Oleh: Muhammad Subhan
DEMOKRASI itu hanya ada di masjid. Di tempat lain tidak. Kalau pun ada yang mengaku-ngaku, itu demokrasi yang dibuat-buat. Live service. Maka masjid adalah universitas terbaik untuk belajar berdemokrasi.
Lihatlah pembelajaran demokrasi di masjid. Siapapun yang masuk masjid harus buka sepatu, buka sendal. Pejabat buka sepatu, tukang becak juga buka sepatu. Tentara buka sepatu, sipil juga buka sepatu. Tak ada warga kelas satu di masjid. Aturan tidak tertulis itu dipatuhi semua pihak.
Begitu pun di dalam masjid, seorang pengemis yang duluan datang berhak duduk di shaf terdepan. Sebaliknya seorang gubernur yang terlambat datang tempatnya di belakang pula, di shaf terakhir. Jangan mentang-mentang gubernur lalu melangkahi shaf orang yang berisi kemudian menyuruh pindah orang yang duduk di shaf depan. Tidak bisa. Yang cepat datang di depan, yang terlambat di belakang. Inilah pembelajaran kedisiplinan.
Dalam memilih imam yang akan memimpin shalat pun begitu. Yang berhak menjadi imam adalah orang yang fasih bacaan Qur’annya. Jika di antara jamaah ada dua orang atau lebih yang sama bagus bacaannya, maka yang dipilih adalah yang lebih tua usianya. Jika usianya sama pula, maka dipilih di antara mereka siapa yang lebih dahulu bermukim di daerah itu. Ini adalah pembelajaran intelektual dan kedewasaan seseorang yang akan diangkat menjadi pemimpin, imam di tengah masyarakatnya.
Walaupun jabatannya presiden, tapi bacaannya rusak, maka tidak layak ia menjadi imam. Makmum yang tahu imamnya rusak, ia akan menegur si imam dan meminta dengan hormat untuk mundur ke belakang. Sebab, jika imam rusak, alamat rusak pulalah ibadah shalat itu. Dosa lebih besar akan ditanggung seorang imam.
Dan, di masjid orang juga diajarkan untuk mendengar nasihat orang lain. Khutbah Jumat misalnya. Ketika khatib bicara menyampaikan nasihat, tak dibenarkan jamaah bicara. Jika bicara pula, batallah Jumatnya. Tapi dalam setiap kali khutbah Jumat sering pula terdengar orang bicara. Berkali-kali khatib mengingatkan, tapi dibawa lalu saja. Percumalah berpenat-penat dia datang Jumatan.
Di kehidupan sehari-hari pun hendaknya harus begitu, selalu mendengarkan nasihat yang diberikan orang lain. Selagi orang belum selesai bicara jangan dibantah. Dengarkan saja dulu. Inilah hikmahnya Allah menciptakan dua telinga kiri kanan dan satu mulut. Maknanya orang diminta untuk lebih banyak mendengar daripada bicara. Jika banyak mendengar ilmu akan bertambah, sebaliknya banyak bicara banyak pula salahnya.
Dan, nasihat itu tidak harus bersuara, namun juga perbuatan dan sikap yang dilakukan orang-orang di sekitar tanpa suara. Meski dari seorang anak kecil pun kebenaran itu datang, wajiblah kita menerimanya. Kebenaran selalu datang dari mana saja tanpa kenal tempat, waktu dan usia.
Sesaat akan shalat imam selalu mengatakan, “rapat dan luruskan barisan”. Makna ucapan ini tentu besar sekali. Jemaah di belakang imam yang menjadi makmum diminta merapatkan shaf dan meluruskan barisannya. Kedua tumit disejajarkan dan saling bersentuhan dengan jemaah di kiri kanan. Inilah simbol persatuan dan kesatuan umat Islam. Jika seorang muslim sakit, muslim lainnya ikut merasakan sakit. Ibarat sebatang tubuh yang utuh.
Begitu pun, ketika imam usai mengucapkan alfatihah, makmum serentak membaca “amin”. Gerakan-gerakan shalat, baik takbir, rukuk, i’tidal, sujud, semuanya mengikuti imam. Ini menandakan satunya ucapan dan gerakan. Seorang muslim harus bersikap konsisten dalam hidupnya. Tidak plin plan. Jika seorang muslim tidak konsisten disebut munafiklah dia.
Benar-benar banyaklah pelajaran yang kita dapatkan di masjid. Masjid benteng akidahnya umat Islam. Jika ramai masjid dengan berbagai kegiatan ibadah, bergemalah syiar Islam. Tapi jika masjid sepi, hilanglah kebesarannya di mata orang. Ramadhan ini, tentulah bulan untuk menggemakan kembali syiar Islam di masjid. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar