
Oleh: Muhammad Subhan
Sore, ba’da Ashar. Istri meminta saya mengantarnya ke pasar. Berbelanja. Rabu (30/9/2009), hari itu, saya baru pulang dari Rumah Puisi Taufiq Ismail. Rencana saya ingin tiduran sejenak, melepas lelah. Tapi istri kondisinya terlihat kurang sehat. Saya pun meraih kunci motor. Mengantarnya ke pasar yang tidak jauh jarak dari rumah kami.
Biasanya, jika saya pergi bekerja, istri selalu berbelanja sendirian. Jarang minta diantar jika keadaan tidak mendesak. Hari itu, ketika istri saya masuk pasar, saya tidak balik ke rumah. Menunggunya sambil jalan-jalan mengelilingi kota kecil Padang Panjang, melihat-lihat suasana sore itu. Seperti hari-hari kemarin, Padang Panjang selalu indah.
Pasar sangat ramai dengan aktivitas perdagangan. Suasana benar-benar hidup. Karena bingung tidak tahu harus ke mana, pulang ke rumah pun tidak, saya memutuskan berhenti sejenak di pinggiran jalan, di bawah sebatang pohon rindang, tidak jauh dari pasar. Ketika itu saya teringat sebuah pesan di handphone yang belum saya balas. Dari sahabat saya, Awaluddin Kahar di Padang. Dia menawarkan saya untuk ikut membantunya memenej sebuah koran yang baru ia terbitkan di Pulau Simeulue, Aceh. Koran Pemda Simeulue. Dia menjabat sebagai pimpinan redaksi. Karena bingung untuk memutuskan, sms itu tidak saya balas sebelumnya. Masih saya diskusikan dengan istri dan keluarga di rumah.
Saat di jalan itu, timbul pemikiran saya untuk membalas sms Bang Awkar, demikian dia akrab disapa. Entah mengapa keputusan saya berat untuk tidak ikut berangkat ke Pulau Simeulue. Sebelumnya saya memang belum pernah ke sana. Ada keinginan ikut. Tapi istri agak berat pula melepas. Di samping tugas saya di Padang Panjang juga terbilang padat. Tugas-tugas di Rumah Puisi Taufiq Ismail yang masih menumpuk, tugas liputan, juga ada sebuah buku yang saya tulis bersama dua orang teman yang belum naik cetak, masih dalam tahap editing. Akhirnya saya kuatkan keputusan tidak berangkat. Saya kirimlah balasan sms itu. Terkirim.
Harapan saya, Bang Awkar segera membalasnya. Memaklumi kondisi saya. Tapi balasan itu tidak pernah ada. Sampai sekarang. Saya tidak tahu, apakah ia marah atau kecewa dengan keputusan saya. Karena ia sangat berharap. Semoga saja tidak. (Sampai tulisan ini saya ketik, saya tidak tahu bagaimana kabarnya di Padang. Nomor hp-nya tidak pula bisa dihubungi).
Usai mengirim sms balasan itu, saya kembali ke tempat di mana istri saya turunkan di pasar. Sesaat kemudian sms istri masuk, bahwa ia sudah selesai belanja. Dia menuju sebuah kedai minyak tanah, karena jerigen dititipkan di sana. Ketika ia datang ke kedai itu, tampak minyak belum diisi juga. Masih kosong. Ia pun meminta pemilik kedai agar mengisinya 5 liter. Saya menunggu di depan kedai, sementara motor masih dalam keadaan hidup. Pemilik kedai saya lihat keluar menuju drum minyak.
Ketika minyak akan diambil, tiba-tiba terjadi getaran di tanah tempat saya parkirkan motor. Awalnya terasa lambat. Saya yang duduk di atas motor ikut terguncang dan menyadari bahwa itu gempa. Lalu guncangan semakin cepat dan kuat. Saya berteriak kepada istri, gempa! Kebetulan kondisi sepeda motor ketika itu masih hidup, langsung saya larikan ke tepi jalan menjauh dari bangunan. Di sekitarnya berdiri ruko-ruko bertingkat dua.
Istri yang juga menyadari gempa, meninggalkan belanjaannya lalu berlari mengikuti saya. Saya pegang istri. Dia juga erat memegang lengan saya. Wajahnya pucat pasi. Orang-orang di sekitar pasar berhamburan. Suara gemuruh terdengar dari bangunan-bangunan pasar yang dihoyak gempa. Terdengar pula pekik takbir. Wajah-wajah pucat pasi. Gempa begitu kuat. Beberapa kendaraan roda empat di jalanan nyaris tabrakan. Sepeda motor yang parkir berjatuhan. Sempat saya menduga, kalau-kalau Gunung Merapi yang tampak dari Padang Panjang akan meletus.
Dalam kondisi itu, saya teringat ibu di rumah. Ibu saya yang sedang sakit tidak akan kuat berjalan. Di samping itu, akibat gempa-gempa sebelumnya yang berkali-kali sudah terjadi, meski tidak sekuat di hari itu, telah merusak rumah saya. Seluruh dinding retak-retak. Dinding ruang tengah saja nyaris hancur dan kondisinya telah cembung ke dalam. Andai terjadi gempa lagi dengan intensitas kekuatan yang sama, rumah itu pasti roboh. Semoga saja tidak.
Ketika ingat ibu sendirian di rumah, saya tinggalkan istri di tempat yang aman dari bangunan. Dia juga menyuruh saya segera melihat ibu. Lalu saya meluncur ke rumah. Di sepanjang jalan banyak orang berdiri dan berjongkok dengan wajah-wajah kepanikan, menjauh dari bangunan-bangunan. Alhamdulillah, ketika sampai di rumah, saya melihat ibu sudah berada di luar rumah bersama tetangga lainnya. Di wajah ibu juga menyemburat rona kepanikan yang sangat.
Setelah memastikan ibu aman, saya jemput istri di pasar. Di jalanan masih ramai. Sebuah masjid, tidak jauh dari rumah saya, menaranya retak-retak. Empat ruko berlantai empat, kaca-kaca dindingnya pecah berserakan. Empat lantai bagian paling atas tiang-tiangnya tampak miring ke kiri, nyaris rubuh dan jatuh. Dinding sebuah rumah warga di tepi jalan raya juga tampak jebol.
Saya jemput istri, mengambil belanjaan yang tertinggal, lalu mengamankan ibu, istri dan seorang adik perempuan di rumah ketua RT, tetangga di samping rumah. Kebetulan, rumah RT tersebut terlihat aman, tidak bertingkat dan bangunannya pun kokoh. Usai mengamankan mereka bertiga, saya raih kamera, menyisiri Padang Panjang, melihat kondisi yang terjadi. Jalan-jalan tampak sepi. Rumah-rumah dan pertokoan di pinggiran jalan terlihat retak tidak terlalu parah. Sempat pula saya balik ke rumah Puisi Taufiq Ismail di Aie Angek (6 km arah Padang Panjang). Rumah megah itu aman, hanya sebuah kaca depannya saja yang retak.
Saya kembali ke rumah ketika adzan magrib usai berkumandang. Padang Panjang gelap gulita. Listrik mati. Hujan gerimis turun, sempat lebat beberapa saat. Istri teringat pada ibu dan kakaknya yang tinggal di Padang. Seorang adik saya juga tinggal di Padang. Sudah ditelepon berkali-kali tapi tidak ada sambungan. Jaringan hp sibuk. Namun anehnya kondisi sinyal penuh. Saya pun sempat menelpon berkali-kali namun tak juga masuk-masuk.
Untung saja, malam itu, sekitar pukul 21.00, listrik kembali hidup. Sesaat mati lagi. Lalu hidup lagi. Saya lihat kondisi rumah. Tiang-tiang menyangganya masih baik, namun nyaris seluruh dinding retak, terutama di kamar ibu di dekat ruang dapur. Ibu saya was-was melihat kondisi dinding seperti itu. Saya yakinkan bahwa bukan kita saja yang mengalaminya, namun banyak orang lain yang rumahnya lebih parah. Malam itu kami tetap tidur di rumah, namun membawa kasur di dekat pintu keluar, jaga-jaga kalau terjadi gempa susulan. Alhamdulillah, hingga pagi tidak terjadi gempa kuat, hanya gempa kecil saja, yang terasa sekitar dua kali, namun sempat juga mengagetnya.
Paginya, saya bilang kepada istri bahwa saya akan ke Padang, melihat keluarga istri dan adik saya. Istri melarang karena belum tahu bagaimana kondisi Padang. Di pagi itu pula, melalui siaran televisi terlihat kabar kondisi Padang dan Padang Pariaman yang rusak parah pascagempa. Ratusan orang tewas terperangkap reruntuhan gedung-gedung besar, ribuan korban luka-luka, dan ratusan lainnya hilang.
Dari seorang polisi saya dapat informasi bahwa jalan di sepanjang perbukitan Silaing Padang Panjang hingga Lembah Anai putus total. Longsoran terjadi di 20 titik. Tiga titik terparah lokasinya. Dua buah batu sebesar truk tronton melintang di jalan, jatuh dari puncak bukit yang tinggi. Terdengar kabar pula, seorang pengendara sepeda motor tewas terseret longsor di lokasi itu. Sebuah mobil Avanza juga dihantam longsor dan nyaris jatuh ke dalam sungai berbatu yang cukup dalam di tepi jalan perbukitan itu. Sopirnya selamat dan dilarikan warga ke rumah sakit Padang Panjang.
Kamis, 1 Oktober 2009, kembali saya berniat menerobos kawasan yang terjadi longsor itu. Namun tidak juga bisa karena kondisinya masih sangat rawan. Sepeda motor yang saya bawa harus kembali balik kanan. Suasana di Padang Panjang sendiri sepi. Ratusan truk berukuran besar parkir di pinggiran jalan sejak hari pertama gempa. Kendaraan dari arah Bukittinggi yang akan menuju Padang dialihkan ke jalan melewati Solok. Ratusan petugas kepolisian dan TNI sibuk berjaga-jaga dan mengamankan arus lalu lintas. Dua SPBU di Padang Panjang diserbu ribuan kendaraan, dan dalam sekejab BBM habis. Beberapa penjual BBM eceran mematok harga Rp 10.000 – Rp 15.000 per liter.
Jalur longsor baru berhasil saya tembus pada Jumat (2/10/2009) siang bersama istri yang meminta ikut karena ingin memastikan kondisi ibu dan kakaknya di Padang. Sepanjang jalur longsoran itu, ribuan kendaraan merangkak bak jalan bekicot. Yang membawa sepeda motor masih beruntung dapat menyelip di antara kendaraan lainnya, namun malang bagi pengendara roda empat, jalan yang macet menyebabkan kendaraan-kendaraan itu diam tak bergerak selama berjam-jam. Kondisi itu terjadi lantaran sempitnya jalan, kendaraan yang berebutan ingin mendahului, dan minusnya petugas pengatur lalu lintas di jalan. Di mobil-mobil itu, tampak sopir dan penumpangnya kepanasan.
Di lokasi itu saja saya bertahan selama hampir empat jam, belum lagi memasuki perbatasan Padang Pariaman. Jalan benar-benar macet total. Seandainya terjadi gempa susulan diiringi longsor di saat itu, sudah dipastikan akan lebih banyak lagi jatuh korban nyawa. Namun syukurlah selama di tengah macet itu tidak terjadi apa-apa.
Di sepanjang jalan menuju Padang itu, mulai di kawasan Sicincin Kabupaten Padang Pariaman sudah terlihat rumah-rumah warga yang roboh pascagempa. Macam-macam kondisinya dan sangat memprihatinkan. Warga yang rumahnya roboh tampak termenung dan membuat tenda darurat dengan bahan seadanya, khususnya dari sisa-sisa kain yang bisa diselamatkan. Pasar-pasar lumpuh. Sejumlah bangunan pasar di Sicincin dan Lubuk Alung juga roboh.
Semua pemandangan itu ternyata belum seberapa jika dibandingkan suasana di kota Padang. Saya melihat hampir seluruh bangunan besar di Kota Bingkuang itu luluh lantak diamuk gempa. Empat hotel besar rusak binasa dan masih mengubur hidup-hidup ratusan orang di dalamnya. Toko-toko besar berisi barang dagangan mewah, seperti mobil, sepeda motor, perabotan, barang-barang elektronik, mall/plaza, pasar raya, hingga Kampung Cina di kawasan Kota Tua juga rusak bina. Benar-benar dahsyat dampak gempa itu. Sewajarnya menjadi bahan renungan bagi kita untuk selalu introspeksi diri.
Di hari itu juga saya mencari keberadaan ibu dan kakak istri serta seorang adik saya. Di rumah adik saya di kawasan Tunggul Hitam Padang saya tidak menemukan keberadaannya. Kata tetangga ia tidak apa-apa, selamat dan sempat mengungsi ke kawasan kampus Universitas Andalas di Limau Manis. Dalam kondisi itu saya baru menyadari, putusnya komunikasi lantaran listrik mati, mungkin saja batre hp-nya habis, di samping juga rusaknya jaringan telekomunikasi hingga hilangnya sinyal.
Mendengar adik saya itu aman, perjalanan dilanjutkan ke rumah kakak istri saya di kawasan By Pass Padang. Di sepanjang jalan menuju ke sana, juga terlihat rumah-rumah penduduk yang rusak parah akibat gempa. Di rumah kakak ipar saya itu saya dan istri tidak menemukan mereka di sana. Menurut informasi tetangga, kakak istri saya bersama keluarga serta ibunya mengungsi ke rumah famili di kawasan Limau Manis. Rupanya, ketika terjadi gempa, tersebar isu tsunami sehingga banyak warga Padang yang berada tidak jauh dari pantai menyelamatkan diri ke daerah-daerah ketinggian, termasuk keluarga kakak ipar saya itu.
Mengenai isu tsunami ini, menurut seorang warga, ketika gempa terjadi, lantai rumah-rumah warga banyak yang retak dan terbelah lalu memancurkan air berwana hitam pekat. “Seperti lumpur Lapindo. Kami semua panik. Ini mungkin tanda-tanda akan tsunami. Maka kami semua mengungsi,” ujar seorang warga. Wajahnya masih menyisakan kepanikan atas dahsyatnya musibah tersebut.
Saya di Padang Panjang saja merasakan kuatnya getaran gempa, konon lagi bagi mereka yang rumahnya berada dekat dari pusat gempa. Kekuatannya tentu lebih besar lagi. Itu pula yang menyebabkan banyak bangunan dan rumah yang roboh. Di Padang, setiap gempa terjadi selalu muncul isu tsunami. Semua orang panik. Meski sudah latihan evakuasi tsunami beberapa kali, melihat kondisi seperti itu, saya berkesimpulan Padang belum siap menghadapi bencana selanjutnya. Sebab, di kota ini jalur evakuasi masih terbatas dan keadaannya sempit pula. Konon ketika terjadi kepanikan banyak orang membawa kendaraan menyelamatkan diri dan meninggalkan rumah mereka menuju daerah-daerah ketinggian. Namun di jalan-jalan di dalam kota terjadi kemacetan lantaran banyaknya kendaraan yang melintas dan saling mendahului satu sama lain.
Setelah perjalanan ke Limau Manis yang lumayan jauh dari pusat kota ditempuh, akhirnya saya dan istri bertemu dengan keluarga di sana. Alhamdulillah, semua mereka selamat dan dalam keadaan baik. Malam itu pula saya sempat masuk kota melihat evakuasi terhadap korban anak-anak peserta kursus di lembaga pendidikan Gama yang masih tertimbun bangunan puluhan orang diantaranya. Malam itu Padang benar-benar gelap gulita. Bagaikan kota mati.
Saya kembali ke Padang Panjang Sabtu (3/10/2009), dengan suasana yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Saya lihat, di sejumlah SPBU, sudah mulai terlihat petugas mengatur antirian kendaraan yang membeli BBM. Begitu pula, kemacetan di jalanan sudah mulai lengang. Di sepanjang jalan menuju Padang Panjang, setiap 100 meter, warga berinisiatif memungut sumbangan dari pengendara yang dikoordinir oleh masing-masing Posko. Beberapa warga juga mulai membenahi rumah-rumah mereka yang porak-poranda dikoyak gempa. Sejumlah tenda bantuan organisasi kemanusiaan mulai berdiri di halaman rumah-rumah warga. Berbagai kendaraan yang mengangkut bantuan khsuusnya makanan dan obat-obatan terus berdatangan memasuki kota Padang dan Padang Pariaman. Meski agak terlambat lantaran gangguan jalan serta komunikasi, namun hal tersebut masih lebih baik. Masyarakat tampak bersyukur atas semua bantuan yang datang itu.
Ketika melintasi kawasan perbukitan di Lembah Anai hingga perbatasan Padang Panjang, jalan tidak lagi macet seperti hari pertama dan hari ketiga pascagempa. Suasana sudah hampir normal. Kendaraan sudah berjalan sesuai jalurnya. Sisa-sisa longsoran mulai dibersihkan oleh alat-alat berat yang berdatangan ke titik-titik longsor.
Ya Rabbi. Sungguh banyak hikmah dari semua ujian dan cobaan yang Engkau berikan, dan dengan mata kepala saya menyaksikan kedahsyatannya. Semoga semua ini bukan adzab bagi hamba-hamba-Mu yang masih enggan bersujud dan banyak bergelimang noda dan dosa.
Setelah menyaksikan dan merekam semua musibah itu, saya teringat firman Allah: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (QS. Al Israa: 16). Wallahu a’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar