Minggu, 03 Januari 2010

Pemimpin Pro Rakyat


Oleh : Muhammad Subhan

SEWAJARNYA seorang pemimpin pro pada kepentingan rakyat. Tidak pada partai, kelompok bahkan individu. Sewajarnya pula, setelah memimpin, pemimpin harus melepaskan baju kepartaian dan menjadi milik rakyat seutuhnya. Tugas partai, seyogyanya mengantarkan calon pemimpin menjadi pemimpin. Intervensi partai pada calon yang dihantarkan menjadi pemimpin itu, hendaknya tak mutlak sehingga tidak ibarat ‘layang-layang'. Layang lepas bebas di angkasa, tapi buntalan benang dipegang, bahkan bisa pula ditarik ulur. Meski demikian, tak sewajarnya pula pemimpin melupakan partai yang telah menghantarkannya menjadi pemimpin. Agar jangan datang pula istilah ‘kacang lupa pada kulitnya'. Tanggung jawab partai pada pemimpin, sesungguhnya sebatas pengawasan kinerja. Benar harus didukung, salah jangan pula dicela, tapi diingatkan agar pemimpin tetap berjalan di ‘rel' kepemimpinannya.

Di Indonesia, kenyataan berkata bahwa pemimpin yang dihantarkan partai pada kursi kekuasaan, jarang pula menjadi milik rakyat seutuhnya. Sukses menjadi pemimpin, bersoraklah partai bahwa partai telah memiliki ‘tangan panjang' untuk memiliki segala-galanya dalam ‘lingkaran setan' kekuasaan.

Jumat 19 Januari 2007, di Kota Bukittinggi, adalah hari bersejarah bagi Ismet Amzis. Pasalnya, orang nomor dua di lingkungan pemerintahan kota wisata ini, dipercaya menjadi Ketua DPC Partai Demokrat Kota Bukittinggi. Ismet dipilih secara aklamasi dalam Muscab I Partai Demokrat Bukittinggi. Dari lima suara, kelima-limanya mencalonkan Ismet yang saat ini masih berstatus pegawai negeri sipil (PNS).

Sebuah amanah memang berat. Konsekuensinya ada yang berkorban dan ada pula yang dikorbankan. Dan, kepada pers, Ismet Amzis berkata, dia siap mengorbankan status PNS-nya untuk menjadi ketua partai. Salut, dan luar biasa! Maka, lengkaplah kepemilikan jabatan partai bagi pasangan Walikota dan Wakil Walikota Bukittinggi. Walikota Djufri, saat ini ‘mengemudi' DPD Partai Demokrat Sumbar, meski konon kabarnya ketika Pilkada partai lain pula yang mengusungnya. Dan, sekarang, pendampingnya Wakil Walikota Ismet Amzis meneruskan jejaknya, menjadi Ketua DPC Partai Demokrat Bukittinggi. Lalu, jadilah mereka pasangan ‘sejoli'.

Tak ada aturan yang melarang orang berpartai, tak terkecuali bagi walikota dan wakilnya. Namun, aturan-aturan moral seyogyanya tetap menjadi landasan hukum yang tak tersurat. Hanya nurani yang selalu membimbing agar pemimpin berjalan di jalur yang benar.

Partai Demokrat sewajarnya bangga dengan ketokohan Djufri dan Ismet Amzis yang menjadi pemimpin partai mereka. Namun persoalannya, banggakah masyarakat Bukittinggi ketika walikota dan wakilnya memimpin partai? Saya harap; semoga saja! Sebab sewajarnya rakyat mencintai pemimpinnya.

Namun harapan masyarakat kota ini pula, setelah jabatan kepartaian itu, berbagai persoalan di kota ini hendaklah tetap menjadi prioritas. Ya, banyak persoalan yang masih butuh penyelesaian; soal pengangguran, kemiskinan, peningkatan mutu pendidikan, hingga soal pemerataan pembangunan di berbagai sektor unggulan di kota yang menyimpan sejuta sejarah perjuangan bangsa ini. Semua persoalan itu memang tantangan bagi Djufri dan Ismet Amzis.

Namun, sesungguhnya, secara tersirat, persoalan-persoalan itu sebenarnya juga sebuah peluang. Ya, peluang untuk seutuhnya menjadi pemimpin yang pro rakyat. Dan, itu tidak mustahil. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar