Senin, 04 Januari 2010

Ketika Wajahnya Menghias Malam


Oleh: Muhammad Subhan

OMBAK berdebur. Menjilati bibir pantai berpasir putih. Angin laut mendendangkan syair alam yang terdengar syahdu. Camar mengepakkan sayapnya, menukik menangkap ikan-ikan kecil di atas permukaan laut. Nun, jauh di tengah samudra, tongkang-tongkang bermuatan kayu arang tampak timbul tenggelam. Dari cerobongnya mengeluarkan asap hitam yang mengepul ke udara.

Senja telah turun. Matahari yang seharian lelah menerpa bumi, hampir terbenam di balik kaki langit. Laut menelan matahari. Yang tersisa hanya sinarnya berwarna merah darah yang terpancar ke seluruh jagat raya. Di atas horison sana, sepasang burung elang terbang melayang mengikuti arah mata angin. Ke utara.

Senja itu kuresapi dalam-dalam. Ada sepenggal kerinduan tertinggal di sini. Di pantai ini. Sebelum perpisahan memupus semuanya.

“Kau akan pergi juga, Vi?” tanyaku pada gadis itu.

“Ya.”

“Secepat itukah?” tanyaku lagi.

Dia diam. Sejenak ia memandang ke arahku. Matanya tampak berkaca-kaca. Di wajahnya yang teduh itu, kulihat ada beban derita yang berat sedang ia pikul. Bibirnya bergetar.

Titik air yang berkumpul di kelopak matanya yang bening itu, akhirnya jatuh. Membasahi pipinya, membentuk aliran kecil yang menganak sungai. Dia menangis.

Ada perasaan bersalah ketika aku melihatnya menangis. Secepat itu kuusap bening air mata yang membasahi pipinya. Sementara, nun, di pondok bambu, angin membawa alunan suara gitar yang dipetik teman-teman kuliahku. Mereka menyanyikan tembang-tembang cinta yang terdengar sendu.

“Vi, maafkan. Aku tak bermaksud membuat kau berduka,” kataku merasa bersalah.

“Tidak, Jim. Semuanya salahku,” akhirnya gadis itu berkata.

Tiba-tiba gadis itu berdiri, kemudian berjalan ke arah laut. Aku pun bangkit dari duduk, mengikutinya. Ia baru menghentikan langkah ketika ombak laut menjilati kakinya yang berdebu. Kaki kami sama-sama dijilati ombak.

Lama ia berdiri mematung. Menentang laut. Angin laut yang kurang bersahabat menampar-nampar wajahnya yang sendu. Jilbabnya yang berwarna merah kehitam-hitaman, dipermainkan angin. Tapi ia diam saja.

“Aku benci dengan keputusan kakakku!” katanya lagi.

“Tak baik kau berkata begitu, Vi,” ujarku menenangkannya.

“Aku tak sudi dinikahkan dengan orang yang tak kucintai!”

Tangisnya kembali meledak. Kedua tangannya ia katupkan ke wajahnya. Dadanya bergemuruh. Tubuhnya yang mungil berguncang-guncang menahan sesegukan.

***

PAGI itu kuantar ia ke terminal. Akhirnya ia pergi juga. Ke Jakarta. Menemui kakaknya yang telah mengekang masa depannya. Kuliahnya yang tinggal satu semester, terpaksa ia tunda. Semuanya, semata-mata menuruti kehendak kakaknya.

Sebelumnya, aku sempat berbincang-bincang dengan kakak perempuan yang menemaninya ke Jakarta. Pada kakaknya, aku minta maaf telah mengganggu perasaan gadis itu, dan mengharap Vi tidak menghentikan kuliahnya. Sebab, bagiku, Vi adalah gadis yang cerdas. Sayang masa depannya harus ia korbankan hanya karena kesalahpahaman ini.

Kakaknya di Jakarta tak merestui hubungan kami. Vi harus menikah dengan orang sekampungnya. Dan, itu yang tidak Vi suka. Gadis itu dan aku telah menjalin hubungan kasih setahun yang lalu. Orangtuanya di kampung merestui. Kecuali kakaknya di Jakarta yang memang tidak kukenal.

“Jim, aku pergi. Aku segera menyelesaikan masalah ini. Dan berjanjilah, nantikan aku di kota ini,” kata gadis itu menjelang keberangkatannya.

Kata-kata itu ia ucapkan bersama air mata yang membasahi pipinya. Aku hanya diam. Ia menjabat erat tanganku dan menghunjamkan pandangan tajam ke wajahku. Ada suatu pengharapan di wajahnya yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata.

Aku melepas kepergiannya dengan doa. Semoga kepergiannya untuk kembali kepadaku. Walau harapan itu semu, tapi Tuhanlah pemutus segalanya.

***

SEMINGGU setelah kepergiannya.

Malam itu ia kirimkan kabar lewat telepon. Interlokal. Katanya, ia dalam keadaan sehat, tapi sayang, ia tak bisa segera kembali ke kota ini. Kehendak kakaknya di Jakarta begitu keras, katanya. Namun sebelumnya, ia berjanji akan mengirimkan surat.

“Maafkan aku, Jim. Kau harus bersabar menanti kepulanganku. Dalam waktu dekat, aku akan kirim surat,” katanya di seberang sana.

Aku hanya diam. Mengiyakan, berharap janjinya berkirim surat buatku benar. Tapi, dua minggu sejak ia menelepon, tak sehelai surat pun yang kuterima. Sejak itu pula, aku tak tahu bagaimana kabarnya kini.

***

SEBULAN sepeninggal gadis itu.

“Jim, Vi akan menikah. Semalam ia menelepon ke rumah. Menitipkan salam buatmu dan meminta maaf karena telah menyakiti hatimu. Ia terpaksa menuruti kehendak kakaknya yang keras kepala. Itu ia lakukan demi orang tua dan adik-adiknya di kampung yang masih mengharapkan kiriman biaya dari kakaknya.”

Kabar bagai suara petir yang menyambar itu kudengar dari Lusi, sahabat gadis itu. Gadis berjilbab itu menyampaikannya ketika aku baru selesai mengetik cerpen terakhir tentang Vi. Aku seolah tak percaya dengan apa yang baru kudengar. Lama aku terpekur di depan layar komputer yang menyala. Tuts keybord di atas meja tak kuasa kutekan. Tanganku terasa kaku, sekaku hatiku yang pilu.

Kutarik nafas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri dan bersabar. Aku yakin, ini adalah bagian dari ujian Tuhan yang menimpa hidupku. Mungkin Tuhan tidak berkenan menjodohkan aku dengan gadis itu. Dan, keputusan Tuhan selalu kusyukuri.

***

PELAUT tangguh adalah yang mampu menundukkan gelombang. Sebesar apapun badai yang menerpa biduknya, ia tetap tegar bersama layarnya, walaupun telah terkoyak-koyak.

Syair itu kudengar di antara riak gelombang laut. Di pantai ini. Ketika senja telah turun. Entah siapa yang mendendangkannya. Syair itu terdengar syahdu. Membawa birahi alam yang membuncah di hatiku.

Di senja ini, kuturutkan langkah kaki yang membawa tubuhku menyisiri pantai. Membiarkan ombak yang melenguh menjilati kakiku yang kotor berdebu. Dalam perjalanan itu, memoriku terkenang jauh ke masa silam. Ketika hari-hari bersama gadis itu begitu indah terasa.

“Hai, Jim…. Ayo, kejar aku!” teriak gadis itu berlari di antara batang nyiur yang menjulang di pantai ini.

“Vi…, kau jahat!. Tadi tanganmu sudah kutangkap!” teriakku sembari mengejar gadis itu.

“Belum!”

“Sudah!”

“Belum!”

“Kau curang!”

Azan Magrib yang berkumandang dari perkampungan penduduk, membuyarkan kenanganku tentang gadis itu. Malam telah turun. Angin laut yang menampar-nampar rambutku terasa dingin. Sedingin hatiku yang beku.

Sementara, nun, di tengah samudra, wajah gadis itu menghias malam. Malam yang meninggalkan duka setelah perpisahan memupus segalanya. []

Padang-Jakarta, Akhir Mai 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar