Sabtu, 02 Januari 2010

Jamsostek Buat Wartawan


Oleh: Muhammad Subhan

Ironi nasib wartawan adalah lagu lama yang terus diputar. Tapi, lagu itu, sedikit yang mendengar. Maka, setiap kali wartawan menyanyikan lagunya itu, orang hanya menyimak sambil lalu. Tak perlu diambil pusing. Sebab, soal kesejahteraan wartawan, merupakan tanggung jawab sepenuhnya perusahaan media tempat mereka bekerja.

Dewan Pers, PWI, AJI, dan organisasi profesi wartawan lainnya, sudah saban kali meneriakkan agar perusahaan-perusahaan media memperhatikan soal standar kelayakan gaji wartawan. Sebab, tugas wartawan tidaklah ringan. Ketika orang tertidur pulas, sebagian kuli disket itu berjibaku di lapangan meliput berita yang siap disajikan kepada khalayak. Tak kenal malam gelap gulita, hujan badai, bahkan maut yang mengancam. Sebagian lagi di antara mereka, di tengah malam yang dingin, sibuk di kantor untuk processing. Sungguh-sungguh, profesi wartawan tidak mengenal jam kerja konvensional layaknya dianut kantor pemerintah dan swasta non-media massa.

Lalu, ketika ada suara wartawan penting diasuransikan, mendapatkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka sudah selayaknya didukung. Yang berkewajiban mengasuransikan mereka, tentu saja, perusahaan di mana mereka bekerja. Sebab, jika tanpa asuransi itu, sering kali terjadi di lapangan, kawan-kawan wartawan yang mendapatkan musibah kecelakaan lalu lintas, rumah terbakar, menjadi korban bencana alam, maupun korban kejahatan oknum dari sumber berita yang ditulis, tidak mendapatkan perhatian selayaknya. Kasus yang menimpa seorang kawan wartawan salah satu media harian di Padang beberapa tahun lalu yang menjadi korban pemukulan kaki tangan oknum seorang pengusaha di Teluk Bayur, memberi catatan penting bahwa profesi wartawan rentan terhadap ancaman yang bermuara di tiga tempat; rumah sakit, penjara dan kuburan.

Diakui, bahwa beberapa perusahaan pers mapan memang mampu memberikan gaji yang memadai dan mengasuransikan wartawannya. Struktur perusahaan media seperti ini biasanya di cover oleh modal yang besar, dengan model bisnis sangat profesional. Tapi sekali lagi, jumlahnya sangat tidak banyak. Dapat dihitung jari. Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara mengatakan, terdapat 1.008 perusahaan media cetak, sekitar 150 televisi, dan sekitar 2.000 stasiun radio sampai tahun 2008. Total jenderal profesi wartawan mencapai 30.000 orang (Kompas, 5 Mei 2009). Dari jumah itu, kategori media yang sehat secara bisnis hanya 30 persen, sementara 70 persen media cetak lainnya mengoperasikan wartawan yang tidak memenuhi standar kompetensi profesionalitas.

Wartawan yang tidak memenuhi kompetensi profesionalitas ini, umumnya bekerja di media-media yang tidak sehat pula secara bisnis dan manajemen. Efeknya, mereka mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya. Maka muncullah filosofi manajemen media “ayam bertelur emas”. Telur emasnya harus disetor ke pemilik media sedangkan ayamnya disuruh mencari makan sendiri. Ini tentu saja sangat ironis. Dampak selanjutnya yang terjadi, karena tidak profesional itu pula, bermunculanlah oknum-oknum wartawan bermental murahan yang keberadaan mereka meresahkan masyarakat. Menakut-nakuti pejabat, melakukan pemerasan, meneror pimpinan proyek, yang secara langsung perbuatan mereka merusak citra wartawan di mata publik.

Kenyataan itu tidak boleh terus dibiarkan. Media massa harus kembali “ke jalan yang benar” dengan benar-benar menyiapkan tenaga wartawan yang handal dan profesional di bidangnya. Pemilik media harus mampu membangun jaringan bisnis yang sehat dan kuat sehingga wartawan yang dipekerjakan terjamin kelangsungan hidupnya, baik dirinya maupun keluarga yang ditinggalkan di rumah. Sebab, tanpa wartawan, koran tidak akan ada isinya. Mengisi halaman-halaman koran itu tentu saja bukan pekerjaan mudah. Wartawan harus terjun ke lapangan, menyiapkan bahan, memburu, mencari, menemui nara sumber, melakukan wawancara, menginvestigasi, menulis dan mengolahnya menjadi tulisan yang menarik dan layak dibaca.

Maka, adanya perlindungan jaminan sosial tenaga kerja bagi wartawan menjadi kebutuhan mutlak dan mendesak, sebagai syarat meningkatkan kesejahteraan wartawan di dalam tugasnya yang tidak memiliki jam kerja terbatas. Perlindungan jaminan sosial tenaga kerja ini berbentuk jaminan keamanan (social security) yang merupakan jaminan sebagai kompensasi atas tugas dan tanggung jawab profesinya.

Adanya jaminan sosial itu bukan sekedar tuntutan semu belaka, tapi juga tertuang dalam amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, bahwa setiap perusahaan yang memenuhi syarat wajib menyertakan pekerjanya dalam Program Jamsostek. Amanat Undang-undang ini, tentu juga berlaku bagi wartawan yang bekerja dalam perusahaan pers. Layaknya karyawan lain di perusahaan non media, wartawan berhak mendapatkan jaminan sosial itu.

Jamsostek sebagai lembaga asuransi yang profesional, melayani program yang wajib dimiliki pekerja seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan kesehatan. Di samping itu juga melaksanakan program manfaat tambahan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan peserta, seperti memberikan bantuan beasiswa untuk anak-anak karyawan peserta program Jamsostek, bantuan dana Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pembangunan rumah susun pekerja, pengadaan trauma centre untuk membantu tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja, bantuan Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMP), dan sebagainya (www.hupelita.com).

Semua program Jamsostek itu, tentu saja, akan menjadi oase di tengah padang tandus bagi kaum “buruh media”. Maka, di hari tua nanti, mereka pun akan tersenyum sumringah sebab adanya jaminan hari tua, mendapat rumah layak huni, pendidikan anak-anak terjamin karena adanya beasiswa, dan tak takut lagi jika harus menjadi korban PHK.

Selayaknya, perhatian Jamsostek terhadap nasib pekerja media ini mendapat apresiasi semua pihak khususnya dari pemilik media dengan mendaftarkan kepesertaan wartawan dalam program-program Jamsostek. Secepatnya dan sangat mendesak. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar