Minggu, 31 Januari 2010

Kadal

Oleh: Muhammad Subhan

Kadal adalah hewan bersisik berkaki empat yang termasuk kelompok reptil. Secara luas, pengertian kadal atau kerabat kadal (bahasa Inggris: lizards) juga mencakup kelompok cecak, tokek, bunglon, cecak terbang, biawak, iguana dan lain-lain. Sedangkan secara sempit, istilah kadal dalam bahasa Indonesia biasanya merujuk terbatas pada kelompok kadal yang umumnya bertubuh kecil, bersisik licin berkilau, dan hidup di atas tanah.

Kadal-kadal tertentu, misalnya bunglon, dapat berganti warna sesuai kondisi lingkungan atau suasana hati. Meski kebanyakan hidup di daratan, umumnya kadal dapat berenang. Beberapa jenisnya, seperti biawak, bahkan beradaptasi dengan baik di lingkungan perairan.

Tapi ini bukan kadal sebenar kadal seperti didefinisikan di atas. Kadal ini lengkapnya disisipkan kata “pil” di depannya, sehingga menjadi kata “Pilkadal”. Sutan Ongok menjelaskan kata Pilkadal itu sebagai “Pemilihan Kepala Daerah Langsung” yang di kampungnya sebentar lagi akan digelar aleknya. Tinggal menghitung bulan saja lagi. Sutan Ongok pun sudah sibuk ke sana kemari, sebab jauh-jauh hari ia telah mengumumkan kepada warga kampung akan maju sebagai salah seorang calon “kada”.

Ufh, jangan salah mengartikan kata “kada”. Sebab menurut kamus Minang, “kada” itu berarti borok, kudis, korengan, yang merupakan penyakit kulit yang menjijikkan. “Kada” yang dimaksud Sutan Ongok adalah kependekan dari “Kepala Daerah”. Ya, di kampungnya Sutan Ongok ingin sekali menjadi seorang kepala daerah. Tentu setelah dia melihat banyak benar enaknya jadi pejabat seperti kawannya yang sudah menjadi “kada” di kampung tetangga.

Betapa tidak, dengan menjadi “kada” segala fasilitas akan dimiliki Sutan Ongok dan dapat diwariskan kepada anak kemenakannya. Kemana-mana akan ada ajudan yang mengawal, kalau perlu ini-itu gampanglah karena ada staf yang mengatur. Kalau mau pergi jauh ada mobil sedan berkilat yang harganya ratusan juta. Kalau mau makan dengan menu sehat bisa pesan kursi di sebuah restoran mewah. Kalau bosan tidur di rumah dinas, bisa menyewa kamar di hotel berbintang empat. Pokoknya kalau sudah menjadi “kada” gampanglah itu diatur. Dan, menjelang suksesi Pilkadal Sutan Ongok benar-benar tidak dapat tidur siang malam.

Tentu saja, siang malam pula Sutan Ongok berperang dengan pikirannya bagaimana cara mengatur strategi agar menang menjadi “kada” pada Pilkadal nanti. Bermacam cara dilakukan Sutan Ongok agar suara orang kampungnya nanti masuk ke kotak suaranya. Melalui tim sukses yang siap tempur bermacamlah cara dilakukan. Mulai mengadakan wirid pengajian ini-itu, gelar bazaar untuk orang miskin, jumpa pers, gotong royong massal, donor darah, gelar malam kesenian paguyuban, cetak kalender lalu dibagi-bagikan kepada orang kampung, hingga siap diundang menjadi pembicara dalam seminar ini-itu walau tanpa dibayar sekalipun. Kepada tim suksesnya dia mewanti-wanti, jelang Pilkadal harus sesering mungkin cari simpati, jual muka, jual program, bangun wacana hingga tebar pesona.

Tapi suatu malam jelang pencontrengan Pilkadal, Sutan Ongok bermimpi yang amat mengerikan. Di seluruh tubuhnya yang sehat tiba-tiba bermunculan “kada” sebenar kada. Mulai dari kepala hingga ujung kaki penyakit kada menggerogoti tubuhnya. Tidak hanya itu, tiba-tiba muncul puluhan kadal sebenar kadal yang menggigit kada di tubuhnya. Meraung-raunglah ia menahan sakit. Terbayang di benaknya uang yang dibagi-bagikan kepada tim suksesnya bukan uang halal, melainkan uang yang ia dapatkan dari berbagai cara, termasuk menjual tanah ulayat kampungnya. Dia sebagai mamak merasa berhak mendapat harta warisan, tanpa peduli nasib anak kemenakan. Lalu dengan uang itu pula ia sogok orang kampung agar memilihnya saat pencontrengan. Orang kampung yang ‘ongok’ pula tentu senang menerima uang, apalagi di zaman yang sedang sulit mencari uang.

Dalam mimpi itu nyaris nyawa Sutan Ongok direnggut oleh ratusan kadal yang dengan lahapnya menggigit kada-kada yang tumbuh di kulit tubuhnya. Tapi untunglah, ketika puncak kesakitan dirasakannya tiba-tiba seluruh tubuhnya menikmati siraman air yang sejuk. Ketika itu juga Sutan Ongok terjaga. Tapi alangkah kagetnya dia karena melihat jam di dinding telah menunjukkan pukul 11.00 siang, sementara di sisi ranjangnya sang istri berkacak pinggang sambil memegang ember air. “Lah tinggi hari masih bakaruah juo, laki macam apo uda ko?!” []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar