
Oleh: Muhammad Subhan
JIKA tak ada aral melintang, Komite Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada 24 Januari 2009 mendatang melakukan pertemuan tahunan (muzakarah) di Padang Panjang. Pembukaan acara akan digelar di gedung Diniyyah Putri yang dihadiri Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Menurut rencana, sebanyak 400 ulama dari seluruh Indonesia dan 200 ulama se Sumatera Barat akan menghadiri pertemuan penting itu. Soal pernikahan dini, rokok, golput dan yoga akan menjadi salah satu bahasan paling urgen, di samping beberapa persoalan lainnya.
Dijadikannya Padang Panjang sebagai pusat pertemuan ulama se Indonesia itu, tentu saja membuat Provinsi Sumatera Barat bangga. Itu juga tidak lepas dari label yang dilekatkan kepada Padang Panjang sebagai Kota Serambi Mekkah. Namun yang paling mendasar adalah, komitmen Pemko Padang Panjang membuat Perda Kawasan Tertib Rokok dan Kawasan Bebas Rokok, sehingga pantas disebut Padang Panjang sebagai satu-satunya kota di Sumbar yang memiliki Perda Rokok.
Pertemuan para ulama itu tentu saja akan mengeluarkan keputusan hasil ijtima’ dari Komisi Fatwa MUI yang selanjutnya akan dijadikan fatwa. Selama ini, soal pernikahan di usia dini, yoga, golput, dan soal halal haramnya rokok terus mengemuka dan menjadi polemik yang tak berkesudahan karena tidak memiliki hukum yang tetap dan tegas.
Fatwa MUI itu sangat penting karena akan menjawab pertanyaan masyarakat, apakah hukumnya, halal atau haram, melakukan pernikahan dini, mengikuti yoga, memperdagangkan rokok dan menghisapnya serta golput? Masyarakat awam tentu saja menunggu-nunggu fatwa itu.
Menurut hemat saya, memang, tidak semua orang bisa mengatakan bahwa sesuatu itu dilarang atau haram, diperbolehkan atau halal, melainkan harus memiliki ilmu atau metodologinya yang disebut ilmu ushul fiqih yang akan melahirkan hukum. Tentu saja landasan keputusan itu bersumber pada Alquran dan Sunnah Rasul. Ulama-ulama yang hadir dalam pertemuan MUI di Padang Panjang itu, tentu saja bukan sembarang ulama, namun ulama yang benar-benar memiliki kapasitas, ilmu dan mampu menganalisis Alquran dan Hadis Nabi.
Hasil ijtima’ MUI yang akan menjadi fatwa itu, setidaknya akan membuka alaf baru terhadap persoalan-persoalan tersebut yang selama ini hukumnya masih samar-samar (subhat). Diharapkan fatwa MUI itu nantinya benar-benar dijalankan pemerintah, dan tidak setali tiga uang. Kasus Ahmadiyah dan Jaringan Islam Liberal yang telah difatwakan haram/sesat oleh MUI, nyatanya pemerintah tidak tegas menjalankan fatwa itu. Pemerintah terkesan tidak berani melarang Ahmadiyah dan JIL. Buktinya, di berbagai daerah, Ahmadiyah dan JIL tetap menjalankan aktifitasnya.
MUI sebagai lembaga ulama telah menjalankan perannya, menetapkan fatwa. Yang menjalankan fatwa itu, tentu saja pemerintah bersama aparatnya. Yang difatwa haram atau dilarang oleh MUI, pemerintah harus segera bertindak tegas di lapangan, jangan pula main kucing-kucingan karena adanya kepentingan politis. Jika peran itu bisa dijalankan pemerintah, maka akan amanlah negeri. Umat pun akan bangga memiliki pemimpin (umara) yang ulama (alim), dan ulama yang umara. Wallahua’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar