Sabtu, 02 Januari 2010

Polemik Kebudayaan Indra Utama dan Muhammad Subhan ;-) Berkesenian di Padang Panjang



Judul di atas hanya pemancing diskusi saja. Kita sama mafhum, budaya polemik, kurun 10 tahun terakhir semakin hilang di koran-koran lokal Sumatera Barat. Alasan pertama karena media kurang memberikan ruang polemik itu. Macam-macam sebabnya. Koran pun kering dari budaya polemik. Kehadiran facebook yang dihuni oleh jemaah fesbukeriyyah secara langsung menjadi media pewarta warga, memberi ruang polemik yang telah mati itu.

Saya dan Kanda Indra Utama—Dosen STSI Padang Panjang yang sekarang melanjutkan studi di Malaysia—mulanya tidak bermaksud berpolemik. Namun dalam perjalanan diskusi agaknya mengarah ke polemik itu, seperti mencari siapa dulu telur atau ayam. Diskusi ini tentang aktivitas berkesenian di kota Padang Panjang, khususnya dalam soal membina generasi muda agar terhindar dari berbagai pengaruh negatif. Bagi saya sangat mencerahkan. Untuk memperkaya diskusi ini, kawan-kawan saya undang turut memberikan masukan, pemikiran. Sebagai pembuka diskusi, di bawah ini saya review sedikit diskusi saya dengan Kanda Indra Utama. Selamat berdiskusi:

***

Indra Utama: Saya kira, ada satu elemen masyarakat di Padang Panjang yang bisa dilibatkan atau diajak ikut serta dalam proses pembinaan mentalitas remaja, yaitu SENIMAN. Masalahnya, mau tidak pemerintah Kota Padang Panjang mendukung berdirinya wadah seniman untuk mereka bisa berbuat bagi masyarakatnya. Artinya, dukungan bukan hanya dalam bentuk pernyataan dan gunting pita, tetapi termasuk dalam masalah pendanaan operasional kegiatannya. So, dengan demikian, diskusi yang anda apungkan pasti akan lebih berarti karena ada action positif yang mengikutinya.

Muhammad Subhan: Pertanyaan ini agaknya Kanda Edwin Anas yang lebih berkompeten menjawab. Namun demikian saya yakin, jika seniman Padang Panjang kompak dan bersatu, Pemko pasti akan mensupport bantuan dana. Sayangnya, pengamatan saya selama ini, seniman cenderung berjalan sendiri-sendiri. Tak hanya di Padang Panjang yang punya STSI, juga di Padang dan Bukittinggi. Bukankah kita, Kanda dan saya sudah melihat kondisi seniman di Bukittinggi bagaimana? Ketika pengurus Dewan Kesenian Bukittinggi yang baru dibentuk, seniman-seniman lainnya merasa tidak diikutkan. Kapan seniman mau bersatu? Saya kira, di Padang Panjang khususnya, harus ada penggerak yang dapat menyatukan para seniman, bukan hanya karyanya, tapi visi dan misinya untuk bersama-sama berjalan seiring pemerintah daerah memajukan kota ini. Saya yakin Pemko akan sangat mendukung. Kemudian, di Padang Panjang juga tidak terlihat ada wadah tempat berkumpulnya seniman, semacam taman budaya atau gedung kesenian yang representatif. Gedung kesenian bukan sekedar untuk tampilnya pertunjukan, tapi kita benar-benar berkumpul, berdiskusi. STSI saya kira gudangnya seniman, tapi gaungnya sangat lemah sekali dan cenderung main di dalam, minus yang keluar.

Indra Utama: Saya kira perlu kita luruskan dulu cara pandang kita terhadap STSI. STSI itu buka lembaga kesenian sekalipun di dalam sana semua orang berkesenian. STSI itu hanyalah sebuah sekolah, aktivitas orang-orang di dalam sana adalah aktivitas sekolah, kebetulan bidangnya kesenian. Pertanggungjawaban mereka di STSI sudah jelas yaitu kepada Depdiknas cq Dirjen Dikti. Nah, kalau mau melibatkan mereka dalam kacamata lembaga kesenian, maka kita harus memandangnya dari kacamata manusianya, bukan lembaganya. Bukankah orang di STSI itu, kalau mereka berada di luar pagar kampus, adalah masyarakat Padang Panjangb?. So, kalau mereka masyarakat Padang Panjang, maka kewajiban kita sebagai masyarakat itu bersama pemerintah untuk membangun aktivitas kesenian di kota Padang Panjangb. Jadi cara berpikirnya dibalik, kita, orang Padang Panjang ini, memanfaatkan keberadaan STSI, yang kebetulan berada di Padang Panjang, untuk keperluan membangun aktivitas masyarakat kota Padang Panjang. Saya kira begitu.

Muhammad Subhan: Saya malah berpikir sedikit berbalik dari pemikiran Kanda. Karena STSI sebuah sekolah yang didalamnya mendidik manusia (mahasiswa) di bidang kesenian, maka mereka yang telah terdidik hendaknya meleburkan diri di dalam masyarakat, membangun dunia berkesenian itu sendiri. Sebab, masyarakat umum mayoritas tidak mengerti kesenian kecuali sebagai penikmat seni saja. Kawan-kawan di STSI harus paham kondisi ini, tidak sekedar mengharapkan perhatian pemerintah saja, namun menunjukkan eksistensinya di luar, melebur diri bersama masyarakat menciptakan aktivitas kesenian. Selama ini kan kurang nampak, kecuali STSI diundang dulu baru berkesenian. Ini yang salah. Pemerintah, sebenarnya, jika saya cermati, sedang menunggu aktivitas berkesenian masyarakat Padang Panjang yang tentu di dalamnya ada orang-orang STSI. Jika aktivitas itu sudah tampak, maka yang namanya dana/bantuan/dll pasti akan mengalir. Di samping itu, pemerintah daerah memang sudah seharusnya memanfaatkan keberadaan STSI sebagai sekolah yang menciptakan seniman.

Indra Utama: Sorry Han, tanpa mengurangi isi dan makna, kalimat yang tadi saya perbaiki dulu, sebab setelah dibaca ulang agak sedikit narsis. Malu ambo. Ha-ha-ha. Oke, gini Han. Menurut ambo pandangan Subhan agak bercampur-baur antara membicarakan persoalan aktivitas kesenian dalam kehidupan masyarakat Kota Padang Panjang dengan membicarakan tentang keberadaan STSI sebagai lembaga. Nah, kita mau bicara yang mana? Tentang STSI atau tentang aktivitas kesenian di Padang Panjang? Kalau mau bicara tentang STSI, barangkali penjelasan saya sudah cukup jelas. Bahwa STSI itu adalah lembaga pendidikan. Semua aktivitas yang ada di dalam lembaga itu berorientasi kepada kependidikan. Jadi, di dalam sana, hanya ada satu kegiatan saja, belajar dan mengajar. Kebetulan bidang yang menjadi fokus pembelajarannya adalah kesenian. Oke, mari kita fokus dulu kepada STSI sebagai lembaga pendidikan. STSI sebagai lembaga pendidikan, orientasi menejemen dan pertanggungjawaban kelembagaannya sudah jelas, yaitu kepada pemerintah, dalam hal ini adalah Dirjen Dikti. Sebab, apa saja fasilitas dan kegiatannya adalah berhubungan dengan pendidikan. STSI tidak melayani aktivitas kesenian yang tidak berkait dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, dana yang ada di STSI tidak ada yang tidak berhubungan dengan pendidikan. Semuanya mesti berkait dengan aktivitas pendidikan, dan semuanya pula, sekali lagi mesti dipertanggungjawabkan sesuai fungsinya sebagai lembaga pendidikan. Jelas diskusi kita bukan membicarakan masalah STSI karena keberadaan dan pertanggungjawaban lembaga itu sudah jelas. Biarlah lembaga itu sibuk mengurus dirinya dengan berbagai persoalan penddikan yang ada di dalam sana. Sekarang mari kita diskusi tentang persoalan aktivitas kesenian bagi masyarakat Padang Panjang. Sebenarnya, kota Padang Panjang boleh disebut bernasib baik (lucky) karena STSI ada di Padang Panjang. Coba bayangkan kalau lembaga itu ada di kota lain, terlebih kalau lembaga ini ada di propinsi lain. Maka tentu saja kota Padang Panjang atau Sumbar akan kehilangan satu potensi di mana lembaga ini, secara langsung maupun tidak langusng tentu akan memberikan manfaatnya kepada kota atau Sumbar. Oleh karenanya, jangan nafikan keberadaan lembaga ini di kota Padang Panjang. Jangan sebut bahwa STSI tidak berbuat apa-apa untuk kotanya. Saya kira kalimat itu bukan kata yang dikeluarkan oleh orang Padang Panjang. Sebab, orang Padang Panjang sendiri tentu paham dan merasakan bagaimana manfaat keberadaan lembaga ini di kotanya. Kalau melihat kepada jumlah seniman dari seluruh kota atau daerah yang ada di Sumbar, maka kota Padang Panjang memiliki kelebihan tersendiri. Sebab jumlah senimannya banyak. Bukankah masyarakat Padang Panjang yang tercatat sebagai mahasiswa dan dosen STSI itu bergerak di bidang kesenian. Masalahnya sekarang, sudahkah masyarakat seni ini diberdayakan untuk kotanya? Ini yang saya maksudkan pada tulisan sebelumnya agar potensi kesenian yang ada di dalam kehidupan masyarakat Padang Panjang segera diberdayakan. Lantas, bagaimana memberdayakan masyarakat seni ini? Itulah yang saya maksudkan lagi dengan membentuk lembaga kesenian (mohon dibedakan dengan lembaga pendidikan kesenian/STSI bukan lembaga kesenian). Terus, kalau lembaga kesenian sudah dibentuk, maka tentu harus didukung dengan pendanaan agar lembaga itu dapat melakukan kegiatannya. Nah, sekarang mari kita bicara tentang kesenian itu sendiri. Harus dibedakan lagi antara kesenian sebagai produk seni dengan kesenian sebagai aktivitas seni. Kalau kita bicara kesenian sebagai produk seni, maka cost-nya harus ada. Produk kesenian bukanlah barang gratis. Untuk make up saja sudah memakan biaya, belum lagi pakaian, biaya latihan, dan segala macam tetek bengeknya. Dan, jangan lupa, kesenian adalah juga profesi, dan pelaku-pelaku seninya juga manusia. (Ha-ha-ha… ikut lagu rocker juga manusia...). Sama dengan wartawan, dokter, pengacara, atau apa saja yang berkait dengan profesi. Namun ada sisi lain yang dapat kita bicarakan dalam konteks menumbuhkan kehidupan kesenian di tengah masyarakat Padang Panjang, yaitu KESENIAN SEBAGAI AKTIVITAS. Nah, saya kira di sinilah fokus pembicaraan kita. Bagaimana menumbuhkan aktivitas kesenian pada generasi muda kota Padang Panjang. Bukankah aktivitas seni yang bagus dan terarah dapat mengurangi generasi muda dari kenakalan remaja, narkoba, atau melihat situs porno di warnet. Gimana Bung?

Muhammad Subhan: Komentar da In: KESENIAN SEBAGAI AKTIVITAS. Tapi, agaknya, saya belum melihat adanya aktivitas kesenian yang benar-benar hidup di Padang Panjang itu. Mungkin karena saya orang luar ya, he-he-he ... Saya juga menjemput tulisan da In sedikit di atas: “... diskusi kita bukan membicarakan masalah STSI karena keberadaan dan pertanggungjawaban lembaga yaitu sudah jelas. Biarlah lembaga itu sibuk mengurus dirinya dengan berbagai persoalan pendidikan yang ada di dalam sana...”. Oke, saya sepakat pemisahan tema diskusi itu. Tapi sayangnya, dalam kalimat-kalimat selanjutnya, Da In juga masih membicarakan tentang STSI. Artinya, kita tidak dapat “MEMISAHKAN” peran STSI sebagai lembaga pendidikan yang mencetak seniman di kota ini dan turut menghidupkan dunia berkesenian di tengah masyarakat Padang Panjang. Saya tangkap pemikiran Da In, adalah bagaimana Pemerintah memanfaatkan keberadaan seniman dengan membentuk lembaga kesenian. Pertanyaan saya, kenapa sedikit-sedikit pemerintah. Sedikit-sedikit pemerintah. Pemerintah kok sedikit? (he-he-he, guyon Pak Isa dalam acara Democrazy ;). Saya ingin mengatakan, bahwa seniman, berbuatlah dulu. Beraktivitaslah. Baik menciptakan kesenian sebagai produk seni maupun kesenian sebagai aktivitas. Ciptakan semua itu dulu. Kalau sudah bergerak, baru ajukan proposalnya ke pemerintah. Da In kan tahu, pemerintah di mana pun berada, selalu direcoki oleh persoalan BIROKRASI. Taruhlah SKPD terkait setuju, belum tentu pimpinan kota setuju pula. Pimpinan kota setuju, eh malah Kepala SKPDnya tidak setuju. Artinya, seniman harus pandai “melobi” pemerintah. Pandai-pandai mendekatkan diri ke pemerintah, jika memang ada yang kita harapkan. Selama ini, saya lihat, seniman di manapun, menunggu perhatian pemerintah. Kenapa harus cari perhatian? Beraktivitas sajalah dulu. Saya yakin, jika sudah ada aktivitas, bukan saja pemerintah kota Padang Panjang yang akan memperhatikannya, namun juga pemerintah kota-kota lainnya yang punya simpatik. Saya salut pada Penyair Taufiq Ismail, dia terus berbuat walau hanya menulis dan membaca puisi. Namun penghargaan banyak diterima dari sana sini, termasuk pemerintah. Habibi juga memberikan award atas dedikasinya di dunia sastra, 200 juta. Dengan uang itu dia bangun Rumah Puisi di Aie Angek. Bahkan, tahun lalu, dia juga terima PEDATI AWARD di Bukittinggi. Apakah Taufiq Ismail meminta-minta semua penghargaan itu? Tidak. Dia beraktivitas. Dia menghasilkan produk seni. Dengan aktivitasnya itu pula, semua penghargaan layak dia terima. Ah, saya kira Da In lebih mafhum tentang hal ini. Apalagi Da In orang kesenian itu. Saya berharap, Da In menjadi pelopor dan penggerak, sepulangnya dari Malaysia nanti, untuk menghidupkan dunia kesenian di kota ini. Biarlah saya turut mendorong-dorong dari belakang, he-he-he... Maaf, jika ada kalimat saya yang kurang berkenan. Saya tercerahkan dengan diskusi ini. Tabik!

Indra Utama: Han. Ada beda antara aktivitas seni pertunjukan dengan bidang seni yang lain, misalnya sastra. Kalau aktivitas sastra seperti yang dilakukan Pak Taufik Ismail, cukup bekerja sendiri dengan secarik kertas dan pena. Terus, medianya pun sudah ada seperti surat kabar, majalah, dan percetakan, sekalipun itu tidak berarti bahwa aktivitas sastra mudah dilakukan. Kecuali kalau karya sastra itu dibuat musikalisasinya seperti yang dilakukan kelompok Intro di Payakumbuh. Itupun akhirnya sudah menjadi seni pertunjukan. Artinya, aktivitas seni pertunjukan memerlukan pentas dengan segala peralatannya, latihan dengan segala peralatannya, dan melibatkan banyak orang. Tapi bagaimanapun saya dapat menangkap inti masalah yang Anda sampaikan, bahwa seniman mestilah berkerja profesional, dan tidak seharusnya merengek kepada pemerintah. Betul Han, saya setuju itu. Banyak seniman yang sudah bekerja demikian: Rendra, Sardono, Gusmiati Suid, Hoerijah Adam, dan banyak lagi (kalau semua nama-nama itu mau dibuat selevel Pak Taufik Ismail). Namun saya kira diskusi kita bukan tentang seniman. Fokus diskusi adalah tentang AKTIVITAS KESENIAN DI TENGAH KEHIDUPAN MASYARAKAT kota Padang Panjang. Terus, kalau kita mau bicara tentang aktivitas kesenian di tengah kehidupan masyarakat, siapa sebenarnya yang sedang kita bicarakan? Senimankah atau pemerintahnya? Apalagi kalau tujuan pembicaraan itu berkait dengan sasaran untuk membina mentalitas generasi muda. Apakah seniman memang bertanggung jawab terhadap pembinaan mental generasi mudanya? Sama halnya ketika kita membicarakan aktivitas olahraga di tengah kehidupan masyarakat. Siapa sebenarnya yang kita bicarakan? Olahragawannyakah atau pemerintah? Saya kira, kalau kita bicara tentang aktivitas yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, mau tidak mau adalah berkait dengan pemerintah, sebab pemerintahlah penanggungjawab utama adanya aktivitas-aktivitas itu. Pemerintah memiliki segalanya dan punya kekuasaan untuk mengadakan aktivitas itu. Pemerintah punya dana, punya lembaga untuk mengurus dan juga punya fasilitas. Sekarang kita sudah tahu bahwa seniman dapat diberdayakan untuk melaksanakan kegiatan yang bertujuan membina mentalitas generasi muda, namun organisasinya belum ada. Pemerintah tentu harus melihat organisasinya dulu, sama dengan melihat KONI dalam mengurus aktivitas olahraga, sebab pemerintah tidak bisa memberikan dana kepada perorangan untuk mengurus aktivitas-aktivitas itu. Saya kira kita tidak a-priori kepada pemerintah. Ini hanya masukan saja kepada pemerintah kalau memang kita mau menanggulangi permasalahan yang anda kemukakan, yaitu permasalahan yang berkait dengan mentalitas remaja kita.

Muhammad Subhan: Saya kira, Taufiq Ismail hanya satu contoh saja. Kebetulan dia konsen di bidang sastra. Namun, berbicara kesenian, saya kira tidak melihat satu bidang kajian saja, tapi holistik, menyeluruh. Dan, seniman-seniman yang beraktivitas menghasilkan produk seninya secara profesional, mereka akan lebih mendapatkan tempat, biar sekalipun tanpa perhatian pemerintah. Sebab, saya berfikir begini, jika terlalu banyak campur tangan pemerintah, idealisme seniman akan terganggu, mereka akan tidak lagi kritis, berkarya sesuai “pesanan” atau apa maunya pemerintah. Inilah yang ditolak oleh seniman-seniman profesional. Tentu Da In menyimak bagaimana sejarah kemelut Manifes Kebudayaan dengan Lekra. Ini pelajaran berharga buat kita hari ini. Nah, di Padang Panjang, bagaimana agar aktivitas berkesenian itu tumbuh dan hidup, saya kira harus dimulai oleh masyarakat itu sendiri. Para seniman, yang salah satunya lahir dari STSI, harus menjadi pelopor, penggerak, pendorong, agar adanya aktivitas itu. Tidak lagi berjalan sendiri-sendiri. Mobilisasi dulu masyarakat, bangun kebersamaan. Nanti, setelah ada organisasinya, apapun nama yang diinginkan, baru libatkan pemerintah, karena seperti kata Da In pula, pemerintah punya dana, punya fasilitas. Sebab, bagaimana pemerintah mau menggerakkan jika aktivitas berkesenian itu sendiri tidak tampak di Padang Panjang ini? Atau kalangan senimannya yang malu-malu kucing, atau pandainya hanya mengkritik di luar saja? Kalau sudah ada aktivitas itu, ayo silaturahim ke pemerintah. Sebutkan, "Pak kami punya ini, kami ada aktivitas anu, kami mendirikan organisasi ini, mohon arahan, mohon bimbingan, mohon bantuan”. Nah, nanti peran kawan-kawan wartawan, termasuk saya, mengeksposenya besar-besar di media, biar gaungnya luas, biar tahu orang di luar sana bahwa di Padang panjang memang ada aktivitas berkesenian itu. Eksistensi yang dibangun dari bawah, dari kalangan seniman dan masyarakat sendiri, saya kira akan lebih kuat, akan lebih punya tanggung jawab untuk mempertahankannya. Bukan instan, bukan karbitan, ketika ada dana bergerak, tapi ketika tidak ada bantuan pemerintah lalu ngambek, cengeng, menghujat dan menyalahkan pemerintah, menganggap pemerintah menganaktirikan kesenian, dan lainnya. Jadi, menurut hemat saya, aktivitas berkesenian itu harus ditumbuhkan dulu dari bawah. Makanya, saya punya harapan besar kepada kawan-kawan di STSI (terlepas STSI sebuah lembaga pendidikan yang bertanggung jawab ke Depdiknas), entah itu mahasiswa, dosennya, alumni, tolong gerakkan ini. Sebab kawan-kawan punya ilmu, punya semangat, punya kreativitas. Kami yang masyarakat ini tidak punya apa-apa, tapi jika dibutuhkan masyarakat akan bergerak, memberi dukungan, support, dan doa tentunya.

Indra Utama: Han, kita seperti sedang diskusi tentang “mana yang lebih dulu telur dengan ayam”, ya? Ha-ha-ha-ha... Oke Han. Ada satu hal lagi contoh bagus yang boleh saya kemukakan di sini. Ali Sadikin, waktu menjadi Gubernur DKI, beliau mendirikan Taman Ismail Marzuki (baca buku memoir Ali Sadikin/fotokopinya pernah saya kasih satu untuk pak Suir Syam). Ali Sadikin beralasan dan menyatakan: “Akan kering batin masyarakat Jakarta kalau senimannya dibiarkan berkeliaran sendiri-sendiri”. Oleh itu, Bang Ali mendirikan TIM dan minta seniman mengurusnya. Katanya lagi, pemerintah tidak ingin ikut campur urusan kesenian, biarlah seniman saja yang menentukan nasipnya sendiri. Pemerintah menyediakan fasilitasnya. Maka, untuk mengisi kegiatan di TIM, dan dengan kuasa Bang Ali, pemerintah Jakarta menumbuhkan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Akademi Jakarta di mana semua pengurusnya adalah seniman, dan bukan PNS/pejabat yang ada di birokrasi. DKJ merupakan organisasi yang mengurus aktivitas kesenian di TIM, sedangkan Akademi Jakarta (di mana status anggotanya adalah seumur hidup) mengurus tentang nilai-nilai yang dilahirkan seniman melalui aktivitasnya di TIM. DKJ kemudian menjadi rujukan bagi berdirinya dewan kesenian di seluruh Indonesia. Sekarang mari kita lihat aktivitas seni itu sendiri. Saya kira Anda dengan saya sudah sepakat bahwa kegiatan kesenian dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengisi batin generasi muda kita agar terhindar dari kehancuran moral. Bukankah aktivitas kesenian yang baik akan dapat menuntun mereka mengenali nilai-nilai yang baik pula, dan pada gilirannya akan membentuk perilaku mereka ke arah apa yang kita harapkan sebagai generasi penerus. Terus, mari kita lihat pula potensi kota Padang Panjang dalam bidang kesenian. Saya kira Anda dengan saya pun sudah sepakat bahwa kota Padang Panjang memiliki potensi yang besar dalam bidang kesenian dan menjadikan aktivitas kesenian sebagai sarana utama untuk mengembangkan dan sebagai promosi kota. Bukankah Padang Panjang banyak memiliki orang-orang seni yang bersekolah di perguruan tinggi seni yang ada di kota itu?. Nah, sekarang mana yang ingin didahulukan? Kalau pemerintah maunya menunggu aktivitas dari seniman, maka sebenarnya seniman sudah berbuat, tapi sepertimana yang Anda sampaikan, mereka kerja sendiri-sendiri untuk diri mereka sendiri pula, bukan untuk masyarakat. Sebab mereka hidup dan membiayai hidupnya dari keseniannya. Yang saya ingin bicarakan fokusnya adalah bagaimana 'kesenian' dapat menjadi satu aktivitas favorit masyarakat Padang Panjang dengan memanfaatkan tenaga-tenaga/orang-orang/seniman-seniman yang ada di Padang Panjang itu, sehingga apa yang kita harapkan agar generasi muda terhindar dari narkoba, kenakalan remaja, penyakit masyarakat dapat berkurang melalui aktivitas kesenian yang juga menjanjikan masa depan yang baik.

Muhammad Subhan: He-he-he... Benar da in, kita seperti mencari jawaban mana dulu telur atau ayam (tapi siapa yang tahu kalau Tuhan menciptakan keduanya bersamaan ;-). Tapi inilah letak kekayaan pemikiran dan wujud demokrasi. Kita saling harga menghargai. Sebenarnya, merunut kembali persoalan awal yang saya apungkan, fokus kita sudah agak menyimpang sedikit. Tapi tidak apa. Saya coba merangkai pemikiran Da In dan saya, lalu kita buat satu tema khusus tentang fokus diskusi ini. Kita coba minta pula tanggapan dari kawan-kawan lainnya yang saya kira turut menyimak disksusi ini. Ya, kita sepakat bahwa Padang Panjang memiliki potensi besar dalam bidang kesenian. Memang, pemerintah harus turut memperhatikan ini. Seniman juga harus berbuat, masyarakat juga berbuat. Intinya semua kita berbuat. Semoga dengan aktivitas berkesenian itu pula, generasi muda Padang Panjang terhindar dari berbagai pengaruh negatif. Kita tunggu respon dari kawan-kawan lainnya, saya alihkan tema khususnya ke catatan baru. Salam kreatif!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar