Oleh: Muhammad Subhan
TERBAKARNYA Ustano Basa Pagaruyung di Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Tanah Datar, banyak orang mempredeksi sebagai awal bencana demi bencana yang terjadi di Sumbar. Sepekan paska kebakaran Ustano yang kini di polemikkan banyak pihak, gempa bumi berkekuatan 6,2 SR menguncang Sumbar.
Musibah yang tak diduga itu, mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia, ratusan luka-luka, ribuan rumah dan fasilitas umum rusak, tak terkecuali masjid dan musalla, roboh pula dihoyak gempa.
Ustano Pagaruyung terbakar pada Selasa (27/2/2007), dan gempa besar mengguncang Sumbar juga pada Selasa (6/3/2007). Bedanya, Ustano terbakar pada Selasa malam, sedangkan gempa terjadi pada Selasa siang. Saya tak dapat membayangkan jika gempa terjadi pada malam hari, ketika masyarakat lelap dalam mimpi, entah berapa nyawa pula yang melayang. Beryukurlah karena Tuhan masih sayang pada kita.
Sebelum Ustano terbakar, banyak orang tua di Pagaruyung kaget melihat ribuan lebah yang bersarang di bawah atap bagian depan Ustano menghilang. Pergi entah kemana. Peristiwa itupun menjadi pertanda bahwa akan ada musibah besar yang menimpa Tanah Datar, Sumbar umumnya.
Wartawan Kompas Yurnaldi jauh hari sebelum terbakarnya Ustano menulis tentang keberadaan lebah itu yang menarik perhatian pengunjung. Lebah yang akrab dan tak mengganggu orang-orang yang datang mengagumi keindahan Ustano. Bahkan, Puti Reno Raudha Thaib yang diwawancarai Yurnaldi mengatakan, jika lebah itu berpindah tempat akan ada pertanda buruk, ada bencana yang akan datang.
Wallahu a’llam. Tak ingin saya mengkait-kaitkan soal perginya lebah dan terjadinya kebakaran Ustano yang sepekan kemudian Sumbar dihoyak gempa. Namun, semua perestiwa yang terjadi itu, setidaknya mengingatkan kita bahwa bencana yang diturunkan Tuhan terkait erat dengan perbuatan manusia, hamba-hamba-Nya.
Gempa di Sumbar memang tak sedahsyat gempa 6,8 SR disusul tsunami yang terjadi di Aceh tiga tahun silam. Ratusan ribu nyawa manusia melayang di Aceh. Takjubnya, ribuan masjid yang dihoyak gempa dan dihantam tsunami tetap berdiri kokoh, utuh. Lalu masjid pun dijadikan tempat berlindung.
Di Sumbar, gempa tanpa tsunami telah merobohkan banyak masjid. Bahkan jemaah yang menunaikan salat di dalam masjid, nyaris di”impok” reruntuhan masjid. Beberapa hari lamanya, orang ‘tak berani’ mendatangi masjid.
Dan, paska gempa di Sumbar, timbul bencana baru yang lebih dahsyat; “gempa pemikiran” (istilah saya—red). Nyaris, hampir setiap hari, baik di media massa maupun di lapau-lapau, orang meributkan soal pembangunan kembali Ustano. Tampaknya Ustano lebih penting daripada Masjid Agung di Padang yang entah kapan pula mulai dibangun.
Yang lebih parah, “gempa pemikiran” itu sudah melangkahi norma-norma keintelektualan yang bermuara pada hujat-menghujat, caci memaki, dan fitnah memfitnah. Sayangnya, pemerintah sebagai pihak yang ‘netral’ belum pula bersuara untuk menengahi.
Padahal, sebagai orang Minang, budaya duduk mufakat, “raso jo pareso, kato nan ampek, maluruihan nan kusuik”, sangat dijunjung tinggi. Begitupula, “mancaliak ka nan sudah”—musibah gempa yang terjadi—hendaknya menjadi bahan perenungan, bukan olok-olokan yang mengundang ‘gempa-gempa’ baru. Dan, kita berharap, dengan perenungan itu, berjayalah kembali “Minangkabau”! []
(Dimuat di Kolom Refleksi Koran Harian Haluan, 28 Maret 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar