Cerpen Muhammad Subhan
“KAPAN kau pulang?” tanya perempuan itu.
“Bulan depan,” jawab sosok lelaki di hadapannya.
“Lama sekali?”
“Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.”
“Kerja apa?” tanya perempuan itu lagi.
Lelaki itu tak segera menjawab. Ia menghela nafas. Matanya menatap wajah perempuan itu dalam-dalam.
“Kenapa tak kau jawab?” desak perempuan itu lagi.
“Vi, maafkan aku. Aku disuruh bawa barang itu lagi.” Kata lelaki itu pelan. Ada seraut kerisauan di wajahnya. Dia merasa bersalah.
Mata perempuan itu berkaca-kaca. Basah.
“Kau menjadi kurir barang haram itu lagi?” Vi, perempuan itu, menatap tajam ke wajah lelaki di hadapannya. Setetes butiran bening jatuh di pipinya yang putih.
“Maafkan aku.” Kata lelaki itu.
“Maafkan katamu, Bram? Berapa kali sudah kau minta maaf? Maaf keberapa lagi yang harus aku berikan?”
“Aku terpaksa.” Jawab lelaki itu.
“Kau tega!” perempuan itu berlari meninggalkan lelaki itu. Ke arah pantai. Senja mulai turun.
Lelaki itu menunduk. Dia benar-benar merasa bersalah. Kesalahan yang berulang telah ia perbuat, kepada Vi, perempuan yang tak lain adalah istrinya.
Lelaki itu melangkahkan kakinya. Mendekat ke arah perempuan itu. Vi diam berdiri memandang laut. Vi ingin meleburkan dirinya pada laut. Semilir angin senja menampar-nampar wajah perempuan itu. Rambutnya yang panjang tergerai dipermainkan angin.
“Aku berjanji, ini yang terakhir kali,” kata Bram. Dia tak berani menatap wajah Vi. Bram hanya berdiri di belakang tubuh Vi. Vi membelakangi lelaki itu. Wajahnya masih menyemburatkan kesedihan.
Vi tak menjawab. Diam.
Senja telah tenggelam. Bersama kedukaan di wajah Vi.
***
Vi merintih. Perutnya terasa perih. Ia sedang hamil tua. Beberapa hari lagi ia akan melahirkan.
Bram, suaminya, belum juga pulang. Sudah hampir dua bulan. Padahal Bram berjanji kepergiannya hanya sebulan.
Vi tahu Bram akan membohonginya lagi. Karena perbuatan Bram bukan kali itu saja. Sudah berulang kali. Tapi Vi tetap sabar. Dia ingin jadi istri yang baik. Walau kebaikan tak pernah ia dapatkan dari Bram, suami yang ia cintai.
“Aduuuhh....” Vi mengerang. Rasa sakit di perutnya makin menjadi. Peluhnya menetes. Udara di rumahnya yang kecil terasa panas.
“Bi Ratna...” Vi setengah berteriak memanggil Bi Ratna, pembantunya yang setia menemani hari-harinya.
“Iya, Non,” perempuan setengah baya itu berlari pelan dari arah dapur menuju kamar Vi. Bi Ratna melihat wajah pucat Vi yang menahan kesakitan.
“Non kenapa? Non sakit?” tanya Bi Ratna.
“Perutku Bi, perutku sakit sekali. Achh, sakit, Bi...” Tangan kanan Vi mencengkram keras pundak Bi Ratna. Sementara tangan kirinya memegang perutnya yang makin terasa sakit.
“Duh, bagaimana ini, Non. Saya telepon saja Mas Bram, ya,” kata Bi Ratna.
“Jangan Bi. Jangan.”
“Lho, kenapa Non. Non Vi lagi sakit. Mungkin mau melahirkan. Mas Bram harus cepat diberi tahu,” desak Bi Ratna lagi.
“Kumohon jangan, Bi. Jangan...” Vi memelas.
“Baiklah, Non. Saya antar saja Non ke rumah sakit. Saya panggilkan taksi.”
Vi tidak menjawab. Dia hanya menganggukkan kepala. Pelan. Sementara rasa sakit makin tak bisa ia tahan.
Selang beberapa menit kemudian taksi datang. Sopir taksi turun membuka pintu samping. Bi Ratna memapah tubuh Vi ke dalam mobil. Vi masih merintih. Peluhnya makin banyak membasahi tubuhnya. Kaki mungil cabang bayi yang dia kandung terasa menendang-nendang perutnya.
Setengah jam kemudian, Vi telah berada di ruang kamar rumah sakit. Kain dan dinding-dinding berwarna putih. Aroma obat menyengat di sekitar ruangan. Ketika tubuhnya berbaring di atas dipan rumah sakit, Vi tak lagi merasakan apa-apa. Semuanya gelap. Vi tak sadarkan diri.
***
“POLISI datang! Cepat kemasi barang-barang, Bram!”
Bram dan dua orang kawannya kasak-kasuk. Tujuh orang petugas polisi berseragam lengkap datang tiba-tiba. Entah dari mana. Seolah polisi sudah mencium kalau di bilik kamar Bram menyimpan ganja. Bram memang baru datang, pagi tadi, membawa barang terlarang itu. Dia baru saja akan bernegosiasi dengan pembeli barang itu.
“Sial! Dari mana polisi datang!” Bram mengumpat.
Polisi masuk menggeledah kamar kos, di sebelah kamar Bram.
Bram dan dua kawannya berhasil kabur dari pintu belakang. Namun suara kasak kusuk Bram dan kawannya itu didengar polisi. Polisi sigap. Mengejar Bram ke arah belakang rumah kosan itu. Rawa-rawa membentang. Bram terjebak. Dua kawannya nekat mencebur ke dalam rawa. Berenang sekuat tenaga. Hilang di antara celah-celah pohon rawa yang besar.
Doorr!!!
Polisi melepas tembakan peringatan. Bram kaget. Bukannya Bram berhenti. Bram malah lari.
Doorr!! Dooorrr!!!
“Achhhh!!” Bram terpekik. Timah panas menembus betisnya. Bram tersungkur. Bersimbah darah.
***
“Oaaaaa.... Oaaaa....” Suara bayi mungil di bilik rumah sakit yang putih.
“Ibu Vi, selamat ya. Bayi ibu perempuan. Sehat dan cantik.” Bu dokter menggendong bayi dan meletakkan bayi mungil berbalut kain putih itu di sisi kanan kepala Vi.
Mata Vi berkaca-kaca. Dia tak tahu harus berkata apa. Bayinya lahir tanpa disaksikan suaminya tercinta.
***
Di bali terali besi kantor polisi, tubuh Bram menggigil. Bram merasakan seluruh tubuhnya dingin. Luka tembakan dibetisnya tak lagi ia rasakan. Kulit dan dagingnya terasa beku.
Bram penderita TBC. Sudah dua tahun dideritanya. Batuknya telah cukup parah. Mulutnya mengeluarkan darah.
Mata Bram terpejam. Dia tak pedulikan lagi tubuhnya yang sekarat. Dalam benaknya hanya ada wajah seorang perempun. Vi, istrinya yang ia tinggalkan dalam keadaan hamil tua dan sekarang telah melahirkan bayi mungil. Buah cintanya pada Vi.
“Aku mencintaimu, Vi.” Kata itu yang Bram ucapkan pertama kali pada Vi. Di sebuah pondok kayu di pinggiran pantai belakang kampusnya. Lima tahun silam.
“Bram, kau baru mengenal aku. Jangan secepat itu.” Vi menjawab malu. Pipinya bersemu merah.
Perempuan itu sebenarnya sudah lama menaruh hati pada Bram. Hatinya berbunga ketika Bram mengucapkan kata-kata cinta.
Bram memandang wajah Vi. Mata mereka bertatapan. Darah keduanya mendesir.
“Huhhkk....” Pri terbatuk. Mulutnya mengeluarkan darah.
“Bram, kau sakit?” Vi cemas. Saat itulah Vi tahu kalau Bram menderita TBC.
Sebulan setelah pertemuan itu, Bram dan Vi menikah.
***
Lima hari di rumah sakit, Vi bersama bayinya dibolehkan pulang ke rumah. Vi sudah bosan tinggal di rumah sakit. Vi pulang ditemani pembantunya yang setia, Bi Ratna. Bayi Vi, Bi Ratna yang menggendong.
Tiba di rumahnya yang mungil, mata Vi berbinar-binar. Dia bahagia telah melahirkan seorang bayi mungil yang cantik. Dalam benaknya terbayang akan memberikan kejutan jika Bram, suaminya pulang.
Namun alangkah kagetnya Vi ketika mendapati sepucuk surat terselip di celah bawah pintu rumahnya. Surat dari kantor polisi.
Dengan tangan gemetar Vi buka surat itu. Jantungnya berdegup kencang. Pikirannya kacau.
Bertambah kagetlah Vi ketika ia baca surat itu yang mengabarkan bahwa suaminya, Bram, ditahan polisi karena terlibat sebagai pengedar narkoba. Bram sekarang mendekam dalam penjara.
Belum selesai surat itu ia baca, tubuh Vi lunglai. Ia terjatuh. Pandangannya terasa gelap. Ia tak sadarkan diri.
Di bilik kamar, bayi mungilnya menangis dengan suara yang sangat keras.
***
Sore itu, menjelang shalat Ashar, di ruang tahanan kantor polisi terdengar suara gaduh. Seorang tahanan meninggal dunia. Dari mulutnya mengeluarkan darah.
Polisi sibuk mengamankan tahanan lainnya. Disangka polisi, lelaki itu tewas karena perkelahian sesama tahanan. Namun setelah diselidiki, lelaki itu meninggal karena sakit TBC yang dideritanya.
Esoknya, koran-koran memberitakan kematian lelaki itu dengan judul besar di halaman utama, “Pengedar Ganja Tewas Dibilik Penjara!”
***
Ketika senja turun, seorang perempuan berjalan di pinggiran pantai. Angin laut merusak jilbab di kepalanya yang telah tampak kumal. Pakaiannya tak terurus. Tapi auratnya masih tertutup. Ia menggendong sebuah boneka.
Angin senja menampar-nampar wajahnya.
Ombak melenguh.
Nun, jauh di masjid perkampungan, suara azan berkumandang.
Dari raut wajah perempuan itu terpancar kesedihan. Tapi kadang kala ia tertawa sendiri. Kadang pula menangis dengan air mata berlinang membasahi kedua pipinya. Berteriak-berteriak. Memanggil-manggil nama seorang lelaki. ***
Padang Panjang, November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar