Oleh: Muhammad Subhan
AGAM menatap tubuh ayahnya yang terbujur kaku pada dipan kayu di sudut ruang tengah rumahnya. Inong adiknya, menangis tersedu sembari memeluk erat tubuh orang tua yang tak lagi bernyawa itu. Begitu pula dengan emaknya, Cut Hasanah, tak mampu membendung air mata yang membasahi pipinya yang mulai tampak berkerut. Di hari-hari menjelang usia senjanya itu, Cut Hasanah harus menanggung beban derita yang begitu berat bagi keluarganya.
Tengku Daud, suami Cut Hasanah, ayah Agam dan Inong, ditemukan tewas menggenaskan di tepi sungai. Tadi pagi, ketika orang-orang kampung hampir putus asa mencari Tengku Daud yang menghilang dua hari lalu. Di jasad tuanya yang hampir berumur lima puluh tahun itu, ditemukan dua liang bekas peluru. Tubuhnya membiru, dan pada lehernya tampak goresan hitam bekas lilitan tali kawat.
Tidak seperti ibu dan adiknya, Agam tak sedikitpun meneteskan air mata. Ia coba tegar menghadapi kenyataan itu. Seminggu lalu, ayah Ahmad, kawan sekolah Agam di SMP juga mengalami nasib serupa. Mati dengan luka tembak yang menganga. Bahkan lebih sadis, leher ayah Ahmad digorok dengan senjata tajam. Hampir putus.
Agam tetap berdiri mematung di sisi tubuh ibu dan adiknya. Mulutnya komat-kamit. Sekali-sekali terdengar gigi gerahamnya gemeretuk. Geram. Dan kedua jemari tangannya ia kepalkan erat-erat.
“Pue nyang nak geutenyoe peubuet jinoe, Gam….1)” Isak ibunya yang belum juga berhenti menangis. Agam tak menjawab. Ia tetap diam membisu. Sementara orang-orang kampung terus berdatangan. Ruangan rumahnya yang kecil semakin ramai oleh orang-orang kampung yang merasa iba melihat derita yang menimpa keluarganya.
Orang-orang kampung yang datang itu tak sekedar melayat saja. Diantara mereka ada yang membawa beras, uang, dan kue-kue untuk membantu keluarga Agam. Ada juga yang membaca Surat Yasin, tahlil dan rateb 2) untuk arwah almarhum Tengku Daud. Sementara yang lain ada yang menyiapkan kafan, tempat pemandian, juga peti mati tempat jenazah Tengku Daud akan disemayamkan.
“Mak, kenapa ayah dibunuh?” Inong, adik perempuan Agam, semakin tak tahan menanggung beban batinnya. Hampir ia jatuh pinsan, kalau saja seorang tetangganya tidak menyambut tubuh kecilnya yang kurus. Inong dijauhkan dari jasad ayahnya. Begitu juga Cut Hasanah, wanita itu dibimbing beberapa orang tua-tua, dan dihibur-hibur hatinya.
Agam tetap diam dengan pikirannya yang mulai berontak. Kalau saja ia tidak ingat pesan ayahnya ketika masih hidup, mungkin Agam akan berteriak histeris. Tapi itu tak mungkin Agam lakukan. Karena nasehat-nasehat ayahnya yang alim itu selalu ia junjung tinggi-tinggi.
“Agam, anak-anak Aceh itu pemberani. Dulu, ketika kaphe 3) Belanda hendak menjajah Aceh, banyak anak-anak Aceh yang jadi mata-mata untuk kepentingan pejuang,” cerita ayahnya suatu hari.
“Mata-mata, ayah?” tanya Agam mengulang.
“Ya.”
“Apa itu mata-mata, ayah?” tanya Agam lagi.
Ayahnya tersenyum mendengar pertanyaan Agam yang lugu itu.
“Mata-mata itu orang yang mengamati gerak-gerik musuh. Itu yang dilakukan anak-anak Aceh di zaman Belanda dulu. Mereka masuk kampung, kemudian pura-pura berniaga pada tentara-tentara Belanda, tetapi sebenarnya mereka memata-matai kelemahan musuh,” jawab Tengku Daud.
Agam mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Jawaban ayahnya sangat memuaskan hatinya.
Tengku Daud, ayah Agam, adalah seorang guru mengaji di meunasah 4) kampung. Ia seorang alim, taat beribadah dan begitu baik budi pekertinya. Orang-orang kampung sangat hormat dan segan pada Tengku Daud. Pada Tengku Daud lah orang-orang kampung bertanya tentang masalah-masalah agama. Sebagai santri lulusan sebuah dayah5) di Samalanga, Tengku Daud merasa bahagia bisa membagi-bagi ilmunya pada orang lain.
Sejak DOM diberlakukan di Aceh, kampung Agam tak pernah aman. Selalu saja ada berita kematian. Apalagi sejak tentara-tentara berbaju loreng membuat pos-pos keamanan di perbatasan kampung, penduduk semakin takut saja keluar rumah. Banyak sawah ladang terbengkalai tak diurus. Anak-anak tak bersekolah, karena gedung sekolah mereka di bakar orang-orang tak dikenal. Jam malam diberlakukan. Lewat pukul 22.00 WIB penduduk tidak diperbolehkan keluar rumah. Kalau kedapatan di luar rumah, keselamatan mereka terancam dan tak dijamin tentara-tentara berbaju loreng itu.
Begitulah keadaan yang selalu terjadi di kampung Agam. Orang-orang kampung tak bisa berbuat banyak. Mereka memilih pasrah pada Tuhan, semoga konflik yang terjadi di kampung mereka segera berakhir.
Jenazah Tengku Daud telah selesai diselenggarakan. Orang-orang kampung akan membawa jenazah Tengku Daud ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Tandu telah disiapkan. Pemuda-pemuda kampung bertubuh kekar telah siap pula mengangkat peti mati jenazah Tengku Daud.
Dan berjalanlah keranda diiringi doa-doa. Tengku Daud adalah korban kesekian kali setelah korban-korban sebelumnya berjatuhan. Esok, lusa, entah siapa lagi yang mati. Yang jelas, kematian adalah sebuah kelumrahan yang terjadi di kampung ini. Orang-orang kampung pun telah terbiasa dengan kematian-kematian itu.
Agam ikut membantu menurunkan jenazah ayahnya ke liang lahat. Saat itulah Agam tak mampu membendung air matanya. Agam menangis. Barulah Agam merasakan detik-detik perpisahan dengan ayah yang sangat dicintainya itu.
Sampai liang kubur ayahnya ditimbuni tanah, Agam belum juga berhenti menangis. Matanya merah dan sembab. Ibunya, Cut Hasanah, merasakan kesedihan batin Agam. Dirangkulnya tubuh kecil Agam, anak lelaki satu-satunya yang ia miliki.
Sampai orang-orang kampung satu persatu meninggalkan taman pekuburan itu, tiga anak beranak itu belum juga beranjak dari duduknya. Agam berdiri mematung di sisi nisan kayu pusara ayahnya. Sementara ibunya, Cut Hasanah, dan adiknya Inong, terus membacakan ayat-ayat suci Al-Quran, bersama isak tangis yang masih tertahan.
Senja telah turun. Matahari sore tak lagi menampakkan rupa. Yang tersisa hanya sinar kekuningan yang terpancar disela-sela pucuk daun Kamboja. Menebar keseluruh alam.
Setangkai kembang Kamboja jatuh tepat menimpa nisan kayu pusara Tengku Daud. Agam tersentak dari kebisuan dan kelarutannya pada jasad yang telah kembali pada alam. Agam sadar, setiap yang bernyawa pasti akan kembali pada asal mula kejadiannya; tanah. Dan itu yang dulu pernah diajarkan almarhum ayahnya, Tengku Daud.
“Ayah, kenapa Allah menciptakan manusia?” Agam bertanya pada ayahnya ketika usianya baru menanjak lima tahun. Ketika itu, ayah Agam tersenyum mendengar pertanyaan agam yang kritis.
“Supaya manusia mau menyembah Allah yang menciptakannya.”
“Kalau sudah disembah, apa yang akan diberi Allah pada manusia?” tanya Agam lagi.
“Surga dan kenikmatan-kenikmatan di dalamnya?” jawab Tengku Daud.
“Surga itu indah ya, Ayah?”
“Ya. Seindah kehidupan orang-orang yang merindukan masuk ke dalamnya.”
“Ayah, Agam mau masuk surga bersama ayah, boleh tidak?”
Ketika itu Tengku Daud tak menjawab. Didekapnya tubuh mungil Agam, anak lelaki yang dicintainya itu. Agam pun membalas dekapan ayahnya dengan memeluk erat leher ayahnya. Kebahagiaan yang tak mungkin terulang, batin Agam.
“Gam, huro ka seupoet. Yak, tajak woe…,6)” sentuhan lembut jemari Cut Hasanah, Ibu Agam, di pundak lelaki remaja itu menyadarkan Agam dari lamunannya. Wajah teduh Tengku Daud, ayahnya yang membayang di pelupuk matanya beberapa saat lalu perlahan buyar. Dipandanginya alam disekitar taman pekuburan tempat pusara ayahnya bersemayam. Benarlah, hari mulai gelap. Walau merasa berat, Agam coba bangkit dari kenangan masa-masa kecilnya bersama ayah yang dicintainya.
Cut Hasanah membimbing kedua anaknya kembali pulang. Sekali-sekali ditolehnya pandangan kebelakang, menatap pusara suaminya yang basah disiram rinai yang turun. Ada kerinduan di mata perempuan separuh baya itu ketika suaminya, lelaki yang selama ini menemani hari-harinya, telah kembali kepangkuan Tuhan.
Di batin perempuan paruh baya itu, semoga Tuhan mempertemukan mereka kembali di suatu alam dimana kematian tak lagi memisahkan cintanya dan cinta anak-anak mereka.
Di atas dahan pohon Kamboja, seekor gagak hitam mengaminkan doa perempuan paruh baya yang merangkul erat tubuh kedua anaknya.
Padang, Maret 2000-Agustus 2003
(Ketika kerinduan pada pusara ayah di bumi Aceh yang belum sempat diziarahi, Allahummaghfirlahu….…)
Catatan:
1. Apa yang akan kita perbuat sekarang, Gam.
2. Zikir
3. Kafir
4. Mushalla/surau
5. Pesantren
6. Gam, hari sudah malam, mari kita pulang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar