Oleh: Muhammad Subhan
ENTAH di mana, suatu kali saya pernah membaca sebuah tulisan seorang filsuf. Katanya, ‘kematian seribu orang adalah statistik, sedangkan kematian satu orang adalah tragedi’.
Sebuah ungkapan yang menarik saya kira. Kalimat itu tiba-tiba saya ingat ketika kematian seorang lelaki berusia 41 tahun dan dianggap ‘tidak waras’ saya baca di koran. Tidak headline memang, tapi berita itu begitu menggugah. Hampir setiap tempat yang saya kunjungi kemarin, orang-orang pun membincangkan soal itu.
Syahdan, disebutkan lelaki itu mulanya diantarkan orang ke Padang Hijau, Gadut. Tak jelas di mana pula lelaki yang dianggap berpanyakit gangguan jiwa itu ditemukan. Warga Padang Hijau resah, diantar pula lelaki itu ke Mapolresta Bukittinggi.
Nasib baik, memang, kadangkala jarang berpihak pada orang-orang susah. Di Mapolres, lelaki itu ‘diopor’ pula ke Kantor Dinas Sosial setempat. Mungkin, soal penanganan orang-orang terlantar, Dinas Sosial-lah yang bertanggung jawab.
Untung tak dapat diraih, rugi tak pula dapat di tolak. Mungkin sudah takdir, lelaki itu menghembuskan nafasnya di Kantor Dinas Sosial, tempatnya terakhir ‘diopor-opor’ orang. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun.
Oleh Dinas Sosial, jenazah lelaki malang itu diantar pula ke RSAM Bukittinggi. Tiga hari lamanya, jenazah lelaki itu membisu dalam hening dan dinginnya kamar jenazah RSAM Bukittinggi.
Kemarin, pihak keluarga dari mayat lelaki di RSAM yang kemudian diketahui bernama Khairulman alias Buyung, datang menjemput jenazahnya. Almarhum Khairulman dibawa pulang ke kampung halamannya di Padang Pariaman. Tak ada pengibaran bendera setengah tiang, karena lelaki itu ‘bukan siapa-siapa’.
Konon pula, usut punya usut, ternyata Khairulman adalah mantan fotografer amatir di Taman Margasatwa Kinantan. Hampir semua teman seprofesinya kenal dengan ‘lelaki baik itu’. Hanya saja, konon pula ia kehilangan kamera sehingga tak bisa lagi bekerja. Malang menimpa, penyakit ayan hinggap pula di tubuhnya.
Sampai kini, belum ada yang bertanggung jawab atas kematian lelaki malang itu. Konon, pihak kepolisian akan memintai keterangan beberapa saksi terkait kematian orang yang telah lama menjadi warga kota ini.
Susah memang menjadi ‘orang susah’. Apalagi, sampai dianggap orang tidak waras. Kematian yang menimpa almarhum Khairulman, mantan tukang ‘kodak-kodak’ itu, adalah sebuah ‘tragedi’ yang memilukan.
Di kota manapun di negeri ini, saya lihat, penanganan terhadap orang-orang terlantar, anak jalanan, fakir miskin, apalagi orang tidak waras, begitu sangat lemah. Kadang pula, saya malu membaca Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat 1 yang menyebutkan, ‘fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara’. Kenyataannya, semua ‘orang-orang susah’ itu seringkali terlantar dan ‘tak terpelihara oleh negara’.
Di Bukittinggi, pemerintah kotanya, saya kira, turut pula bertanggung jawab atas tragedi kematian lelaki malang itu. Lemahnya penanganan Dinas Sosial terhadap orang-orang terlantar, membuat kota ini, mau tidak mau, harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ‘orang-orang terlantar’ akan terus bertambah setiap hari. Dan, mereka akan menjadi ‘pemandangan’ baru kota yang sangat ‘cantik’ ini.
Jika mau jujur, kadangkala, sulit kita ‘memanusiakan manusia’. Dan, sulit pula kita tidak menyusahkan ‘orang susah’. Padahal, sesungguhnya, orang yang kita anggap susah dan terlantar itu, adalah juga manusia. []
(Dimuat di Haluan, kolom Detak Jam Gadang Bukittinggi, 25 januari 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar