Jumat, 08 Januari 2010
BUKP, Model Lembaga Keuangan Mikro di DIY
Oleh: Muhammad Subhan
Penanggulangan kemiskinan di masing-masing daerah memang punya model-model tersendiri, disamping program yang sudah ada diberikan pemerintah pusat. Jika di Sumatera Barat ada Kredit Mikro Nagari yang diarahkan menjadi model lembaga keuangan mikro untuk membantu masyarakat miskin, maka di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di sana punya lembaga yang sama meski nama berbeda, yaitu Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP).
Di DIY, BUKP bukanlah barang baru, melainkan telah berlangsung lama, sejak 30 tahun lalu. Lembaga ini didirikan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1989 tentang Badan Usaha Kredit Pedesaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. BUKP didirikan dengan maksud dan tujuan untuk mengembangkan perekonomian masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat pedesaan. Lembaga ini didirikan di tiap-tiap Kecamatan dalam wilayah Kabupaten/Kota se-Propinsi DIY, sementara di masing-masing Desa dibentuk unit-unit BUKP. Pendirian BUKP ditetapkan dengan keputusan gubernur.
Diakui bahwa dalam rangka memberantas momok kemiskinan tidak hanya terlepas dari peran pemerintah saja, diperlukan pula peranserta seluruh masyarakat di wilayah Kecamatan. Di DIY, BUKP diharapkan mampu mewujudkan Kecamatan di seluruh Propinsi ini menjadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi Kerakyatan. Maka dijadikanlah BUKP sebagai basis penanggulangan kemiskinan di masing-masing Kecamatan dengan sasaran masyarakat miskin pedesaan.
Bagi pemerintah DIY, tolok ukur keberhasilan Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan ekonomi kerakyatan di pedesaan yaitu seluruh masyarakat di wilayah Kecamatan dalam meningkatkan usaha telah menggunakan jasa intermediasi Lembaga Keuangan Mikro BUKP. Dengan demikian penduduk yang menjadi nasabah, baik untuk menabung dan meminjam di BUKP telah berperan serta dalam mewujudkan Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kerakyatan di pedesaan.
Dalam perjalanannya, BUKP ini bertugas dan berfungsi sebagai lembaga keuangan yang mendekatkan permodalan dengan sistem perkreditan yang mudah dan terarah pada masyarakat pedesaan. Juga untuk menghindarkan masyarakat pedesaan dari perangkap rentenir yang marak beroperasi di pedesaan. Jika BUKP ini berjalan maka dengan sendirinya BUKP telah menciptakan pemerataan dalam kesempatan berusaha bagi golongan ekonomi lemah serta memberikan pelayanan kepada masyarakat pedesaan dengan menyediakan modal melalui sistem perkreditan yang diarahkan pada peningkatan kegiatan ekonomi produktif.
Untuk mendukung operasional kegiatan BUKP, Pemerintah DIY memberikan modal dasar setiap BUKP sebesar Rp50 juta. Jumlah ini tentu saja masih terbilang kecil jika dibanding modal KMN di Sumatera Barat dimana tiap-tiap Nagari diberikan modal awal Rp300 juta. Namun demikiian, modal bantuan Pemerintah DIY tersebut diharapkan terus berkembang dan dapat dipergulir dan dipergilirkan untuk membantu masyarakat miskin di pedesaan.
Kelembagaan BUKP ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan pengelolaannya terdiri dari seorang Kepala dan tiga orang karyawan. Kepala BUKP didalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu dan membawahi karyawan lainnya. Karena BUKP berada di Kecamatan, maka dengan sendirinya Camat menjadi pembina sekaligus penanggung jawab BUKP di wilayahnya.
Lebih jauh, dalam pelaksanaannya BUKP juga merupakan lembaga yang bertitik tolak atas keberhasilan Lembaga Bantuan Pedukuhan/Pedusunan di Propinsi DIY yang dinilai mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan perekonomian Pedesaan yang dapat menumbuhkan wirausaha dalam masyarakat pedesaan. Disamping itu dalam rangka meningkatkan fungsi dan peran Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai pengembang perekonomian daerah perlu memperluas jaringan sampai ke pedesaan sehingga secara langsung masyarakat/pedesaan dapat ikut menikmati peran serta BPD dalam menumbuhkan gairah wirausaha di Pedesaan dan meningkatkan kemampuan berusaha bagi golongan ekonomi lemah.
BUKP ini telah diujicoba dalam suatu pilot proyek di empat Kecamatan di seluruh Propinsi DIY, yaitu Kecamatan Tempel, Galur, Imogiri dan Ponjong yang telah menunjukkan suatu hasil positif dan dapat berkembang. Namun demikian, untuk melayani masyarakat pedesaan yang membutuhkan dirasakan modal yang dimiliki BUKP masih sangat kurang.
Penduduk Miskin DIY
Bisa dikatakan penduduk miskin bagi daerah tujuan pariwisata nasional seperti DIY terbilang cukup besar. Berdasarkan data BPS 2005, penduduk miskin di DIY tercatat sebanyak 275.110 Rumah Tangga Miskin (RTM). Jumlah ini dapat dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu: fakir miskin 39.439 RTM, miskin 130.080 RTM dan mendekati miskin 105.591 RTM.
Sementara berdasarkan hasil PSE 2005 kondisi penduduk miskin di DIY dapat digambarkan: Kepala rumah tangga penduduk miskin sebagian besar adalah laki-laki (67,38%), sedang yang mempunyai kepala rumah tangga perempuan sebesar 32,62%. Rumah tangga miskin/penduduk miskin sebagian besar tinggal di wilayah dataran (66,57%) dan tinggal di wilayah pegunungan (27,31%).
Berdasarkan wawancara penulis dengan Kepala Bidang Kesra pada Bappeda DIY, Joko didampingi staf Bidang Kesra Susnoto, kepala rumah tangga miskin (penduduk miskin) di DIY pada umumnya bekerja di sektor pertanian padi dan palawija (51,30%) dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah yaitu paling tinggi hanya menamatkan SD sebesar 90,35%. Latar belakang pendidikan ini ikut mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk tetap bertahan dalam perilaku hidup miskin.
Selain itu, sebagian besar penduduk miskin DIY tinggal di rumah tak layak huni sebesar 75%. Bahkan di Kulon Progo dan Gunungkidul tercatat lebih dari 90% rumah tangga miskin tinggal di rumah tak layak huni, sedangkan di Kota Yogyakarta penduduk miskin yang tinggal di rumah tak layak huni hampir seimbang dan sebagian besar penduduk miskin tinggal di lingkungan yang tidak sehat (86%).
Bukan itu saja, sebanyak 44% rumah tangga miskin tidak mampu berobat ke puskesmas/poliklinik apabila mereka mengalami gangguan kesehatan. Bahkan di beberapa kabupaten di DIY, kemampuan rumah tangga miskin untuk berobat ke sarana kesehatan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Kota Yogyakarta.
“Lokasi geografis tempat tinggal warga miskin ikut mempengaruhi pendapatan mereka. Di Kabupaten Kulon Progo dan Gunungkidul misalnya, penduduk miskin/RTM di sana dijumpai di wilayah pegunungan, sementara di Bantul dan Sleman lebih sering dijumpai di wilayah dataran. Sedangkan di Kota Yogyakarta umumnya dijumpai di wilayah dataran dan bantaran sungai,” ujar Kepala Bidang Kesra Bappeda DIY, Joko.
Data lainnya, anak usia sekolah (7-18 tahun) dari rumah tangga miskin di DIY berjumlah 105.743 anak. Sebanyak 81,95 persen masih bersekolah yaitu 49,17% pada jenjang SD, 21,81% SLTP dan 10,97% SLTA. Sementara anak usia sekolah yang tidak sekolah tercatat lebih 18%, yang terbanyak di Gunungkidul. Sebagian besar rumahtangga miskin belum pernah menerima kredit usaha (96,69%) sehingga akses mereka terhadap kredit usaha sangat rendah. Dari 5 kabupaten/kota rumah tangga miskin yang dapat mengakses kredit usaha terbanyak hanya bertempat tinggal di Bantul dan Kota Yogyakarta, masing-masing mencapai 5,14% dan 5,02%. Sementara kabupaten lain kurang dari 4%. Karena tidak adanya akses usaha ini pula masyarakat tidak dapat mengembangkan usaha mereka sehingga arus usaha stagnan atau bahkan mengalami kemunduran.
Melihat masih besarnya jumlah angka kemiskinan di Propinsi DIY, pemerintah daerah ini melakukan sejumlah kebijakan, yaitu penanggulangan kemiskinan dilakukan secara lintas sektor dengan melibatkan seluruh SKPD terkait (Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Dinas Perindagkop, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat, Dinas Kesehatan dan sebagainya) untuk sama-sama bergerak menuntaskan problem kemiskinan masyarakat. Bahkan penanggulangan kemiskinan selalu ditempatkan dan diposisikan pada prioritas utama dan pertama dalam pembangunan daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Upaya-upaya yang dilakukan Perintah Propinsi DIY untuk meningkatkan kesejahteraan/ pendapatan penduduk miskin di daerah ini antara lain, meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pengembangan usaha ekonomi produktif, seperti KUBE (Kelompok Usaha Bersama), UEP (Usaha Ekonomis Produktif) dan USEP (Usaha Sosial Ekonomi Produktif). Selain itu mengembangkan dan penciptaan lapangan kerja yang seluas-luasnya guna mengurangi pengangguran dengan melakukan padat karya, pembinaan dan pengembangan UMKM serta menjalin kemitraan dengan pihak swasta.
Untuk meringankan beban hidup penduduk miskin, pemerintah memberikan bantuan melalui Jamkessos/Jamkesmas (Askeskin), Raskin, Pemberian PMT (Program Makanan Tambahan). Sementara Pemberdayaan Masyarakat Desa Lestari, diberikan melalui bantuan Rp 50 juta per desa/kelurahan.
Secara umum, kebijakan Pemda DIY dalam Penanggulangan Kemiskinan antara lain; Memenuhi hak-hak dasar (hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan dan berusaha, hak atas perumahan, hak atas air bersih dan sanitasi, hak atas tanah, hak atas SDA dan lingkungan hidup, hak atas rasa aman, hak atas partisipasi). Disamping itu mengembangkan wilayah (pembangunan sarana dan prasarana wilayah tertinggal, perbatasan, terisolir, pengembangan ekonomi wilayah tertinggal, perbatasan dan strategis cepat tumbuh.
Kesetaraan dan keadilan gender serta pengendalian jumlah penduduk terus ditingkatkan. Selain itu meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui sertifikasi dan standarisasi dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berbasis penciptaan perluasan kesempatan kerja melalui pemberdayaan sektor pertanian, industri rumah tangga kecil dan menengah serta sektor informal. Untuk mewujudkan semua kebijakan itu tentunya butuh peningkatan kerjasama antardaerah baik di dalam negeri maupun di luar negeri dalam upaya menciptakan dan perluasan kesempatan kerja. Namun demikian yang perlu tetap diperhatikan adalah meningkatkan perlindungan tenaga kerja melalui pengupahan, jaminan sosial dan peningkatan kesejahteraan serta peningkatan pengerahan dan penempatan calon transmigran melalui kerjasama antar daerah, disamping peningkatan kualitas pembinaan dan pemberdayaan transmigran lokal. []
[Tulisan ini sebagai bahan dalam buku “Kredit Mikro Nagari (KMN) yang diterbitkan Bappeda Provinsi Sumatera Barat]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar