Jumat, 01 Januari 2010

Longsoran Batu Bergemuruh di Bukit Lembah Anai


Sore itu, saya dari Padang hendak pulang ke Padang Panjang. Saya menumpang Tranek Mandiri, bus mini tujuan Bukittinggi. Jam menunjukkan pukul 17.00. Saat itu suasana kota Padang biasa saja, seperti hari-hari sebelumnya. Masyarakat beraktivitas seperti biasa.

Di dalam mobil, tepatnya di Pasar Lubuk Buaya Padang, tiba-tiba bus yang saya tumpangi bergoyang-goyang. Tidak sewajarnya. Saya kira ban mobil bus itu pecah. Saya tanyakan kepada sopir kalau-kalau benar ban pecah. Tapi dari kaca jendela bus, saya melihat banyak orang di kiri kanan jalan berhamburan keluar bangunan. Mereka berteriak, gempa!

Di dalam bus saja kami merasakan getaran gempa yang cukup kuat. Menguncang-guncang secara vertikal. Dalam sekejap, saya lihat rumah-rumah penduduk di pinggiran jalan ambruk. Orang terpekik dan berteriak-teriak. Gemuruh gempa seolah sama besarnya dengan gemuruh pekikan takbir yang diteriakkan ribuan orang di sepanjang jalan. Wajah-wajah mereka memancarkan ketakutan.

Bus terus melaju meski kendaraan di jalan tersebut semakin ramai dan padat. Dari arah kota Padang, orang banyak berlarian menggunakan kendaraan ke luar kota. Rupanya, dalam kondisi itu, muncul isu tsunami. Dan, konon, beberapa daerah di pinggiran pantai, menyembur air berwarna hitam dari lantai rumah-rumah penduduk. Peristiwa gempa bumi dan tsunami Aceh, telah mematrikan trauma bagi masyarakat kota Padang setiap kali datang gempa. Gempa kali ini, benar-benar kuat dari gempa-gempa sebelumnya. Dan diduga disusul tsunami.

Kami, di dalam bus ada sekitar 15 orang. Sebagian besar penumpang perempuan. Saya melihat wajah-wajah mereka juga penuh ketakutan dan tak henti-henti mulut berzikir dan mengucapkan takbir. Pemandangan robohnya rumah-rumah penduduk hingga ke Sicincin batas kabupaten Padang Pariaman, menghadirkan suasana mencekam di hati mereka, termasuk juga saya.

Sampai di Pasar Sicincin itu pula, sopir mendapat informasi bahwa perbukitan Lembah Anai jelang Padang Panjang, terjadi longsor yang hebat. Longsor batu-batu besar beserta tanah dinding bukit menimbun jalan. Sebuah mobil jenis avanza tertimbun. Juga seorang pengendara sepeda motor. Jalan ke Padang Panjang dan ke Bukittinggi hanya di jalur itu satu-satunya. Tidak ada jalur lain, kecuali jalur Malalak lewat Sicincin. Namun, Malalak juga terjadi longsor yang lebih dahsyat hingga menimbun ratusan rumah warga di sana.

Hari semakin malam. Di SPBU Sicincin orang sangat ramai mengisi BBM. Sebab dalam kondisi seperti itu, esoknya akan terjadi kelangkaan BBM. Penumpang lainnya, memilih bertahan di Sicincin, dan saya tidak tahu mereka menumpang tidur di mana, atau mungkin juga balik ke Padang. Yang pasti, malam itu saya harus pulang ke rumah. Istri dan anak-anak sudah mengkhawatirkan saya, sebab mereka mendengar berita di televisi gempa bumi di Padang cukup parah. Mereka sempat menelpon saya. Batin saya juga sudah tidak enak. Malam ini juga saya harus pulang ke Padang Panjang.

Setelah bernegosiasi harga dengan tukang ojek, akhirnya saya menumpang sepeda motor menuju Padang Panjang. Namun sampai di perbatasan Lembah Anai, tukang ojek bilang, tidak mungkin menembus jalan karena di tengah jalan di kawasan Singgalang Kariang, jatuh dua batu sebesar truk menghambat jalan. Pikiran saya semakin panik. Suasana gelap gulita. Pikiran keadaan keluarga semakin membayang di benak saya.

Tukang ojek yang saya tumpangi motornya itu menyerah mengaku tidak berani melanjutkan perjalanan. Suasana benar-benar sepi. Di kiri tebing bukit yang longsor, di kanan sungai berbatu yang terjal dan dalam. Kendaraan yang biasa melintas di kawasan tersebut tak tampak satu pun. Malam itu saya tetap bersikeras melanjutkan perjalanan, sendirian.

Usai membayar ongkos ojek, saya turun dan nun di kejauhan saya melihat seorang laki-laki berjalan sendirian dengan menggunakan senter menuju arah Padang Panjang. Saya panggil-panggil orang itu. Tidak menyahut. “Pak, tunggu saya. Kita jalan bersama!” teriak saya. Tapi lagi-lagi orang itu tidak menggubris.

Saya kejar orang itu. Sementara di atas bukit terdengar gemuruh bebatuan yang jatuh. Jantung saya berdetak. Di batin saya berguman, “Ya Allah, jika sampai di sini ajal saya, saya ikhlas menerima. Tapi saya ingin bertemu istri dan anak-anak saya di rumah.”

Setelah mendekati orang yang membawa senter itu, akhirnya saya baru menyadari bahwa orang itu bukan orang waras. Dalam berjalan, dia bergumam-gumam sendirian, menyebut-nyebut nama keluarganya yang mati tertumbun longsor di Padang Pariaman. Sepertinya dia stres berat. Di saat itu bulu kuduk saya merinding. Saya tinggali orang itu, terus berjalan di antara bebatuan dan longsoran tanah yang menutupi badan jalan.

Dalam perjalanan di tengah gelap gulita itu, saya mendapati dua batu besar yang menutupi badan jalan. Batu longsoran yang disebut tukang ojek dan sopir bus tadi. Ya Allah, akankah saya selamat sampai di rumah?. Longsoran-longsoran kecil terus jatuh dari atas bukit. Sekali-kali saya berjongkok sambil menutupi kepala saya dengan kedua telapak tangan. Kalau-kalau longsor itu menimpa saya.

Saya terus berzikir dan memohon pertolongan Allah. Akhirnya, dengan keberanian seadanya, saya lewati dua batu besar itu. Alhamdulillah, selamat. Tidak terjadi apa-apa. Saya terus berjalan. Nun, di kejauhan di Silaing Kariang, saya lihat samar-samar lampu kendaraan dinyalakan. Saya dekati arah itu. Ternyata, di sana ada sekitar 15 orang, laki-laki dan perempuan, juga beberapa anak-anak yang menggigil kedinginan. Sebab, malam itu hujan turun lebat. Orang-orang itu, rupanya mereka terjebak longsor dan tidak dapat lewat. Terpaksa mereka menunggu pertolongan.

Melihat kondisi itu, timbul iba saya kepada anak-anak dan para perempuan yang kedinginan. Saya katakan kepada mereka, kita harus cari pertolongan. Akhirnya, bersama tiga orang laki dan seorang perempuan yang juga punya tujuan sama ke Padang Panjang, kami berjalan menembus longsoran. Sepanjang perjalanan, bukit-bukit yang kami lewat di bawahnya, terus bergemuruh menjatuhkan longsoran-longsoran kecil. Suasana itu benar-benar menakutkan dan mencekam kami yang berjalan dalam gelap.

Setelah menempuh perjalanan lebih 20 km dari lokasi kami semula, akhirnya kami selamat hingga memasuki perbatasan Padang Panjang. Tiga orang teman jalan saya itu, mereka langsung menuju rumah mereka dengan perasaan ampur aduk. Saya terus ke kota dengan menumpang ojek. Di Padang Panjang saya langsung melapor ke posko Radio Rapi (Radio Antar Penduduk Indonesia). Malam itu, jam sudah menunjukkan pukul 23.00, beberapa petugas radio siaga di posko dan menyiarkan kondisi terkini gempa bumi dan tanah longsor. Kepada mereka, saya ceritakan kondisi orang-orang yang terjebak longsor di Singgalang Kariang, kawasan Bukit Lembah Anai. Mereka kedinginan dan kelaparan.

Malam itu juga, beberapa petugas tanggap bencana kota Padang Panjang, menggunakan mobil rescue dan beberapa alat untuk menggevakuasi tanah longsor, menyelamatkan orang-orang yang terjebak di lokasi longsor. Mereka membawa makanan, khususnya mie instan dan selimut. Saya tidak ikut lagi, karena kondisi saya malam itu benar-benar letih setelah menempuh perjalanan puluhan kilometer jauhnya, jalan kaki. Saya pun disambut suka cita oleh keluarga di rumah karena saya dalam keadaan selamat dan terhindar dari musibah.

(Diceritakan Asril Dt Pangulu, Ketua PWI Padang Panjang kepada Muhammad Subhan, Padang Panjang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar