Minggu, 31 Januari 2010

Bang Awkar di Mata Saya: Seorang Guru yang Bijak, Kawan yang Setia


Oleh: Muhammad Subhan

Merantau ke Kota Padang, Sumatera Barat, adalah keputusan akhir ketika ayah saya meninggal dunia pada Maret tahun 2000 di Krueng Geukueh, Aceh Utara. Ketika itu beberapa bulan lagi saya akan menamatkan SMA. Entah mengapa pilihan hati saya berat ke Padang, padahal tidak pernah sekalipun saya menginjakkan kaki di kota itu sebelumnya.

Tapi inilah agaknya yang dinamakan takdir. Setamat SMA, pada Juni 2000, saya boyong ibu yang menjanda dan tiga orang adik yang masih kecil-kecil merantau ke Padang. Modal merantau cuma sedikit uang hasil penjualan perabotan di rumah peninggalan almarhum ayah yang nilainya tidak seberapa. Tapi saya sudah membulatkan tekad keluar Aceh karena kala itu konflik bersenjata sedang marak-maraknya di Bumi Tanah Rencong.

Di usia yang masih sangat belia, 19 tahun, saya sudah memikul beban tanggung jawab merawat ibu yang sakit-sakitan dan menyekolahkan tiga orang adik di kota yang tidak saya kenal. Tak ada seorang pun sanak family di Padang. Tak ada tempat mengadu dan berkeluh kesah. Semuanya saya jalani dengan sabar dan lapang dada. Saya yakin janji Allah, di mana ada kesulitan di sana ada kemudahan.

Maka, sebagai seorang remaja yang baru tamat SMA saya coba melamar kerja ke sana kemari. Mengetuk satu pintu ke pintu lainnya perusahaan-perusahaan yang ada di Kota Padang. Saya ajukan permohonan mengharapkan ada pekerjaan yang bisa memberikan saya sedikit gaji untuk menafkahi ibu dan adik-adik. Tapi nasib baik belum berpihak kepada saya, sebanyak lamaran yang saya masukkan sebanyak itu pula yang dikembalikan. Ya, saya ditolak mentah-mentah, tak ada pekerjaan bagi remaja seperti saya ketika itu.

Dalam mencari kerja ini, pernah saya tertipu—bersama puluhan pelamar lainnya—ketika sebuah iklan lowongan kerja yang saya baca di koran mengumumkan sebuah perusahaan perbankan membutuhkan karyawan minimal berijazah SMA. Merasa memenuhi persyaratan, saya kirim lamaran. Seminggu kemudian datang surat balasan melalui pos yang isinya menyebutkan saya diterima, namun persyaratannya harus mengirimkan uang administrasi sebesar Rp95 ribu, dan pada hari Minggu semua pelamar diminta berkumpul di sebuah hotel berbintang di Padang dengan mengenakan baju putih dan celana hitam. Usai mentransfer uang yang diminta, pada hari yang disebutkan berkumpullah saya dan teman-teman senasib di hotel tersebut. Tapi apa lacur, melalui seorang satpam hotel, disebutkan tidak ada perusahaan perbankan yang membuat acara rekrutmen karyawan di hotel. Duh, pengalaman kena tipu yang cukup telak!

Usai luntang lantung tak tentu arah, akhirnya saya memilih tinggal di sebuah mushalla di kawasan Air Tawar Barat, Padang. Saya menjadi gharin di sana. Alhamdulillah, meski bukan sebuah pekerjaan layaknya di perusahaan, sedikit banyak rezeki mengalir. Ada-ada saja jemaah yang memberi uang meski jumlahnya tidak banyak, membawakan lauk pauk, dan juga ‘menyedekahkan’ beras. Semuanya saya syukuri.

Ketika mengurus mushalla ini, saya menyewa sebuah rumah kecil untuk ibu dan adik-adik yang tidak jauh jaraknya dari tempat saya tinggal. Ketika ada jemaah yang memberikan kemurahan hatinya, rezeki itu saya bawa pulang, kami nikmati bersama-sama.

Di mushalla inilah jiwa kepenulisan saya terbentuk dan semakin terasah. Di sisa-sisa waktu luang, saya menyempatkan menulis dan mengirimkannya ke beberapa surat kabar di Padang. Alhamdulillah, satu dua tulisan saya dimuat. Tulisan yang terbit tentu saja mendapat honor walau tidak besar, tapi cukuplah untuk membeli pena dan kertas. Setiap minggu saya nantikan tulisan-tulisan saya yang terbit di koran-koran itu.

Di awal tahun 2001 seorang kawan mengajak saya bekerja di sebuah koran mingguan. Tanpa meninggalkan rutinitas di mushalla tawaran itu saya terima. Mulanya saya mengira menjadi wartawan itu bergaji besar, ternyata tidak sama sekali. Beberapa tahun menjadi wartawan di beberapa koran mingguan bisa dikatakan saya tidak bergaji! Sangat memiriskan sekali. Karena tidak bergaji itu pula, saya lebih banyak bekerja di bagian redaksi, mengetik ulang naskah, mensortir surat yang masuk, memperhatikan cara melayout koran, bahkan mencari iklan. Walau demikian semua itu menjadi ilmu dan pengalaman yang sangat berharga buat saya hingga sekarang.

Di masa-masa sulit itulah, pada suatu hari, di pertengahan tahun 2001, pintu kamar saya diketuk orang. Saya buka pintu dan memperhatikan seorang lelaki bertubuh sedikit gemuk yang tersenyum kemudian menyalami saya. “Subhan ya, orang Aceh kan?” sapanya ramah. Saya balas salam dan senyum lelaki itu dan mempersilakannya masuk ke kamar saya. “Maaf, Bapak siapa, ya?” Saya masih heran dari mana ia tahu nama dan asal saya.

“Jangan panggil bapak, panggil abang saja. Saya Awaluddin Kahar. Bang Awkar,” ia memperkenalkan diri. Itulah perkenalan pertama saya dengan Bang Awkar, yang akhirnya saya ketahui ia berasal dari Pulau Simeulue, Aceh yang bekerja sebagai wartawan di beberapa koran di Padang. Ia mengetahui diri saya setelah mendapat informasi dari seorang kawan wartawan lainnya bahwa ada orang Aceh yang juga jadi wartawan di Padang.

Setelah merasa sama-sama senasib sepenanggungan, hari-hari berikutnya kami selalu bertemu, berdiskusi, bahkan meliput berita bersama. Tak jarang kami berboncengan sepeda motor miliknya. Jika lelah di lapangan kami cari kedai kopi atau rumah makan sembari merenung-renungkan nasib kapan hidup akan berubah. “Kita harus bekerja lebih keras, Dik. Jangan sampai rambutmu ikut habis seperti Abang,” ujarnya bercanda. Kami pun tertawa bersama.

Itulah keakraban kami sehari-hari. Karena di masa itu kami belum punya alat komunikasi handphone, setiap kali bertemu kami janjian esoknya ia akan menjemput saya di mana. Setiap kali berpisah ia pun tak sungkan memberikan saya sedikit uang yang tentu saja sangat berharga sekali bagi saya ketika itu.

Bisa dibilang proses pembentukan diri saya menjadi wartawan tak lepas dari campur tangan Bang Awkar. Dialah yang memperkenalkan saya kepada beberapa anggota DPRD Sumatera Barat, mengajarkan cara melakukan wawancara yang baik dan benar, berpakaian sopan dan rapi, bahkan di tahun 2004 mempromosikan saya bekerja di Harian Mimbar Minang yang sedikit banyak merubah jalan hidup saya dikemudian hari menjadi wartawan profesonal di Kota Padang.

Setelah benar-benar serius menekuni dunia kewartawanan, saya pun mohon izin kepada pengurus mushalla untuk sepenuhnya bekerja di surat kabar. Pengurus mengizinkan dan sebagai penggantinya saya titipkan adik laki-laki saya di sana. Sejak pertengahan 2004 itulah, setelah 4 tahun luntang-lantung di belantara Kota Padang yang gersang, saya memutuskan sepenuhnya bekerja di media. Dan ternyata, walau bergaji pas-pasan, saya menikmati pekerjaan itu. Bakat menulis saya semakin terasah, kawan-kawan baru mulai saya kenal, berbagai liputan penting saya ikuti, bahkan beberapa kali mendapat tugas keluar provinsi.

Setelah Harian Mimbar Minang bangkrut lalu berubah menjadi mingguan, Bang Awkar dan saya kemudian memutuskan hijrah ke media lain. Di tahun 2005, beberapa bulan usai tsunami Aceh, seorang kawan pengurus salah satu parpol Islam mengajak saya mendirikan surat kabar yang kemudian diberi nama Harian Serambi Minang. Koran ini terinspirasi dari Harian Serambi Indonesia Aceh. Namun sayang koran itu cuma bertahan tiga bulan karena minimnya tenaga profesional di dalamnya.

Usai saya keluar dari Serambi Minang, Bang Awkar direkrut dan dipercaya untuk menjadi Pemimpin Redaksinya. Beberapa bulan kemudian koran itu berjalan dengan edisi mingguan. Walau sudah keluar dari struktur redaksi namun saya tetap menjadi kontributornya, disamping saya bekerja di Harian Haluan hingga sekarang. Pendek kata, meski berpisah media, namun hati kami tetap satu, saling membutuhkan dan saling berbagi suka duka.

Di awal-awal menjadi wartawan bisa dibilang saya sering menumpang tidur di rumah Bang Awkar yang sederhana di Komplek Perumahan Belimbing Padang. Istrinya yang guru SDLB sangat ramah. Di rumah tangga saya perhatikan bagaimana anak-anak Bang Awkar diajar tentang sopan santun dan keramahtamahan. Jarang saya mendengar keributan. Zarra dan Ulfa, dua putri Bang Awkar juga anak-anak yang cerdas dan sangat hormat kepada kedua orang tuanya. Tentu saja, sebagai remaja yang masih bujangan ketika itu, apa yang saya lihat menjadi sebuah ilmu bagi saya ketika berumah tangga.

Mingguan Serambi Minang tak bertahan lama. Beberapa bulan terbit Bang Awkar memilih hijrah lagi. Suatu hari pernah saya mengatakan kepadanya, “Bang, sudah cukup Abang jadi wartawan. Sekarang jadilah Abang yang memimpin wartawan. Abang harus menjadi pimpinan apalagi usia Abang sudah di atas 40 tahun. Seharusnya sudah sangat matang karir Abang.” Ia mengangguk-anggukkan kepala sembari mengunyah-ngunyah kalimat saya.

Memang akhirnya Bang Awkar memutuskan untuk membangun media sendiri. Dengan berbekal kepercayaan beberapa orang relasinya, ia mendirikan Surat Kabar Serumpun, sebuah koran mingguan dengan misi penulisan berita yang santun dan Islami. Di dekat Kedai Mie Aceh “Bang Lah” di kawasan Tunggul Hitam Padang, ia mengontrak sebuah rumah sebagai kantornya. Bang Awkar mengajak saya untuk terlibat aktif, tapi saya tidak dapat melakukannya karena rutinitas kerja di koran Harian Haluan. Namun demikian kami selalu berdiskusi dan sekali-kali saya ikut menulis guna mewarnai surat kabarnya.

Karena kendala modal akhirnya Serumpun juga tidak dapat bertahan lama. Sekian bulan vakum. Bang Awkar dengan kesetiaannya tetap memberikan semangat kepada kru Serumpun untuk bersabar semoga media itu bisa terbit kembali. Tapi mungkin memang sudah takdir, persaingan media di Padang yang sangat ketat mengharuskan Serumpun untuk sementara waktu tidak terbit lagi.

Tapi yang membuat saya haru, suatu hari Bang Awkar menelpon saya tentang rencananya pulang ke kampung, Simeulue. Dia bilang akan mencari peruntungan di sana. Mencoba menjalin kerjasama dengan Pemerintah Daerah Simeulue menerbitkan surat kabar yang mampu mempromosikan potensi Simeulue yang jauh dari daratan ke dunia luar. Bang Awkar meminta saya agar ikut ke Simeulue membantunya. Tapi lagi-lagi dengan sangat menyesal saya tidak dapat ikut bersama Bang Awkar. Di samping kendala keterikatan kerja di media harian tempat saya bekerja sekarang, saya juga sudah menekan kontrak sebagai Manajer Program Rumah Puisi Taufiq Ismail yang berorientasi pada pelatihan guru dan siswa di bidang sastra.

Saya kira Bang Awkar putus asa dengan penolakan saya itu. Tapi nyatanya tidak. Dengan tekad yang kuat dan modal pas-pasan ia memutuskan berangkat ke Simeulue. Beberapa bulan kemudian saya mendapat kabar darinya bahwa ia telah menerbitkan Surat Kabar Simeulue (SKS). Pemda Simeulue bersedia menjalin kerjasama. Luar biasa! Saya benar-benar salut kepadanya.

Sampai catatan ini dibuat, SKS telah berusia satu tahun. Meski relatif masih sangat muda namun berbagai gebrakan telah dilakukan media pimpinan Bang Awkar ini. Dari minggu ke minggu SKS bergerak manis meski diakuinya banyak kendala yang harus ia tangani, mulai masalah pembinaan SDM wartawan, iklan, hingga distribusi koran agar menyentuh ke seluruh sektor kehidupan masyarakat di Pulau itu. Walau demikian semua kendala itu tentu saja menambah pengalaman bagi Bang Awkar untuk lebih profesional dalam memimpin surat kabar yang dicita-citakannya sejak lama.

Ketika saya dimintanya menulis sedikit pengantar dari seorang sahabat untuk buku perdananya ini, lagi-lagi saya terharu dengan semangat kerja kerasnya untuk maju merubah jalan hidupnya. Saya resapi kalimat-kalimat dalam tulisan sederhananya yang kritis menyikapi berbagai persoalan, khususnya tentang kepeduliaannya terhadap bahasa Ulau yang kian terkikis di Simeulue. Banyak anak-anak Simeulue sekarang yang malu menggunakan bahasa ibunya itu. Padahal bak kata pepatah, bahasa menunjukkan bangsa. Maka, melalui surat kabar yang ia kemudikan biduknya, Bang Awkar ingin memperjuangkan bahasa Ulau sehingga menjadi bahasa “wajib” di tengah masyarakat Simeulue. Salah satu cara ia meminta Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan setempat agar memasukkan bahasa Ulau ke dalam kurikulum sekolah dasar hingga sekolah menengah.

Bang Awkar, bagi saya adalah seorang guru yang arif dan bijaksana. Banyak yang yang ia ajarkan kepada saya pelajaran hidup, khususnya tentang semangat kerja keras dan pantang menyerah. Dan, sebagai seorang sahabat dia adalah kawan setia yang tidak melupakan sahabatnya meski kehidupannya sudah hampir mencapai puncak kesuksesan. Saya tetap dirangkulnya. Sumbang saran dan pemikiran saya tetap diharapkannya.

Tak ada rangkaian kata yang indah saya kira selain ucapan selamat atas semua pencapaian karir Bang Awkar sekarang. Sebagai seorang adik, sahabat, dan saudara se kampung halaman (Aceh), saya menyatakan bangga kepadanya. []

Padang Panjang, 25 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar