tak lagi terdengar. Mungkin mereka sibuk mencari makan. Dan, angin pun sibuk dengan lagu-lagu yang tak jelas bentuk. Mencari sela-sela lorong tempat ia mengalirkan nafas kehidupan.
Nun, jauh di dermaga Balohan, tampak Very Syanghiang perlahan merapatkan tubuhnya ke pinggiran. Melempar sauh, tanda tugas telah selesai. Kemudian tampak penumpang-penumpang turun dengan berdesak-desakan. Dan senyum-senyum ceria menghias bibir-bibir mereka. Mereka bersyukur, penyeberangan berjalan lancar. Ternyata Tuhan masih sayang kepada hamba-Nya.
Perlahan, ia bangkit dari duduknya. Lalu beranjak mendekati sisi jendela. Angin masih saja mengetuk-ngetuk kaca jendela yang berwarna hitam itu. Ada titik-titik air melekat di sana. Tampaknya, gerimis mulai turun.
“Kau benar, Han. Aku tak pantas menghalangi kepergianmu.” Entah mengapa, tiba-tiba ia berkata demikian. Seperti tanpa beban ia berucap. Air matanya pun ia biarkan mengering. Sementara aku masih bisu dalam kata.
“Kau rela melepaskanku, Diah…” aku mencari kepastian di antara keyakinan dan keraguannya. Tapi ia diam saja. Pandangan matanya menerawang jauh menatap lautan.
***
ENAM tahun sudah berlalu tanpa terasa. Waktu sepanjang itu aku habiskan di perantauan. Aku semakin dewasa di negeri orang ini. Walau setahun lebih aku sempat menganggur dan terombang-ambing tak tentu arah, akhirnya pekerjaan aku dapatkan juga. Waktu itu, tulisan-tulisanku semakin banyak dimuat di koran-koran. Bahkan, ada sebuah perusahaan koran ternama yang memintaku untuk mengasuh sebuah rubrik budaya. Tentu saja peluang itu kusambut baik. Dan tak lama kemudian, aku pun diterima sebagai redaktur sekaligus sebagai wartawan lepas di beberapa koran lain.
Selama aku menjadi redaktur di perusahaan koran tempatku bekerja, banyak pengalaman berharga aku dapatkan. Terutama aku banyak mengenal penulis-penulis ternama maupun yang masih amatiran. Dari mereka itulah aku banyak belajar. Berbagai macam karakter penulis aku kenal. Hingga suatu ketika, ada tawaran dari beberapa orang penulis ternama itu padaku untuk bekerjasama mendirikan sebuah perusahaan koran sendiri. Untung tak dapat diraih, rugi tak dapat ditolak. Tawaran itu pun aku setujui. Dan akhirnya, aku punya perusahaan koran sendiri.
Walau hidupku senang, namun belum juga aku berhasrat untuk mengambil seorang gadis sebagai istri. Pikiranku masih saja menerawang jauh ke kampung halaman. Wajah Diah, gadis yang aku cintai itu selalu saja membayang di mataku. Hatiku semakin gelisah memikirkannya. Apa kabarnya kini.
***
SUATU hari, aku pulang ke kampung. Berhasrat untuk meminang Diah pada orangtuanya. Aku ingin membawanya ke kota ini. Dan membahagiakannya.
Walau kampung halamanku belum banyak perubahan, tapi rumah Diah telah berubah.Aku tak melihat balai-balai bambu tempat kami bercinta dulu. Pohon kelapa tempat terukir nama kami berdua pun tak lagi terlihat di sana. Sepertinya, kenangan-kenangan indah yang dulu pernah kami ukir bersama telah hilang tenpa bekas. Raib tak berimba.
Aku pun memasuki pekarangan rumah yang indah itu. Mataku masih saja memandang tak percaya dengan apa yang aku lihat. Seolah aku berada di suatu tempat yang sangat asing.
Sejurus kemudian, keluarlah dari rumah itu seorang gadis kecil berlari menghampiriku. Di tangannya tampak sebuah boneka beruang berwarna ungu. Wajahnya…, hei, wajah itu sangat mirip dengan Diah. Ya, gadis kecil itu sangat mirip sekali dengan Diah, gadis yang aku cintai. Matanya, bibirnya, cara ia berbicara, dan… tanda hitam di mata kakinya itu juga milik Diah.
“Om mencari siapa?” sapaan lembut gadis itu membuyarkan lamunanku tentang Diah. Aku kikuk. Kata-kata di bibirku hilang begitu saja.
Gadis kecil itu masih saja mengamat-amatiku. Hatiku mulai ragu kalau rumah ini bukan lagi milik Diah.
Sejenak kurendahkan tubuhku, seraya merangkul pergelangan tangan gadis kecil itu.
“Kalau Om boleh tahu, apa benar ini rumah Mbak Diah, Dik?” tanyaku mencari kepastian di antara binar indah matanya. Gadis kecil itu segera membalikkan tubuhnya, kemudian berlari kecil ke dalam rumah itu.
Lamunanku terkenang kembali, tatkala kami berkejar-kejaran di pantai dan mencari kerang-kerangan. Saat itu, sepatu Diah terbawa oleh air laut. Lalu dipermainkan ombak ke sana-ke mari. Dan akhirnya hilang di dasar laut. Ia menangis, sebab sepatu itu adalah hadiah dariku saat ia berulang tahun. Ah, sangat indah nian kenangan itu.
“Ma, Om ini mencari Mama.” Tanpa aku sadari, gadis kecil itu telah berdiri kembali di hadapanku. Kali ini bersama….
“Han, kau telah kembali…?”
Bibir wanita yang dipanggil mama oleh gadis kecil itu bergetar hebat. Tiba-tiba saja ia menangis, sembari mendekap tubuh bocah kecil di sampingnya. Sementara aku tak dapat berkata-kata. Kuusahakan sekuat tenaga untuk mengukir senyum di bibirku, walau hatiku berontak. Dadaku bergemuruh hebat, memendam rindu bertahun lamanya.
Diah, gadis yang aku cintai itu, kini bukan lagi milikku. Cinta kami tak lagi abadi. Kesetianku bertahun-tahun lamanya ternyata sia-sia. Dan kini cintanya dengan laki-laki lain telah berbuah, bocah kecil di sampingnya itu…
Tak lagi aku tatap mata teduh gadis yang pernah aku cintai itu. Mataku terasa berkunang-kunang. Dan langkahku gontai.
Kutinggalkan sosok dua insan yang saling mengasihi itu. Tak lagi aku menoleh ke belakang. Kuturuti langkah kakiku yang tak tahu ke mana harus kutuju. Yang jelas, ia terus melangkah meniti sinar matahari yang perlahan redup. Kemudian hilang bersama kabut tipis yang turun merayapi bukit-bukit di pulau Sabang ini. Sayup-sayup, dari belakang sana, kudengar suara, “Ma, mengapa mama menangis…”
Oh, Tuhan! Kuresapi kata-kata itu, lembut. Ya, suara gadis kecil yang tak paham tentang cinta kami berdua.
Kupejamkan mata, menghilangkan segala kenangan indah yang pernah hadir dalam mimpi-mimpi purbaku. Lalu, akupun bergumam, “Semoga engkau bahagia, Diah…”
Dan, kembali sabang aku tinggalkan.[]
Banda Aceh, Medio Mei 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar