Jumat, 01 Januari 2010
MOS yang Membodohkan
Oleh: Muhammad Subhan
Minggu ini adalah minggu pertama siswa baru masuk sekolah, mulai dari tingkat SD, SMP dan SMA. Bagi mereka yang naik kelas atau lulus Ujian Nasional (UN) memasuki kelas baru atau sekolah baru merupakan kegembiraan tersendiri. Dan, tentu pula, bukan saja kelas baru yang mereka dapatkan, orang tua siswa juga telah menyiapkan segala hal berbau baru untuk keperluan anak-anak mereka tercinta. Mulai dari pakaian baru, tas baru, sepatu baru, buku baru, dan berbagai peralatan serba baru lainnya.
Bagi siswa yang mendapat semua benda-benda baru dari orang tua tercinta itu, tentu saja membuat mereka sangat gembira. Semangatnya belajarnya semakin tumbuh. Jika malam tiba mereka berharap segera datang pagi agar mereka bisa bersekolah. Di sekolah, mereka mendapati teman baru, guru baru, meja dan kursi belajar baru, serta mata pelajaran baru. Hari-hari mereka jalani dengan riang gembira.
Meski di satu sisi siswa merasa gembira dengan suasana yang baru itu, namun disisi lain banyak pula di antara mereka—dan juga orang tua mereka—yang mengeluh mengapa di hari pertama masuk sekolah, khususnya bagi siswa baru, masih juga ada sekolah yang melakukan kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) yang tidak mendidik. Tidak ubahnya seperti kegiatan di masa-masa sebelumnya yang disebut “ospek” atau “perpeloncoan” yang tidak jarang menimbulkan korban fisik hingga nyawa siswa.
Umumnya, siswa baru baik di SMP dan SMA yang mengikuti MOS diserahkan kepada para senior (kakak kelas) mereka untuk mengikuti apa yang dinamakan kegiatan pengenalan sekolah. Tapi benarkah siswa diperkenalkan kepada sekolah mereka sebenar-benarnya? Nampaknya belum seperti apa yang diharapkan!.
Lihatlah di masa orientasi itu, siswa yang mengikuti MOS terlihat tidak selayaknya seperti seorang pelajar yang intelek. Para senior mereka—dan ini agaknya seperti dilegalkan oleh pihak sekolah—memerintahkan para siswa baru itu memakai atribut yang bukan lumrahnya seorang siswa. Mereka disuruh memakai tas plastik (asoi) yang harus disandang pula dari rumah (di jalanan menuju sekolah ditonton oleh banyak pasang mata), dua buah kokarde yang ditulis satu nama asli mereka dan satunya lagi apa yang disebut nama “suci” dan digantung di leher mereka. Lalu mereka juga disuruh membuat topi dari kertas koran atau kertas karton berbentuk perahu terbalik atau seperti topi badut. Tak jarang mereka dihardik, dibentak-bentak, jika tidak disiplin selama masa kegiatan itu. Tak jarang pula dikenakan hukuman fisik, seperti push up, sit up, jalan jongkok, berlari keliling lapangan, maupun hormat kepada tiang bendera selama waktu yang ditentukan.
Sekilas semua kegiatan itu terkesan lucu, meski sebenarnya adalah memuakkan. Lembaga pendidikan formal yang seharusnya menggambarkan perilaku orang-orang terdidik malah menjadi lembaga yang membodohi anak didiknya. Padahal para orang tua mereka telah bersusah payah mengeluarkan ratusan ribu bahkan jutaan rupiah untuk membeli segala peralatan baru yang seharusnya benar-benar mereka pakai di hari-hari pertama sekolah.
Benar memang masa orientasi itu beberapa hari saja, sudah itu siswa akan belajar secara normal di sekolah. Namun sadarkah kita bahwa yang beberapa hari itu telah menanamkan kesan negatif bagi siswa selama tiga tahun mereka belajar? Maka ketika tahun depan siswa baru hari ini naik kelas lalu mereka pun menjadi kakak kelas (senior), lalu mereka pun akan berbuat sama kepada adik-adik kelas mereka seperti apa yang dulu pernah mereka dapatkan. Disinilah akan tumbuh mental ‘balas dendam’ senior kepada junior yang berurat berakar dan terjadi bertahun-tahun, tersistem dengan rapi yang dinikmati begitu saja, baik oleh pihak sekolah maupun oleh pihak Dinas Pendidikan di masing-masing daerah.
Seharusnya, di era modernisasi hari ini, tidak ada lagi istilah orientasi yang berbau perpoloncoan. Semua orientasi kepada siswa di sekolah harus benar-benar beraroma pencerdasan yang menimbulkan kesan positif bagi mereka sepanjang masa. Hak otonomi sekolah harus punya kebijakan itu dengan tidak lagi menyerahkan persoalan MOS kepada siswa senior. Para gurulah yang harus terlibat langsung kepada siswa baru karena mereka akan berinteraksi aktif dengan guru-guru mereka di dalam kelas nanti. Siswa senior tidak lebih sekedar sebagai pembantu tugas-tugas guru dalam menyukseskan kegiatan orientasi itu.
Lalu yang terpenting juga di masa MOS adalah melibatkan pihak-pihak lain diluar sekolah dalam hal pemberian materi orientasi kepada siswa baru. Seperti mengikutsertakan MUI dengan materi haramnya berpacaran atau bagaimana etika pergaulan remaja muda mudi, pihak Kepolisian dengan materi mewaspadai bahaya narkoba dan sanksi bagi siapa yang melakukan tindakan kriminalitas, juga motivator-motivator lain diluar sekolah seperti ESQ (Emosional Spiritual Question) yang dapat memberikan spirit kepada siswa untuk menjadi manusia tangguh dan berprestasi di sekolah. Semua itu akan lebih bermanfaat dan berkesan bagi siswa baru daripada melakukan kegiatan orientasi yang tidak bermanfaat dan hanya menjadikan mereka “badut-badut” yang seolah tidak berpendidikan. ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar