Sabtu, 09 Januari 2010
Kakao, Bangkitkan Ekonomi Masyarakat
Oleh: Muhammad Subhan
Kakao (coklat) merupakan salah satu komoditi utama nasional dengan sebaran sentra penanaman yang cukup banyak dan tumbuh dengan baik di Indonesia. Kakao juga telah lama menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan devisa negara.
Seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dunia, maka permintaan pasar untuk komoditi kakao juga akan meningkat. Ini merupakan peluang bagi Indonesia, khususnya Sumatera Barat, untuk terus meningkatkan produksi kakao. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi kakao adalah dengan memperluas lahan penanaman. Hal ini masih mungkin dilakukan karena masih banyak lahan yang dapat dimanfaatkan untuk usaha perkebunan kakao di Sumbar.
Definisi sentra produksi nasional tersebut adalah kabupaten/kota yang memiliki luas lahan minimal 1.000 ha, sedangkan kabupaten/kota yang luas lahannya lebih kecil dari yang ditetapkan merupakan wilayah eksiting terbesar luasannya di wilayah provinsi tersebut. Sedangkan wilayah potensi yang dimaksud adalah bagian dari wilayah potensi pengembangan di tiap wilayah kabupaten/kota yang belum dikembangkan atau merupakan sisa lahan yang masih dapat dikembangkan untuk budidaya kakao.
Sentra pengembangan kakao di Provinsi Sumatera Barat adalah di Kabupaten Pasaman, Agam, Pasaman Barat, dan Padang Pariaman. Selain itu kakao juga terdapat di Kabupaten Limapuluh Kota, Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai, Sijunjung, Solok, Tanah Datar, kota Sawahlunto, dan kabupaten lainnya. Alasan Sumbar tertarik komodoti kakao lantaran luas lahan di daerah ini semakin terbatas, sementara kakao dapat ditanam di lahan pekarangan dan dapat ditanam di lahan kelapa. Umur panen kakao juga terbilang pendek, sekitar 2-2,5 tahun.
Sejak dicanangkan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pada Maret 2006 silam, Sumbar telah bertekad untuk menjadi sentra kakao di wilayah Indonesia Bagian Barat. Target maksimal luas lahan kakao di Sumbar akan tercapai pada tahun 2010 mendatang. Maka, agar tujuan dari target itu tercapai upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumbar melalui Dinas Perkebunan adalah dengan pemenuhan target luas lahan.
Berdasarkan data di Dinas Perkebunan Sumbar, target 2008 lalu sudah tertanam kakao seluas 65 ribu hektar. Kemudian di tahun 2009 ditargetkan lagi untuk penanaman seluas 19 ribu hektar dan sisanya sekitar 20 ribu hektar lagi akan dituntaskan pada tahun 2010. Selain melalui perluasan lahan, upaya lainnya adalah dengan penyediaan bibit kakao. Di tahun 2009, telah disediakan bantuan sebanyak 1,5 juta bibit untuk mendukung penanaman kakao seluas 19 ribu hektar.
Di samping itu, yang lebih menggembirakan adalah produksi kakao Sumbar sudah sekitar 32 ribu ton per tahun. Harga di pasaran per kilonya mencapai Rp24 ribu. Namun demikian sejumlah permasalahan yang sering terjadi masih ditemui di lapangan, seperti pemeliharaan tanaman yang masih kurang, baik pemupukan, pemangkasan, dan pembasmian hama. Begitupun masih ditemui bibit yang kurang jelas mutunya. Mutu bibit yang kurang bagus itu lantaran petani cenderung mengambil buah produksi dijadikan bibit kembali.
Dalam menghadapi permasalahan ini, Dinas Perkebunan memberikan solusi diantaranya penyediaan bibit unggul. Di tahun 2007 misalnya, jumlah bibit yang disalurkan kepada petani sebanyak 824.718 batang. Jumlah penyaluran bibit ini semakin meningkat di tahun 2008 yaitu 1.149.612 batang.
Disamping bantuan bibit, juga dilakukan penangkaran bibit kakao yang dilaksanakan oleh kelompok tani dengan pola pemberdayaan kelompok yang dilaksanakan pada Kabupaten/Kota, di antaranya di Kabupaten Pasaman Barat, Pasaman, Limapuluh Kota, Tanah Datar, Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Dharmasraya, Agam dan Kota Padang. Jumlah benih yang ditangkarkan pada tahun 2007 sebanyak 1.150.000 butir, sedangkan di tahun 2008 sebanyak 1.600.000 butir, dengan tambahan daerah tangkaran, Kabupaten Solok, Kota Payakumbuh dan Kota Solok.
Keseriusan Pemerintah Propinsi Sumbar terhadap sektor unggulan perkebunan ini terlihat, sejak tahun 2006 melalui APBD Propinsi Sumbar telah dianggarkan dana penyediaan benih kakao sebanyak 440.000 butir dengan anggaran Rp300 juta. Di tahun 2007 juga dianggarkan untuk kegiatan pengembangan kakao, pelatihan tugas tentang budidaya dan pengolahan kakao dengan anggaran Rp3.233.195.950, dengan jumlah benih sebanyak 2.400.000 butir. Di tahun 2008 juga dianggarkan pengembangan tanaman kakao dengan bibit sebanyak 770.000 bibit dengan anggaran Rp2.593.000.000. Dari semua kegiatan di tahun 2007, 2008, 2009, baik berupa pelatihan, penyediaan bibit/benih, pembudidayaan, pemeliharaan, promosi produk hingga revitalisasi kelembagaan petani kakao telah menelan anggaran sebesar Rp10.680.372.700.
Benarkah tanaman kakao bisa meningkatkan ekonomi masyarakat di Sumatera Barat?
Pertanyaan itu pantas dijawab Romer M, 27 tahun, warga Jorong Pasa Dama, Nagari Parit Malintang, Kecamatan Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman. Guru honor di SMP Negeri 2 Enam Lingkung ini, sejak 2006 lalu telah bertani kakao dan sudah beberapa kali memetik hasilnya mengingat usia panen antara 2-2,5 tahun.
Ketika tanaman kakao dicanangkan Wakil Presiden 2006 silam, Romer dipercaya masyarakatnya sebagai ketua kelompok petani kakao di daerahnya. Kelompok pimpinannya diberi nama “Bukik Aneh”. Tak jelas apa alasan memberikan nama itu. Namun yang pasti melalui kelompoknya pula, masyarakat mendapat bantuan 50 ribu bibit dari Dinas Perkebunan Sumbar. Bantuan itu terus berlanjut. Di tahun 2007 kembali kelompoknya mendapat tambahan 100 ribu bibit dan 2008 sebanyak 40 ribu bibit. Dari jumlah itu dibagi kepada masyarakat dengan jumlah variatif, antara 300 hingga 700 batang. Romer sendiri di lahannya sekarang memiliki 600 batang kakao.
Selama ini, masyarakat di Parit Malintang mayoritas bertani sawah dan palawija. Melihat prospek tanaman kakao yang cukup menjanjikan sebagian masyarakat mulai beralih ke tanaman kakao. Tentu saja hal itu berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat setempat.
Di kebun kakaonya yang kurang dari setengah hektar, Romer memperlihatkan batang-batang kakao yang ditumbuhi buahnya yang lebat meski belum matang seluruhnya. ”Coba lihat itu! Berapa rata-rata buah kakao dalam satu pohon? Kalau saya hitung, di sini bisa mencapai 300-400 buah per pohon,” katanya sembari menunjukkan satu batang pohon terdekat di pinggir jalan.
Pohon kakao berbuah merah hati yang dimaksud Romer itu memang benar-benar lebat. Cukup terawat. Dia pun mulai menjelaskan apa rahasia yang dilakukan para petani kakao di Parit Malintang dalam membudidayakan tanaman itu. Dari batang-batang kakao, tampak banyak semut hitam. Mengganggukah hewan itu?
“Ini rahasianya. Semut hitam ini justru menangkal serangan hama dan penyakit. Dan, yang penting tak menggugurkan bunga. Berbeda kalau pakai pestisida. Waktu nyemprot malah banyak bunga gugur,” ujarnya.
Namun demikian, hama yang sulit diberantas adalah hama tupai. Bahkan sering diburu dengan bedil. Salah satu cara menantisipasinya adalah dengan memperketat pengawasan dan pemeliharaan tanaman.
Menurut Romer, rata-rata petani kakao di Parit Malintang bisa mengantongi pendapatan antara Rp750 ribu hingga Rp2 juta per bulannya. Itu juga tergantung dari luas lahan dan jumlah pohon kakao yang ditanam. Semakin banyak pohonnya tentu semakin banyak pula hasil buahnya yang bisa diproduksi.
“Harga permentasi kakao di pasaran Rp22 ribu/kg dan yang tidak permentasi Rp18 ribu/kg,” ujarnya.
Dia mengaku merasa terbantu dengan program bantuan benih dan bibit kakao dari Dinas Perkebunan. Di samping itu, melalui kantor wali nagari petani kakao juga mendapatkan penyuluhan dari tenaga lapangan terkait menanam kakao yang baik dan benar serta menguntungkan.
Untuk meningkatkan kesejahteraan kelompoknya, Romer dan petani kakao di daerahnya membentuk wadah koperasi. Saat ini anggota koperasinya berjumlah 20 orang. Anggota dikenakan dana simpanan wajib Rp25 ribu dan simpanan pokok Rp25 ribu. Koperasinya itu telah berdiri sejak tahun 2007.
“Koperasi ini juga untuk mengantisipasi para tengkulak yang sering memperdaya petani dengan cara membeli hasil taninya dengan harga murah,” ujar Romer.
Romer tertarik bertanam kakao lantaran perawatannya yang murah dan tidak repot. Di samping itu setelah ia mengikuti penyuluhan kakao di nagari, ia merasa jatuh hati untuk lebih serius membudidayakan kakao. Dia mengatakan kakao diekspor ke banyak negara, waktu panennya juga sangat singkat sehingga memberikan nilai tambah bagi petani.
Dari bekal pengetahuan tersebut, kemudian dia mencoba mempraktikkan di kebun miliknya dengan bibit bantuan Dinas Perkebunan Sumbar. Setelah menunggu 3 tahun ia pun menuai hasil yang cukup memuaskan.
Petani kakao lainnya yang juga mendulang hasil menggembirakan dari tanaman itu adalah Santi, 35 tahun, anggota kelompok binaan Romer dan kawan-kawannya. Wanita ini mulanya hanya bertani palawija, namun ia mengaku tertarik bertanam kakao setelah mendapat bantuan bibit sebanyak 500 batang.
“Lahan saya tidak luas, tapi jadilah untuk membudidayakan kakao karena masyarakat di sini umumnya bertanam kakao,” ujar wanita dua anak ini.
Dengan bertanam kakao itu, sebulannya ia bisa berpenghasilan minimal Rp1 juta. Tentu saja hal itu sangat membantu ekonomi keluarganya dan suaminya yang juga seorang petani.
Bagi masyarakat Parit Malintang, ujar Santi, sumbangsih dan perhatian Pemerintah Propinsi Sumbar memberikan pengetahuan dalam bertanam kakao serta bantuan bibit/benih, menjadikan nagari yang tadinya miskin menjadi maju. Kini, Parit Malintang menjadi sorotan banyak orang lantaran nagari ini tempat pencanangan sentra kakao oleh wapres sementara masyarakatnya pun telah menanam kakao sebelumnya. Dan lihatlah di sana, hampir tidak ada masyarakat yang tidak bertanam kakao meski di halaman rumahnya sekalipun. []
[Tulisan ini sebagai bahan dalam Buku Kredit Mikro Nagari (KMN) yang diterbitkan Bappeda Sumatera Barat, 2009]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar