Sabtu, 02 Januari 2010

Kampung di Kaki Singgalang

Oleh: Muhammad Subhan

Sidin. Di kampung di kaki Gunung Singgalang itu dia tinggal sebatang kara. Dulu, ia mempunyai seorang kakek angkat. Tapi kakeknya itu sudah meninggal dunia, konon mati diterkam harimau. Siapa orang tua Sidin sebenarnya, tak seorang pun yang tahu.

Menurut cerita orang kampung, bayi Sidin ditemukan kakek angkatnya di dalam sebuah kardus di depan rumah. Di tengah malam buta, dan hujan lebat. Tak tahu siapa orang yang tega meninggalkannya. Iba melihat kondisi bayi yang lemah itu, si kakek segera membawa masuk, merawatnya hingga Sidin dewasa.

Kakek angkatnya itu telah lama tiada. Dikuburkan di belakang rumahnya. Kini, Sidin yang mendiami rumah itu, dan hampir setiap hari ia mengunjungi makam kakeknya. Biasanya ia datang pada pagi hari sebelum matahari naik. Di makam itu Sidin tak melakukan apa-apa, kecuali membersihkan makam dari rumput-rumput liar yang tumbuh.

Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, Sidin mengembala ternak milik seorang warga di kampungnya. Ternak-ternak itu digembalanya dari pagi hingga petang. Ia membawa ternak-ternak itu ke padang rumput di pinggir hutan di pinggang Singgalang. Kadang pula, ternak-ternak itu diaraknya ke arah kaki gunung yang banyak ditumbuhi berbagai jenis rerumputan. Dari kerja itu dia mendapat upah.

Ketika ternak-ternak gembalaannya sedang merumput, Sidin biasanya duduk-duduk di atas dahan pohon yang rindang, atau juga di gundukan-gundukan batu. Itu ia lakukan agar lebih leluasa mengamati hewan-hewan gembalaannya.

Ditemani sepoinya angin gunung, Sidin meniup seruling bambu yang selalu menemani hari-harinya. Suara seruling yang mengalun merdu itu seolah-olah mengiramakan kerinduannya pada alam dan almarhum kakeknya. Kalau sudah begitu, ilalang-ilalang yang tumbuh pun ikut bergoyang. Begitu juga burung-burung yang banyak bertengger di atas pundak kerbau-kerbau gembalannya ikut pula bernyanyi.

Begitulah kehidupan Sidin yang ia jalani hampir setiap hari. Sidin begitu menikmatinya dan seolah tak tampak beban pada dirinya. Apalagi, Sidin hidup seorang diri, sehingga tak ada yang perlu ia pikirkan kecuali untuk hidupnya sendiri.

Tapi akhir-akhir ini, kelakuan Sidin tampak aneh. Tepatnya nyeleneh. Ada saja yang ia perbuat untuk menarik perhatian orang kampung. Kadang-kadang ia bernyanyi dan berteriak-teriak sendirian di tengah pasar, sehingga banyak orang mengatakan kalau ia sudah gila. Yang lebih menggemaskan, adalah seperti apa yang ia lakukan tiga hari lalu.

Ketika itu, orang-orang sedang ramai di pasar berjual beli. Hari pekan. Banyak pedagang dari kampung tetangga datang membawa dagangannya. Tiba-tiba saja, dari arah Utara, Sidin tergopoh-gopoh berlari di tengah pasar sembari berteriak-teriak, “Awas! Cepat selamatkan diri kalian, ada harimau masuk kampung!!!”

Orang-orang yang mendengar teriakan Sidin itu terkejut dan menjadi panik. Berhamburanlah mereka dan berlarian meninggalkan pasar serta barang dagangan mereka. Menyelamatkan diri dari amukan harimau yang dikatakan Sidin itu.

Beberapa laki-laki pemberani segera menghunus golok dan mencari-cari di mana sosok harimau yang dikatakan Sidin itu. Tapi, hampir dua jam mereka mencari-cari, harimau itu tak juga ditemukan.

“Hai Sidin, di mana harimau yang kau sebut itu?” tanya orang kampung beramai-ramai.

Sidin tak menjawab. Ia hanya senyum-senyum. Orang-orang kesal dibuatnya. Dia pun dibentak-bentak.

“He-he-he…, harimaunya tidak ada, kok. Saya cuma bercanda,” kata Sidin sekenanya. Seolah tanpa bersalah.

Kata-kata polos yang diucap Sidin itu tentu saja mengundang geram di hati pemuda-pemuda kampung. Mereka merasa dipermainkan Sidin. Dan, hampir saja Sidin babak belur dihakimi pemuda-pemuda itu.

Tapi untunglah, Sidin selamat. Beberapa tetua kampung yang paham akan kelainan jiwa yang dialami Sidin segera melerai dan membawanya ke alun-alun. Sidin disuruh minta maaf kepada masyarakat. Lagi-lagi Sidin hanya senyum-senyum saja. Membuat orang-orang bertambah dongkol dan menganggapnya sudah gila.

Untuk beberapa hari, suasana kampung di kaki Gunung Singgalang itu kembali normal. Ativitas pasar berjalan seperti biasa. Sidin pun sudah dibebaskan. Sidin kembali pada pekerjaannya, menggembala ternak.

Tapi, ketenangan kampung itu tidak berlangsung lama. Seminggu kemudian, Sidin berulah lagi, seperti yang ia lakukan beberapa hari lalu. Sidin berteriak-teriak sendiri di tengah alun-alun kampung. Seperti orang gila. Orang-orang kembali panik.

“Tolong…! Harimau masuk kampung…!!! Harimau makan ternak gembalaku…!!!” Begitu teriakan Sidin yang menggemparkan warga kampung.

Penduduk yang sedang bekerja di ladang-ladang berlarian pulang. Pintu-pintu rumah ditutup rapat. Laki-laki bersenjata golok, pacul, parang dan sabit siap siaga. Mencari-cari harimau seperti yang diteriaki Sidin.

Tapi, lagi-lagi penduduk terkecoh. Harimau yang dikatakan Sidin itu tak juga muncul memasuki kampung. Jalan-jalan sepi. Sidin akhirnya digebuki. Babak belur.

Kejadian yang kedua kali itu, Sidin sebenarnya akan disidangkan lagi. Tapi pemuda-pemuda kampung telah bertindak duluan. Tubuh Sidin yang kurus jadi bulan-bulanan. Tapi anehnya, Sidin masih bisa tersenyum. Seolah ia menikmati semua penyiksaan itu.

“Dasar Sidin gila!” kesal pemuda kampung yang berkesempatan menendang pantatnya.

“Tak tahu diuntung!”

“Anak haram jadah!”

“Pengacau kampung!”

Begitu hujatan-hujatan dihamburkan pemuda-pemuda kampung kepada Sidin. Entah didengarnya entah tidak. Sidin tetap senyum-senyum sendiri. Lalu pulang dengan langkah tertatih.

Karena sudah dua kali warga kampung terkecoh dengan perbuatan Sidin, akhirnya kepala kampung memutuskan menggelar rapat darurat. Semua warga diundang, kecuali Sidin.

“Kita telah dipermainkan Sidin yang sudah seperti orang gila itu,” kata kepala kampung di tengah sambutannya. Wajahnya tampak memerah.

“Saya kuatir, kalau Sidin terus berbuat seperti itu keamanan kampung kita ini jadi terganggu. Untuk itu, malam ini saya kumpulkan saudara-saudara guna membicarakan perkara penting ini,” kata kepala kampung lagi.

“Kita usir saja Sidin dari kampung ini!” teriak seorang lelaki bertubuh agak kurus di pojok ruangan. Tampak ia mengepalkan tinju dan menggeretakkan gerahamnya.

“Ah, jangan begitu. Biar bagaimana pun, Sidin warga kita juga. Kakeknya pernah jadi pejuang di kampung ini!” bela seorang lelaki di sebelahnya.

“Dia bukan cucu kakek itu. Sidin hanya cucu angkatnya yang dibuang orang sewaktu masih bayi,” kata lelaki lainnya.

Komentar-komentar pun terus berhamburan dari peserta rapat. Ruangan semakin panas. Berbagai pendapat diajukan, tapi tak satu pun yang membuahkan hasil. Ruangan menjadi riuh.

“Tenang saudara-saudara! Tenang! Kita harus bijak menyikapi masalah ini. Saya menampung semua pendapat saudara-saudara. Tapi, semua itu harus kita pikirkan masak-masak, agar nama baik kampung tidak tercemar di mata kampung warga tetangga,” ujar kepala kampung mencoba menengahi pendapat-pendapat yang muncul.

Sejenak ruangan hening. Diam. Tak ada yang bersuara. Semuanya mencoba berpikir mencari solusi yang tepat. Sementara, di luar udara malam semakin dingin. Suara jangkerik memecah keheningan.

Waktu terus berjalan. Malam semakin larut.

Tiba-tiba dari pojok ruangan berdiri seorang lelaki kurus berusia setengah baya.

“Begini saja ketua, saya punya usul,” suara lelaki itu terdengar datar. Pandangan mata peserta rapat menuju ke arahnya.

“Ya. Silakan saudara!” Ketua kampung mempersilakan lelaki itu.

“Bagaimana, kalau untuk sementara ini kita biarkan dulu Sidin dengan kegiatannya sehari-hari. Dan, kita lihat pula, apakah Sidin akan mengulangi perbuatannya itu lagi. Seandainya ia berulah lagi, tak usah kita acuh dan tak perlu ditanggapi. Karena pasti Sidin berbohong lagi. Nanti, katika melihat orang kampung tidak mempedulikan tingkah pongahnya itu, saya yakin, Sidin akan bosan sendiri. Dan akhirnya, ia tak mau melakukan perbuatan konyol itu lagi!” kata lelaki itu.

Kepala kampung mangut-mangut. Hadirin mulai tersenyum. Tampaknya, usul lelaki tua itu perlu dipertimbangkan.

“Bagaimana saudara-saudara. Setuju dengan pendapat yang diusulkan tadi?” tanya kepala kampung.

Tanpa pikir panjang, menyahutlah semua yang hadir menyatakan persetujuan mereka.

“Usul yang bagus, kita coba dulu!” Begitu komentar mereka.

Keputusan telah disepakati. Rapat usai. Semua orang meninggalkan ruangan. Kembali ke rumah masing-masing.

***

HARI masih pagi. Udara dingin menusuk tulang. Kabut tipis masih tampak menyelimuti jalan-jalan kampung. Penduduk hanya satu dua orang saja terlihat di jalan. Selebihnya masih berada di rumah, bersiap-siap hendak melaksanakan rutinitas masing-masing. Ada yang ke ladang, sawah, kebun, dan sekolah. Semuanya berjalan seperti hari-hari kemarin. Tak ada yang berubah.

Di pagi itu pula, tampak sesosok tubuh laki-laki kurus sedang berjalan melintasi jalan setapak. Kain sarung berwarna coklat kusam melingkar di pundaknya. Kakinya tak beralas. Di tangannya memegang sebuah ranting kayu, dan memukul-mukulkan ranting itu pada ilalang yang tumbuh di sepanjang pinggiran jalan.

Lelaki itu terus berjalan ke arah Utara. Menuju kaki Singgalang yang masih pekat. Melintasi pematang-pematang sawah yang membentang luas, berjenjang-jenjang. Suara burung di pagi hari itu berceracau merdu. Menemani perjalanan lelaki itu ke tempat yang dituju.

Tak lama kemudian, sampailah ia pada sebuah anak sungai berair jernih. Persis di kaki Singgalang yang menjulang. Mengelilingi perkampungan. Batu-batu hitam berukuran besar banyak bertebaran di sekitarnya. Air sungai bergemericik dilompati anak-anak katak yang takut melihat kedatangan lelaki itu.

Sesaat kemudian, lelaki itu mendekati anak sungai. Direndahkannya tubuh kurusnya. Berjongkok. Kemudian merapatkan jari-jari tangannya, membentuknya seperti mangkuk. Lalu ia mengambil air yang jernih itu dan membasuh wajahnya yang kusut masai usai bangun tidur. Dingin air terasa ia nikmati. Dan, terdengarlah desahan nafasnya yang keluar dari hidung dan mulutnya.

Tapi tanpa ia sadari, sepasang mata binatang buas menyala mengawasi gerak-geriknya dari arah rerimbunan pohon di belakang tubuhnya. Perlahan, binatang itu mendekat ke lelaki itu. Daun-daun kering terdengar berisik oleh injakan-injakan kaki binatang bertubuh seperti kucing raksasa. Barulah beberapa meter jaraknya dari tubuh lelaki itu, terdengar suara auman yang menggetarkan bulu roma. Tersadarlah lelaki itu kalau dirinya dalam bahaya.

Lelaki itu membalikkan tubuhnya, kemudian berdiri dengan tatapan mata tak percaya. Harimau!!! Pekiknya, ketika binatang buas itu semakin mendekat ke arahnya. Tanpa pikir panjang, lelaki kurus itu berlari sekuat tenaga. Menyisiri anak sungai. Melompati batu-batu terjal yang licin. Dan, sang raja hutan itu tak membiarkan umpannya lolos begitu saja. Diburunya tubuh lelaki kurus itu. Melompati batu-batu.

Sekuat-kuatnya lelaki itu berlari menyelamatkan diri, sekuat itu pula binatang bertubuh loreng itu mengejarnya. Dan, naas bagi lelaki kurus itu. Kakinya tergelincir, tubuhnya terjerembab ke anak sungai.

Bertepatan saat itu, melompatlah harimau menerkam tubuhnya. Lelaki itu menggeliat. Berontak. Berteriak minta tolong. Tapi tak seorang pun yang mendengar suaranya. Kuku tajam harimau mencabik-caik tubuhnya. Lelaki itu menjerit. Meronta-ronta. Dan tak lama kemudian tubuhnya tak bergerak. Meregang nyawa. Mati!

Air sungai yang bening itu berubah menjadi telaga darah. Berwarna merah. Aroma amis menyengat. Menyeruak ketenangan alam. Burung-burung hutan tak bersuara. Seolah turut berduka menyaksikan kematian tragis yang menimpa lelaki malang itu.

***

SORE, di hari itu juga. Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Angin tak mendesir. Mendung menggayut di puncak Singgalang. Kabut tipis perlahan turun.

Warga di kampung itu gempar. Seorang petani menemukan sesosok mayat lelaki dicabik-cabik harimau di anak sungai, di kaki Singgalang sebelah Utara. Kondisi tubuhnya sangat mengerikan. Wajahnya nyaris tak dikenali lagi.

“Sidin yang kita perbincangkan malam tadi telah mati. Dia termakan karma perbuatannya sendiri. Semoga, kematiannya ini menjadi pelajaran bagi kita semua,” gumam kepala kampung di atas pusara Sidin yang berdampingan dengan pusara kakeknya.

Orang-orang yang ikut menguburkan jenazah Sidin menundukkan kepala. Ada kesedihan di wajah-wajah mereka. ***

Padang Panjang, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar