Jumat, 01 Januari 2010

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir untuk Pelestarian Terumbu Karang

Oleh: Muhammad Subhan

PANTAI Air Manis, namanya. Di pantai inilah terdapat onggokan batu yang dipercaya sebagai wujud Malin Kundang, anak durhaka. Malin Kundang bersama istri dan para pengikutnya dikutuk menjadi batu lantaran Malin durhaka kepada ibunya. Batu Malin Kundang dalam posisi bersimpuh sedangkan pecahan kapalnya terserak di sekitarnya.

Setiap pengunjung yang datang ke Pantai Air Manis, kawasan batu Malin Kundang menjadi tempat favorit yang disambangi. Mereka berpose dan mengambil gambar dengan latar belakang batu Malin Kundang. Keindahan ombak yang pecah membawa buih putih di bibir pantai serta pemandangan laut yang indah membuat Pantai Air Manis menjadi pelengkap kesan pesona bagi masyarakat Sumatera Barat maupun wisatawan yang datang ke objek wisata itu.

Sementara, sekitar 500 meter dari lokasi batu Malin Kundang, pengunjung dapat menikmati perjalanan ke Pulau Pisang Kecil di seberang pantai yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki jika air laut dalam keadaan surut. Jika tak ingin berbasah-basah sejumlah masyarakat di daerah itu menyewakan perahu kecilnya untuk menyeberang. Di Pulau Pisang Kecil, pengunjung bisa duduk-duduk di pondok-pondok yang terdapat di sana sambil menikmati pemandangan laut dan pantai. Nun jauh di sana, pengunjung dapat melihat keindahan Pulau Sikuai yang bisa ditempuh dengan perjalanan sekitar 2,5 jam untuk mencoba berbagai wisata air, seperti surfing dan diving. Pulau Sikuai terkenal dengan pasirnya yang putih.

Pantai Air Manis terletak 15 km dari pusat kota Padang, berada di Kecamatan Teluk Kabung, Kota Padang. Batu Malin Kundang menjadikan pantai ini sebagai salah satu objek wisata andalan ibukota Propinsi Sumatera Barat. Legenda Malin Kundang tidak saja terkenal di Indonesia, namun juga hingga mancanegara. Maka tidak lengkap datang ke Sumatera Barat jika belum menyinggahi batu Malin Kundang yang fenomenal itu.

Namun, yang sering luput dari perhatian pengunjung yang datang ke objek wisata ini, adalah pemandangan jelang pintu masuk dan pintu keluar objek wisata Malin Kundang, yaitu banyaknya pedagang yang berjualan cenderamata berupa terumbu karang dan kerang dengan berbagai bentuk serta ukuran yang dibanderol dengan harga antara Rp 5.000-100.000. Jumlah pedagang itu ada sekitar 20-an orang. Aneka terumbu karang yang telah mati itu menjadi pendapatan sampingan warga sekitar selain menangkap ikan sebagai nelayan di laut. Yang menjadi pertanyaan, dengan cara apa mereka mendapatkan terumbu karang itu? Apakah dengan cara merusak dan mencuri untuk keuntungan sesaat tanpa peduli terhadap kelestariannya? Padahal menjual bebas terumbu karang secara jelas dilarang oleh Undang-Undang karena akan mengganggu kehidupan biota laut dan ekosistem perairan lainnya.

Dalam suatu kesempatan ke sana beberapa waktu lalu, sekilas penulis menemukan terumbu karang yang dijual, ada namanya Karang Kaktus (karena perawakannya seperti tanaman kaktus), atau Karang Cendawan (karena bisa ditebak bentuknya seperti cendawan). Juga ada karang yang berbentuk seperti Keong yang tentu saja harganya lebih mahal karena lebih berseni. Menurut salah seorang pedagang, peminat karang itu datang dari beberapa daerah di Sumatera Barat, seperti Padang, Bukittinggi atau Payakumbuh. Tak sedikit yang datang dari luar Sumatera Barat bahkan turis mancanegara.

Konon, sudah banyak tim datang dari beberapa instansi di jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemko Padang, seperti DKP, Bapedalda, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Energi (Perindagtamben), Dinas Koperasi dan UMKM dan Dinas Pariwisata yang datang ke lokasi ini mengingatkan pedagang untuk tidak menjual terumbu karang, namun agaknya tak juga digubris. Pedagang tetap menjual terumbu karang sebagai cenderamata karena sangat membantu ekonomi mereka. Bak kata pepatah, anjing mengonggong kafilah berlalu.

Bisa jadi seluruh terumbu karang yang dijual pedagang itu didapatkan dengan cara illegal, mencuri dan merusak habitatnya yang terdapat di sejumlah pulau kecil di sekitar Pantai Air Manis. Konon, tiga pulau yang ada di sana, yakni Pulau Binalang, Pisang Kecil dan Pisang Besar sebelum 2005, kondisi terumbu karangnya masih bagus. Tapi sayangnya sekarang di dua pulau, yakni Pulau Pisang Kecil dan Pisang Besar sudah sekarat, dan lebih tepat disebut hancur, sementara kondisi terumbu karang di Pulau Binalang pun diragukan.

Berdasarkan data di kantor DKP Kota Padang pada Oktober 2007 s/d September 2008 tercatat sejumlah pulau di kota Padang yang kondisi terumbu karangnya mulai sekarat, di antaranya: Pulau Pasumpahan (21,90 Hektar, 10 Persen rusak sedang, 90 Persen rusak berat), Pulau Sikuai (14,42 Hektar, 15 Persen rusak sedang, 85 Persen berat), Pulau Senyum (15,27 Hektar, 15 Persen rusak sedang, 85 Persen rusak berat, Pulau Pandan (73,20 Persen, 40 Persen rusak sedang, 60 Persen berat).

Angka kerusakan yang cukup besar itu tentu saja sangat memiriskan kita. Ini terjadi tentu bukan akibat faktor alamiah, melainkan dirusak oleh tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab dan minusnya pengawasan. Seharusnya pihak kelurahan dan kecamatan gencar melakukan sosialisasi dan pemantauan agar masyarakat tidak merusak terumbu karang karena keberadaannya sangat strategis sebagai tempat berkembang biaknya ikan dan biota laut. Langkah tegas bagi para pengrusak ini tentu saja dengan melibatkan pihak kepolisian dan diberikan tindakan hukum tegas agar menimbulkan efek jera.

***

Kerusakan terumbu karang di negeri bahari seperti Indonesia memang sudah meluas. Menurut Direktur Jenderal Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Syamsul Muarif seperti yang dikutip Kantor Berita Antara menyebutkan bahwa saat ini 70 persen terumbu karang di laut Indonesia kondisinya rusak parah, dan hanya 30 persen yang masih relatif bagus.

Sementara nelayan adalah komunitas yang sangat bergantung terhadap kelestarian sumber daya alam kelautan. Secara sederhana dapat dibayangkan terdapat 70 persen pula nelayan kita yang tengah mengalami kesulitan karena semakin berkurangnya hasil tangkapan ikan akibat kerusakan terumbu karang.

Indonesia memiliki luas total terumbu karang sekitar 51.000 km2 yang menyumbang 18% luas total terumbu karang dunia dan 65% luas total di coral triangle. Saat ini, kepulauan Raja Ampat di Papua Barat merupakan kepulauan dengan jumlah jenis terumbu karang tertinggi di dunia. Berdasarkan sebuah kajian ekologi yang dipimpin oleh The Nature Conservancy (TNC) dengan melibatkan para ahli terumbu karang dan ikan dunia pada tahun 2002, ditemukan sekitar 537 jenis karang dan 1.074 jenis ikan di kepulauan Raja Ampat.

Beberapa kepulauan di Indonesia yang juga memiliki jenis karang cukup tinggi adalah Nusa Penida (Bali), Komodo (NTT), Bunaken (Sulut), Kepulauan Derawan (Kaltim), Kepulauan Wakatobi (Sultra), dan Teluk Cendrawasih (Papua). Kepulauan tersebut juga merupakan tujuan utama wisata bahari, khususnya wisata selam dunia.

Manfaat terumbu karang bagi manusia selain aset wisata bahari adalah sebagai benteng alami pantai dari gempuran ombak dan sumber makanan dan obat-obatan. Sekitar 120 juta orang hidupnya sangat bergantung pada terumbu karang di coral triangle.

Melihat fungsi penting terumbu karang bagi kehidupan manusia, maka pada pertemuan APEC di Sydney tahun 2007, Presiden Republik Indonesia – Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan perlindungan terhadap terumbu karang di kawasan segitiga karang dunia bersama 6 negara coral triangle lainnya (CT6). Inisiatif CT6 untuk melindungi terumbu karang di coral triangle disebut Coral Triangle Initiative (CTI). Inisiatif ini mendapat banyak dukungan dari negara maju seperti Amerika dan Australia.

Ekosistem terumbu karang terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan merupakan ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Biasanya tumbuh di dekat pantai di daerah tropis dengan temperatur sekitar 21-30 C. Secara alami terumbu karang memberikan perlindungan bagi hewan-hewan dalam habitatnya termasuk sponge, ikan (kerapu, hiu karang, clown fish, belut laut, dll), ubur-ubur, bintang laut, udang-udangan, kura-kura, ular laut, siput laut, cumi-cumi atau gurita, termasuk juga burung-burung laut yang sumber makanannya berada di sekitar ekosistem terumbu karang.

Ada dua bentuk terumbu karang yaitu terumbu karang keras (hard coral) dan terumbu karang lunak (soft coral). Terumbu karang keras (seperti brain coral dan elkhorn coral) merupakan karang batu kapur yang keras yang membentuk terumbu karang. Terumbu karang lunak (seperti sea fingers dan sea whips) tidak membentuk karang.

Terumbu karang ditemukan di sekitar 100 negara dan merupakan rumah tinggal bagi 25% habitat laut. Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat rentan di dunia. Dalam beberapa dekade terakhir sekitar 35 juta hektar terumbu karang di 93 negara mengalami kerusakan. Ketika terumbu karang mengalami stres akibat temperatur air laut yang meningkat, sinar ultraviolet dan perubahan lingkungan lainnya, maka ia akan kehilangan sel alga simbiotiknya.

Kerusakan yang dialami terumbu karang yang hidup di perairan Sumatera Barat mencapai sekitar 70 persen. Kerusakan itu khususnya akibat gangguan manusia, seperti penangkapan ikan menggunakan bahan peledak, racun ikan, penambangan, pencemaran, sedimentasi, pariwisata, pengerukan, pengurugan dan pembangunan pantai. Demikian dikatakan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumbar Yosmeri di hadapan wartawan dalam acara pembekalan tentang terumbu karang, 3 November 2008 lalu di Rocky Hotel, Padang. Kebetulan dalam pembekalan ini penulis ikut sebagai salah seorang pesertanya.

Keadaan terumbu karang yang mengalami kerusakan cukup berat itu terjadi di perairan kota Pariaman (99,61 hektar), disusul perairan kabupaten Agam (16,02 hektar). Keadaan rusak terjadi di perairan Pasaman Barat (16,65 hektar), kabupaten Pesisir Selatan (1.278,18 hektar), dan kota Padang (583 hektar). Sementara keadaan terumbu karang yang mengalami rusak sedang terjadi di kepulauan Mentawai (4.730 hektar), sedangkan kondisi cukup baik ada di pesisir kabupaten Padang Pariaman.

Yang menarik disikapi, ketika terjadi kasus illegal logging banyak komponen masyarakat ribut mempersoalkannya, namun kerusakan cukup parah yang dialami terumbu karang belum banyak pihak yang peduli menyikapinya. Padahal kebaradaan terumbu karang juga sebagai penyeimbang alam khususnya sebagai pemecah gelombang pantai dan tempat hidup biota laut.

Keberadaan terumbu karang memberi manfaat yang cukup besar, diantaranya sebagai sumber makanan, perikanan, pariwisata, bahan obat-obatan, bahan baku berbagai industri, pertahanan pantai, pendidikan dan riset serta sebagai kawasan konservasi laut. Selain itu, peran terumbu karang sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan pembesaran, tempat pemijahan bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya.

Sebenarnya, jika diteliti seksama, akar masalah perusakan terumbu karang diantaranya karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat, kemiskinan, keserakahan, kebijakan dan strategi pengelolaan yang tidak jelas, kelemahan kerangka perundang-undangan dan penegakan hukum, serta metode pengelolaan yang kurang memadai.

***

Salah satu solusi bijak penyelamatan terumbu karang adalah melakukan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan menerapkan konsep sadar wisata. Namun ini tidak mudah, harus dilakukan secara kontinyu oleh pemerintah daerah setempat. Pendekatan persuasif harus gencar dilakukan. Selain itu, pemberdayaan dimaksudkan juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir yang selama ini hidup di bawah garis kemiskinan. Masyarakat bisa diberdayakan untuk menunjang kegiatan pariwisata seperti membentuk kelompok-kelompok industri kerajinan rumah tangga dengan membuat kerajinan baik berupa makanan maupun kreasi seni dengan warna lokal, tanpa harus mengambil bahan baku terumbu karang. Ini tentu saja akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena selain memperoleh penghasilan sebagai nelayan mereka juga bisa menambah income keluarga dari hasil menjual makanan atau kreasi seni yang mereka buat. Dinas terkait harus mencarikan alternatif usaha apa yang bisa dikembangkan masyarakat pesisir di lokasi wisata itu.

Dengan tumbuhnya industri rumah tangga ini lambat laun akan mengurangi pengangguran yang otomatis menghapus angka kemiskinan. Kedepannya tidak akan ada lagi masyarakat di lokasi-lokasi wisata pantai yang merusak ekosistem terumbu karang baik dengan cara merusak maupun mencurinya. Bahkan seluruh produk alternatif itupun bisa bernilai ekspor sebab orang asing akan sangat tertarik memasarkan produk tersebut di negara mereka. Yang terpenting produk itu harus memiliki kemasan (packing) menarik, yang tentu saja ini bisa difasilitasi oleh pemerintah daerah setempat.

Memberdayakan masyarakat pesisir tanpa merusak terumbu karang berarti menciptakan peluang bagi masyarakat untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Namun yang pasti memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena di dalam habitat pesisir tersebut terdapat banyak kelompok kehidupan masyarakat diantaranya:

Masyarakat nelayan tangkap. Mereka adalah kelompok masyarakat yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Kedua kelompok ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapannya. Kemudian, masyarakat nelayan pengumpul. Mereka adalah kelompok masyarakat yang bekerja di sekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawa ke pasar-pasar lokal. Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat perempuan.

Juga ada yang disebut masyarakat nelayan buruh. Mereka adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai. Ciri mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka. Mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim. Selain itu masyarakat nelayan tambak. Ini adalah masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh.

Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktifitas ekonomi mereka. Pemberdayaan masyarakat tangkap misalnya, mereka membutuhkan sarana penangkapan dan kepastian wilayah tangkap. Berbeda dengan kelompok masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal kerja dan modal investasi, begitu juga untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh. Kebutuhan setiap kelompok yang berbeda tersebut, menunjukkan keanekaragaman pola pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap kelompok tersebut.

Di sinilah peran pemerintah daerah untuk merancang sedemikian rupa program bantuan kepada mereka dengan tidak menyamaratakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Sebab masing-masing kelompok masyarakat memiliki kebutuhan berbeda.

Satu hal lagi yang sangat berpengaruh dalam tercapainya keberhasilan pelaksanaan program pemberdayaan yang kadang terlupakan dari kebijakan pemerintah daerah adalah peran dan keterlibatan kaum perempuan atau isteri-isteri nelayan. Kaum perempuan atau isteri-isteri nelayan ini memiliki potensi yang sangat besar untuk diberdayakan terutama yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata di kawasan tempat tinggal mereka. Salah satu program pemberdayaan yang bisa dilakukan kepada istri-istri nelayan adalah lewat pendampingan dan bantuan permodalan untuk membuat hasil kerajinan. Hasil kerajinan ini bisa dijual kepada wisatawan dengan membuatkan kios-kios penampung yang memasarkan produk-produk mereka.

Ternyata tidak terlalu sulit memberdayakan masyarakat pesisir ini jika dilakukan secara serius dan berkelanjutan. Selama ini yang ada hanya kebijakan-kebijakan semu saja tanpa bukti konkrit di lapangan. Padahal jika masyarakat diarahkan, diberi penerangan yang benar tentang pentingnya penyelamatan terumbu karang, maka penulis yakin tidak ada lagi diantara mereka yang melakukan tindakan perusakan dan pencurian. Mereka akan secara bersama-sama menjaga, melestarikan, dan melindungi habitat terumbu karang yang hidup di perairan pesisir tempat mereka tinggal. (*)

[Tulisan ini Juara II dalam Journalist Writing Competition 2009, Lomba Karya Tulis Mengenai Pelestarian Terumbu Karang yang diselenggarakan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar