Jumat, 01 Januari 2010

Warga “Bukittinggi Coret”


Oleh: Muhammad Subhan

SUATU hari, ketika duduk-duduk di kawasan GOR H. Agus Salim Padang, saya berjumpa dengan seorang kawan baru. Di sebuah lapau minuman kami berbincang-bincang panjang lebar tentang berbagai persoalan. Mulai dari masalah kesumpekan kota Padang hingga berdebat soal politik paska Pilpres. Kawan baru saya ini orangnya sangat supel. Enak diajak berdiskusi. Dia juga humoris.

Diujung diskusi saya berkesempatan menanyakan dimana asal daerahnya, sebab diawal pertemuan saya lupa mengungkit soal itu. Spontan dia bilang, di Bukittinggi. Oya, wajah saya tentu cerah, karena sempat dua tahun saya bertugas di Kota Jam Gadang itu. Tentu, saya punya banyak kenangan di Bukittinggi. Lalu saya tanya lagi, Bukittingginya dimana? Spontan pula dia menjawab, di Kapau. Mendengar nama Kapau, tentu tersenyum saya. Setahu saya, Kapau itu ada di Kecamatan Tilatang Kamang yang notabene berada di wilayah administratif Kabupaten Agam. Saya tidak protes, takut kawan saya itu malu. Biarlah.

Pertemuan dengan kawan baru di Padang itu mengingatkan saya pula pada cerita yang sama ketika beberapa tahun lalu saya berkesempatan singgah di Jakarta. Di Jakarta ada perkumpulan warga asal Kota Padangpanjang. Saya sempat pula bertemu dengan seorang kawan baru disana. Dia mengaku berasal dari Padangpanjang. Saya tanya Padangpanjangnya dimana? Ringan dia menjawab, di Batipuh. Saya pun mengernyitkan kening, bukankah Batipuh itu berada di wilayah Kabupaten Tanah Datar? Tapi lagi-lagi saya diamkan saja. Biarlah.

Bukittinggi memang sudah cukup dikenal. Popularitas kota ini menjadikannya sebagai ikon pariwisata Sumatera Barat. Tidak salah karena Bukittinggi memang indah, berkembang pesat, dan memiliki banyak objek wisata. Lebih 50 persen masyarakatnya hidup dari sektor pariwisata.

Karena perkembangan kota yang semakin padat, muncullah berbagai tuntutan khususnya dari kalangan tokoh masyarakat dan elit politik untuk memperluas wilayah kota ini. Lalu lahirlah PP 84/1999. Tentu saja PP ini menimbulkan pro kontra. Sebab inti dari PP adalah masuknya sebagian wilayah Agam ke Bukittinggi yang secara langsung nantinya akan mengurangi luas wilayah administratif Kabupaten Agam. Tapi syukurlah, persoalan PP 84/1999 ini tidak dipeributkan lagi, meski sebelumnya muncul wacana/isu pemekaran di Kabupaten Agam yang berbatasan dengan Kota Bukittinggi (Agam Timur).

Nah, sejumlah nagari yang dimasukkan kedalam PP 84/1999 inilah, kemudian muncul joke (guyon) di tengah masyarakat bahwa mereka menjadi warga “Bukittinggi Coret”. Dan, ternyata, seperti jawaban kawan saya itu, mereka pun senang menyebut asalnya dari Bukittinggi, meski sebenarnya berasal dari Agam. Tapi saya kira, biarlah. Tidak terlalu dipersoalkan selagi mereka tetap berkampung halaman di daerah asalnya.

Namun yang pasti, terlepas dari persoalan PP 84/1999, Bukittinggi dan Agam benar-benar tidak bisa dipisahkan. Bagai dua sisi mata uang. Bukittinggi itu “Kotonya Rang Agam”. Tidak ada yang membantah. Dulu, pusat pemerintahan Agam di Bukittinggi. Dan, bisa disebut pula perekonomian Bukittinggi digerakkan oleh masyarakat Agam. Pasar Atas, Pasar Bawah, Pasar Banto, Pasar Aur Kuning, mayoritas masyarakat Agamlah yang memasok kebutuhan pasar, mulai dari sayur mayur, beras, palawija, hingga hasil kerajinan dan konveksi. Begitupun, tanpa fasilitas pasar yang disediakan Bukittinggi, tentu kesulitanlah warga Agam memasarkan barang-barang produksi mereka. Disini berlaku hukum sebab-akibat, saling membutuhkan satu dengan yang lain.

Biarlah joke tentang warga “Bukittinggi Coret” itu berkembang di tengah masyarakat. Namun yang pasti, istilah itu tidaklah mengurangi semangat persatuan dan kesatuan kedua daerah untuk terus giat menggencarkan pembangunan. Dan, apa yang telah dilakukan pemerintah kedua daerah mengembangkan kedua kawasan harus terus dilanjutkan, lebih cepat lebih baik, untuk kesejahtera masyarakat kelas grass root (masyarakat kecil) yang faktanya mereka sering terlindas oleh pesatnya pembangunan kota. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar