Oleh: Achsin | 28-Jan-2007, 15:59:28 WIB
"Nasib Tenaga Kerja " tulisan Muhammad Subhan yang mencoba menceritakan nasib kesengsaraan TKI di luar negei. Di sini saya ingin memberikan masukan, TKI yang dikirim ke luar negeri sebaiknya yang memiliki skill yang tinggi. Kita tahu di Era Global dengan era perdagangan bebas, daya saing TKI perlu terus dibangun dan ditingkatkan secara cepat agar mampu bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain.
Tenaga kerja Indonesia dalam era tersebut akan mengemban dua tugas sekaligus. Pertama, membangun perekonomian nasional. Kedua, memanfaatkan dan merebut berbagai peluang yang ada di era perdagangan bebas.
Saat ini secara umum Indonesia masih mengandalkan keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki berupa melimpahnya ketersediaan SDM yang tidak terdidik (factor driven), sehingga sebagian besar masih merupakan tenaga kerja kasar (produk primer) yang bersifat natural resources based and unskill labour intensive.
Jelas ini tidak bisa diandalkan sebagai penggerak utama perekonomian, hal ini dibuktikan bahwa selama ini Indonesia hanya mampu menjadi salah satu penyedia tenaga kerja untuk sektor kerumah-tanggaan, sementara untuk level tenaga kerja trampil dan berkeahlian belum mampu.
Sebaliknya, Indonesia juga merupakan "pengimpor" tenaga kerja asing dengan nilai devisa yang lebih besar yang dilarikan ke luar negeri. Sementara dari penghasilan tenaga kerja Indonesia juga tergolong rendah.
Oleh karena itu, kita perlu meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia secara bertahap agar dapat mensejajarkan diri dengan tenaga kerja dari negara lain yang lebih dulu mampu bersaing secara internasional.
Peningkatan daya saing TKI juga bisa dilakukan dengan jalan menjadikan investasi SDM sebagai penggerak utama pembangunan nasional melalui investasi yang berimbang antara sub-sistem ketenagakerjaan (pendidikan formal, pelatihan dan training)
Peningkatan investasi tersebut harus pula diiringi dengan peningkatan penciptaan kesempatan kerja, baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga peningkatan investasi dapat dimanfaatkan secara optimal dalam memacu produktivitas TKI.
Dengan cara tersebut, TKI akan dapat menghasilkan tenaga-tenaga siap kerja dengan ketrampilan yang lebih tinggi (skilled labour intensive), sehingga dapat mengangkat perekonomian Indonesia.
Pembangunan ketenagakerjaan itu tidak boleh berhenti dan harus dilanjutkan lagi dengan motor kekuatan inovasi (inovation-driven) melalui peningkatan individu dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi pada semua bidang.
Untuk mendukung semua itu, perlu digalakkan program riset dan pengembangan (R&D) ketenagakerjaan, baik yang yang dimotori oleh pemerintah maupun pihak swasta, terutama melalui sekolah-sekolah kejuruan dan balai-balai latihan.
Dengan demikian, TKI akan mampu bersaing sebagaimana tuntutan dan perkembangan era perdagangan bebas dengan mempunyai nilai tambah daya saing (value-added competitiveness) berupa kemampuan menghasilkan tenaga kerja yang dikehendaki.
Bila hal ini dapat diwujudkan, bukan tidak mungkin Indonesia mampu menjadi negara yang menguasai pasar tenaga kerja internasional serta mengungguli negara-negara yang kini menguasai lapangan kerja berketrampilan dan keahlian tinggi yang kini sedang menguasai kesempatan kerja dunia.
Reformasi ketenagakerjaan
Untuk meningkatkan daya saing TKI yang diinginkan tentu memerlukan tindakan reformasi kebijakan ekonomi dan pengelolaan pembangunan bidang ketenagakerjaan, yang saat ini dinilai sangat jauh dari kondusif untuk keperluan TKI agar dapat berkembang sesuai tuntutan pasar kerja.
Reformasi kebijakan dan pengelolaan pengembangan ketenagakerjaan yang diperlukan harus dimulai dari tingkatan makro hingga ke tingkat mikro.
Pertama, reformasi strategi penempatan TKI secara nasional dari sektor kerumah-tanggaan kepada penempatan TKI yang berketrampilan dan berpengetahuan tinggi.
Penerapan program padat karya ternyata tidak memberi ataupun meningkatkan keahlian kepada tenaga kerja, program ini hanya merupakan konsumsi politik supaya Indonesia mendapat nilai positif di mata Bank Dunia, tapi sangat keliru dari penanganan bidang ketenagakerjaan.
Kedua, mempercepat desentralisasi pembangunan ekonomi, mengingat sumber daya manusia tersebar di setiap daerah. Karena itu pembangunan ketenagakerjaan harus terjadi di setiap daerah, karena Pemda lah yang paling tahu masalah daerahnya.
Ketiga, penurunan tingkat suku bunga dan reformasi perbankan. Tingkat suku bunga perlu diturunkan sampai pada tingkat yang komparabel dengan tingkat suku bunga di negara-negara tetangga.
Instrumen suku bunga ini dapat digunakan membantu TKI untuk membiayai dirinya dalam meningkatkan keahlian dan ketrampilannya.
Selain itu, perbankan nasional yang saat ini masih bersifat branch banking system perlu segera diubah menjadi unit banking system sehingga perencanaan skim perkreditan (prosedur, jenis, besaran, cara pembayaran kembali) disesuaikan dengan kebutuhan setiap sektor penempatan TKI.
Adalah keliru jika pihak perbankan masih memandang bahwa TKI merupakan sektor yang tidak menarik, sehingga perbankan harus segera menyesuaikan diri terhadap kebutuhan pendanaan TKI.
Keempat, reformasi pengelolaan TKI. Sampai saat ini pengelolaan pembangunan tenaga kerja masih terpecah-pecah yang berada di berbagai departemen yang mempunyai misi dan visi yang berbeda-beda.
Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan pun sering tidak sejalan bahkan saling bertentangan. Kebijakan kontradiktif ini makin sering terjadi mengingat pola pengambilan keputusan di setiap depertemen lebih mengutamakan otoritas politik dan mengesampingkan pertimbangan empiris.
Karena itu pengelolaan pembangunan dan penanganan TKI yang integratif perlu segera diwujudkan dalam bentuk "Satu Atap".
Kelima, reformasi pengusaha jasa TKI (PJTKI). Sejak dulu hingga sekarang PJTKI masih terkotak-kotak. Misalnya, penempatan TKI ke negara-negara tertentu masih dikuasai oleh pengusaha yang dekat dengan kekuasaan.
Sistem ini masih diperparah lagi oleh tindakan asoasiasi perusahaan jasa TKI yang mencoba untuk mencari keuntungan sesaat dengan dalih melindungi TKI dan mencoba untuk berlindung di balik punggung departemen teknis terkait.
Sistem penempatan yang tersekat-sekat/terkotak-kotak ini telah menimbulkan masalah sehingga program ekspor jasa TKI tidak efisien dan lambat memberikan respon terhadap tuntutan pasar, sehingga tidak punya daya saing sama sekali.
Untuk meningkatkan daya saing TKI itu maka pada setiap tingkatan harus ditransformasikan ke suatu sistem integratif secara vertikal melalui pengembangan usaha antara sub-sistem.
Penempatan TKI ke suatu negara misalnya, pengusaha jasa TKI satu sama lainnya perlu membuat kemitraan (rekrut, pelatihan, pemasaran dan perlindungan), sehingga tercipta win-win condition tanpa harus dicampuri oleh pemerintah.
Untuk kelancaran dan keberhasilan penempatan TKI, baik di dalam maupun luar negeri campur tangan pemerintah dari segi bisnisnya harus dihindari.
Pemerintah hanya bertindak sebagai pengawas, terutama dalam menegakkan peraturan, dan bukan justru berkolusi dengan asosiasi ataupun pelaku penempatan TKI seperti yang terjadi selama ini, yang menyebabkan terjadinya konflik kepentingan.
Karena itu, kebijakan-kebijakan lanjutan yang akan dikeluarkan harus dirumuskan sejalan dengan fase-fase pembangunan daya saing tenaga kerja itu sendiri* Achsin
Sumber: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=TKI+di+Era+Global&dn=20070128154838
Tidak ada komentar:
Posting Komentar