Senin, 26 April 2010
CATATAN TIGA HARI DI SEMEULUE: Dari Diskusi Jurnalistik Hingga Kagumi Pantai Babang yang Eksotik
Oleh: Muhammad Subhan
BANDARA Lasikin Pulau Simeulue masih basah ketika pesawat penumpang Susi Air berukuran kecil mendarat di landasannya Jumat, 16 April 2010, pagi itu. Jam baru menunjukkan pukul 7.45 WIB. Belum tampak aktivitas yang terlalu mencolok. Hanya beberapa petugas bandara dan penyambut tamu terlihat di ruang tunggu.
Inilah pertama kali saya menjejakkan kaki di Pulau Simeulue, Provinsi Aceh setelah sekian lama kerinduan itu membuncah dalam jiwa saya. Selama ini Simeulue hanya ada dalam mimpi-mimpi saya. Dan alhamdulillah mimpi itu terwujud setelah Pemimpin Redaksi Surat Kabar Simeulue (SKS) Awaluddin Kahar mengundang saya secara pribadi dalam rangka memberikan pelatihan jurnalistik sebagai upaya meningkatkan SDM karyawan dan wartawan SKS yang ia pimpin. Selain didampingi Bang Awkar–demikian saya akrab menyapa Awaluddin Kahar—ikut pula bersama kami Sekretaris Redaksi SKS Joni Kusma, putra Simeulue yang selama ini beraktivitas di Padang, Sumatera Barat.
Dari dalam pesawat ketika masih di udara, aura eksotisnya Pulau Simeulue telah terlihat. Mengenangkan saya pada Pulau Bali yang beberapa kali pernah saya singgahi. Sama-sama memiliki keindahan alam yang luar biasa. Hanya saja bedanya Bali telah berkembang pesat di sektor pariwisata dan mendatangkan banyak wisatawan, sedangkan Simeulue baru bangkit mengejar ketertinggalannya. Simeulue baru 10 tahun menjadi kabupaten definitif, bagian dari Provinsi Aceh. Tak mustahil kalau beberapa puluh tahun kemudian Simeulue bisa menjadi “Pulau Bali”nya Sumatera.
Tentu saja itu tidak sekedar mimpi. Simeulue memiliki potensi yang layak dikembangkan di sektor pariwisata. Keindahan pantai berbatu karang (pantai Babang), sebagian pantai berpasir putih dan landai (khususnya di Teupah Selatan), kekayaan laut baik lobster, ikan, maupun terumbu karang, serta kemajemukan budaya lokalnya, menjadikan Simeulue bernilai “layak jual”.
Semua potensi itulah yang kiranya menjadi jawaban atas pertanyaan saya selama ini, mengapa sosok Awaluddin Kahar berminat “pulang kampung” lalu membangun media di sebuah kabupaten yang masih muda. Rupanya, tekad pengabdian itu yang menggerakkan hati mantan wartawan Harian Singgalang Padang ini untuk ikut bersama pemerintah daerah mencerdaskan kehidupan masyarakat Simeulue agar melek media dan menggalakkan budaya membaca-menulis di kalangan generasi muda. Tentu saja, daerah-daerah yang berkembang pesat pembangunannya di luar Simeulue, adalah daerah yang masyarakatnya adiksi buku, suka membaca dan menulis.
Upaya mencerdaskan masyarakat lewat media massa ini pula yang mendasari saya tertarik berbagi pengalaman dengan kru SKS selama dua hari, sejak Jumat, 16 April 2010 hingga Sabtu, 17 April 2010, di kantor SKS Jalan Teungku Diujung, Desa Amiria Bahagia, Kota Sinabang. Disinilah saya bertemu langsung dengan wartawan-wartawan SKS yang sebagian besar berusia relatif muda namun punya potensi luar biasa menjadi jurnalis profesional.
Meski baru pertama kali ke Simeulue, namun saya tidak asing dengan kawan-kawan wartawan SKS, sebab sejak 2009 saya diamanahkan Pemred SKS Awaluddin Kahar menjadi editor “jarak jauh” koran ini. Dari Kota Padang Panjang, Sumatra Barat tempat saya tinggal, saya selalu memonitor perkembangan Simeulue melalui berita yang ditulis kawan-kawan. Tiga nama yang cukup saya kenal lantaran produktivitas mereka menulis adalah Tarmizi, Asmadi MS dan Sumadi. Di Simeulue itu saya bersua langsung dengan mereka. Membaca masing-masing karakter, serta berbagi pengalaman di bidang penulisan. Selain mereka, juga ada beberapa wartawan baru dan bagian distribusi/iklan, salah seorangnya Roni Aminesta yang selama di Padang saya cukup dekat dengannya.
Di antara wartawan SKS hanya Tarmizi yang terbilang senior karena ia juga bekerja sebagai koresponden salah satu koran harian terbitan Medan. Di SKS jabatannya sebagai Wakil Pemimpin Redaksi. Tulisannya cukup baik dan sering diangkat menjadi berita utama (headline). Yang paling produktif adalah Asmadi MS, wartawan muda yang energik. Hanya saja dari segi penulisan berita yang ditulisnya masih perlu terus diasah, baik tata bahasa, ejaan, penggunaan kata serapan, maupun efektivitas kata dalam sebuah berita. Namun demikian, Asmadi seringkali menjadi “dewa penyelamat” ketika berita yang akan dilayout jumlahnya kurang. Asmadi inilah yang sering berkoordinasi dengan saya khususnya via telepon seluler. Tentu saja karena jabatannya cukup strategis, yaitu sebagai Koordinator Liputan (Korlip) yang membawahi tugas wartawan SKS lainnya.
Satu lagi wartawan SKS, namanya Sumadi. Oleh kawan-kawannya sering disapa dengan sebutan “Pak Keuchik”. Perawakannya tinggi besar. Murah senyum dan suka bercanda. Meski dalam menulis berita ia mengakui masih perlu banyak belajar, namun saya menilai Sumadi punya bakat jadi wartawan. Satu dua berita featurenya telah dimuat SKS, dan perlahan ia mulai memahami teknik penulisan feature. Yang mengagumkan saya, Sumadi tidak sungkan-sungkan bertanya jika ia benar-benar tidak tahu tentang suatu persoalan.
Selama dua hari itu saya konsentrasi memberikan materi pendalaman jurnalistik, masing-masingnya Teknik Menulis Berita, Kiat Wawancara, Teknik Menulis Feature, dan Foto Jurnalistik. Selain saya, materi juga diberikan Pemred SKS, Awaluddin Kahar, khususnya tentang manajemen media sekaligus memberikan motivasi kepada karyawan dan wartawan SKS agar lebih profesional bekerja.
“SKS ini perusahaan kita bersama. Untuk itu harus sama-sama kita hidupi, dengan bekerja bersungguh-sungguh,” ujarnya mengingatkan.
Dalam materi Teknik Menulis Berita saya menekankan pentingnya memasukkan unsur 5W + 1H (apa, siapa, kapan, dimana, mengapa, bagaimana). Unsur ini sangat urgen untuk mengetahui fakta dan data sebuah berita. Bagi wartawan pemula seringkali rumus ini tak diindahkan yang mengakibatkan berita menjadi kering data.
Pada materi Kiat Wawancara, kawan-kawan diarahkan untuk memahami teknik melakukan wawancara yang baik, agar narasumber bebas memberikan jawaban yang diajukan wartawan tanpa merasa diinterogasi. Di antara kiat itu, adalah pentingnya kesiapan wartawan dalam melakukan wawancara, baik siap fisik, mental, membuat daftar pertanyaan, buat daftar janji, dan juga kelengkapan alat tulis/perekam. Tentu akan tidak profesional ketika wawancara berlangsung si wartawan meminjam pena kepada nara sumber.
Dalam hal membuat janji seringkali wartawan tidak disiplin soal waktu. Ketidakdisiplinan ini akan berakibat fatal. Sebab umumnya narasumber dari kalangan pejabat hanya punya waktu sedikit. Mereka orang super sibuk. Maka jika wartawan berjanji akan melakukan wawancara pukul 9.00 pagi, hendaknya telah tiba di lokasi yang dijanjikan sebelum waktu yang ditentukan. Ya, wartawan harus lebih dulu tiba dari orang yang ditunggunya (narasumber).
Dalam materi Teknik Menulis Feature, kawan-kawan diarahkan untuk memahami pentingnya nilai sebuah feature di media massa. Media-media besar seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, tidak pernah meninggalkan feature masuk di setiap lembar halaman koran mereka. Umumnya feature mendapat tempat di kolom bagian kaki.
Secara sederhana, features ialah tulisan kreatif yang dirancang guna memberi informasi sambil menghibur tentang suatu kejadian dan situasi, atau aspek kehidupan seseorang. Features cenderung dipaparkan secara hidup sebagai pengungkapan daya kreativitas, kadang-kadang dengan sentuhan subjektivitas si penulis terhadap peristiwa dan situasi. Bahasa yang digunakan pun khas, bahasa sastrawi, tidak sama dengan berita biasa (hard news, dll). Bahkan, Majalah Tempo hampir seluruh halamannya bergaya feature. Dan yang terpenting, feature lebih awet dan tahan lama dibanding berita biasa.
Materi terakhir adalah Foto Jurnalistik. Disini dijelaskan pentingnya menguasai seluk beluk kamera dan teknik pengambilan foto (fokus). Sebab, layaknya berita, sebuah foto sama nilainya dengan seribu kata. Foto bisa berbicara meski tanpa teks yang menyertai. Namun demikian, pemuatan teks foto bisa lebih mewarnai nilai sebuah foto jurnalistik.
Yang menarik, kawan-kawan juga saya berikan contoh beberapa foto hasil jepretan fotografer dunia yang memenangkan penghargaan Pulitzer, maupun juga foto pemenang Anugerah Adinegoro 2009, yaitu foto korban gempa hasil jepretan fotografer Harian Singgalang Padang, Muhammad Fitrah. Ternyata, hanya dengan keterampilan “mengkodak-kodak” seorang wartawan foto bisa sangat profesional setelah mendapat penghargaan nasional maupun internasional. Wartawan SKS tentu juga mempunyai peluang seperti itu.
Keempat materi itu tentu saja tidak cukup didalami selama waktu dua hari. Saya membaca ketidakpuasan kawan-kawan lantaran singkatnya waktu. Tapi apa hendak dikata, hasrat hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Keempat materi itu setidaknya menjadi pedoman dasar bagi kawan-kawan untuk mengembangkan tulisan yang lebih baik agar pembaca SKS puas dan menjadikan SKS sebagai media referensi di Simeulue.
Usai memberi pelatihan, semua kru SKS rehat di Pantai Babang, sebuah objek wisata yang dibuka TNI melalui kegiatan manunggal. Pantai yang cantik, meski masih banyak kekurangan, seperti tidak adanya pondokan tempat beristirahat pengunjung, MCK dengan air yang memadai, akses jalan masuk yang belum diaspal, serta tidak adanya kios-kios yang menjual minuman, makanan maupun souvenir. Namun yang pasti pantai ini bisa terus dikembangkan dan menjadi salah satu ikon pariwisata Simeulue.
Waktu yang tersisa sehari kami habiskan di Teupah Selatan, kampungnya Joni Kusma, salah seorang kawan saya. Inilah daerah yang menjadi pusat tsunami pada 26 Desember 2004 silam. Kami berangkat malam hari melintasi jalan sisi pantai yang gelap. Awaluddin Kahar berboncengan dengan Joni Kusma, sedangkan saya sendiri dibonceng Roni Aminesta. Perjalanan yang mencekam dan membutuhkan waktu lebih kurang sejam. Yang lebih fatal, motor yang saya boncengi tidak berlampu depan, untung saja sepeda motor kami diiringi motor yang dibawa Joni Kusma.
Yang mendebarkan, malam itu kami juga melintasi pemukiman yang tak lagi dihuni penduduknya. Terlihat di kiri kanan jalan rumah-rumah kosong, gedung sekolah, dan juga masjid dalam kondisi tak terawat. “Dulunya pemukiman disini ramai, sekarang sudah ditinggalkan pascatsunami,” ujar Joni Kusma. Jelas saja ditinggalkan, karena pemungkiman itu dekat laut, dan pusat gempa serta tsunami enam tahun lalu. Hanya saja masyarakat Simeulue punya kearifan lokal dalam kesiagaan menghadapi gempa dan tsunami. Saat terjadi gempa besar semua penduduk lari gunung menyelamatkan diri, sehingga saat terjadi tsunami korban jiwa tidak seberapa.
Di Teupah Selatan inilah kami bermalam, di rumah orang tua Joni Kusma. Makan gulai ikan yang masih segar. Lalu paginya menanti kedatangan fajar yang menyingsing di ufuk timur. Lanscap alam yang sangat indah. Menggundang rasa yang mengharu biru. Mendatangkan kedamaian.
Hingga Minggu, 18 April 2010, siang, saya dan Awaluddin Kahar harus meninggalkan Simeulue, bertolak ke Medan lalu ke Banda Aceh. Di Bandara Lasikin Sinabang, ketika pesawat Susi Air meninggalkan landasan, ada perasaan yang tak bisa saya lukisan dengan kata-kata. Entah mengapa, saya merasa rindu untuk berlama-lama disini.
Dan, dari dalam pesawat yang terbang rendah, saya melihat seolah pulau itu melambai-lambaikan tangan meminta saya datang kembali. Ya, Simeulue Ate Fulawan, suatu saat saya berjanji akan datang lagi, meski entah kapan. []
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar