Kamis, 10 Februari 2011

Prosa dan Semesta Luka

Oleh Damhuri Muhammad

SEJUMLAH pengamat sastra menuding “warna-lokal”─sebagai ultimate concern prosa yang muncul sejak beberapa tahun belakangan─tak lebih dari sekadar kerja ornamentasi dengan memancangkan diktum, terminologi, bahkan peribahasa khas lokal dalam teks, hingga sebuah prosa memerlukan sederetan catatan kaki guna menjelaskan maksudnya. Sebutlah misalnya, kumpulan cerpen Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (2009) karya Ragdi F Daye, yang penuh-sesak oleh ungkapan khas Minangkabau semacam “melepongkan,” ‘basilemak,” dan “manggoro,” yang bila tidak merujuk pada glosarium yang terukur tentulah bakal membuat kening pembaca berkerut─utamanya pembaca berlatar belakang non-Minangkabau. Modus dan siasat literer serupa juga dapat ditemukan dalam Bulan Celurit Api (2010) karya Benny Arnas, dengan diktum khas melayu Lubuk Linggau (Sumsel) seperti “Singup,” “Pudur,” dan “Tarup.” Begitupun diksi khas Bugis yang berseliweran dalam antologi cerpen “Mengawini Ibu,” (2011) karya Khrisna Pabichara.

Sekilas-pintas klaim itu barangkali ada benarnya. Namun, bila ditelisik lebih menukik, “warna-lokal” tidaklah sesederhana sebagaimana yang diduga. Mewabahnya jenis prosa dengan ekspresi estetik yang tegak-berdiri di atas “warna-lokal” sejatinya bukan tanpa sebab, tidak taken for granted, sebagaimana wejangan yang meluncur dari langit ke tujuh. Sebab paling absah adalah karena realitas “Indonesia” yang selama berkurun-kurun hendak diniscayakan sebagai fondasi kepengarangan para sastrawan bertumpah-darah Indonesia, kini rapuh─untuk tidak menyebut “telah runtuh.” Megaproyek yang dirancang oleh para founding of the fathers guna memancangkan “Indonesia” sebagai realitas universal telah gagal. Tak disangkal bahwa secara teritorial realitas “Indonesia” masih terang-benderang, tapi secara kultural, adakah seorang pakar yang sanggup membulat-lonjongkan sebuah definisi tentang “kebudayaan Indonesia?” Alih-alih mengunci sebuah pemahaman yang paripurna tentang Indonesia sebagai entitas universal, yang kerap bersilang-pintang dalam keseharian kita adalah Indonesia rasa Jawa, rasa Makassar, rasa Toraja, rasa Batak, rasa Aceh, dan seterusnya. Maka inilah sebuah kurun tempat segala bentuk totalitas dan universalitas dirobohkan. Sebuah episode sejarah ketika segala rupa partikularitas terus-menerus menyesak, “yang pinggiran” senantiasa merangsek masuk, “yang terabaikan” bermunculan seperti cendawan musim hujan.

Kaum filsuf pasca-modernisme menyebut “yang partikular,” “yang pinggiran,” “yang tak terperhatikan” itu sebagai “yang lain” (the others). Bagi mereka, entitas “yang lain” (Minang, Batak, Bugis, Banjar, Toraja, dll) itu harus di-“afirmasi,” diakui, dihargai keberadaannya. Bila tidak, ia akan terus mengancam, dan menjadi benalu dalam entitas universal bernama “Indonesia” itu. Dalam kacamata pasca-modernisme, tidak ada pusat, tidak ada pula pinggiran. Semuanya berjalin-kelindan dalam sebuah jejaring permainan tanda bernama: Simulakra. Tak ada makna tunggal dalam lingkaran Simulakra. Sebab, makna selalu tenggelam─atau menenggelamkan diri─dalam keberbagaian pengalaman baca dan tafsir yang tiada berhingga. Differance, begitu Jacques Derrida (1930-2004) menamai kompleksitasnya.

Maka, baik “Indonesia” maupun “warna-lokal” tidak sebatas kata-kata, bukan pula benda-benda, artefak, melainkan “peristiwa” yang terus berubah, bermetamorfosa, beralih-rupa, dan oleh karena itu, akan terus ditunda kuasa tafsir tunggalnya. Di-“dalamkurungkan” semua asumsi dan presuposisi tentangnya. Epoche, begitu fenomenolog Edmund Husserl (1859-1938) menamainya. Namun, bila teks prosa melulu disibukkan oleh hasrat asali hendak merobohkan fondasi dan kedigdayaan pusat atau “yang universal,” sebagai karya artistik, di manakah pendekatan estetik dapat dilekatkan? Ini pertanyaan yang perlu segera didudukkan, karena selama ini terminologi “estetika” selalu identik dengan ukuran indah-buruk. “Estetika” berasal dari kata “aesthesia” yang berarti “kesadaran” (sensibility). Di dunia medis, kita mengenal suntikan “an-aesthesia” (“hilangnya kesadaran)” bagi pasien yang akan dioperasi. Berangkat dari situ, filsuf Jacques Ranciere dalam Disensus, On Politics and Aesthetics (2010) menegaskan bahwa estetika tidak ada hubungannya dengan parameter indah-buruk. Maka, seni yang berpijak pada fondasi “mimetik” (Plato) dan fondasi “etic” (Arisoteles), bagi profesor bidang estetika di Ecole Normale Superieure, Paris itu sudah lapuk. Ranciere menyebut orientasi “mimetic” dan “etic” dalam ekspresi seni sebagai aesthetic regime of art, dan karena itu harus dirobohkan. Baginya, dunia seni tidak lagi berperan menggambarkan realitas fakta-fakta keras, atau mengejar konsekuensi etis bagi para penikmatnya, melainkan sebagai upaya meredistribusikan kesadaran (redistribution of sensibility), termasuk kesadaran melawan aesthetic regime of art, dan kuasa tafsir tunggal.

Novel Rinai Kabut Singgalang (2011) karya Muhammad Subhan ini sedang meredistribusikan kesadaran terhadap luka personal untuk kemudian menjadi luka yang jamak dirasakan para pembacanya. Disebut “meredistribusi,” karena sebelum dituliskan, luka itu telah terdistribusi ke dalam imaji pengarang. Kata “rinai” pada redaksi judulnya mengingatkan saya pada sebuah lagu pop Minang bertajuk Rinai Pembasuh Luka. “Rinai” yang secara harfiah berarti “gerimis” tampaknya diarahkan pada maksud metaforik: membasuh luka yang bakal terus berdarah. Betapa tidak? Peristiwa luka yang dialami Fikri (tokoh utama) seperti menapaktilasi kembali luka yang pernah dialami ibu-bapaknya di masa lalu. Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Padang) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekat menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang,” “orang di pinggang,” yang tak berurat-berakar. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orangtua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa, lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.

Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Diceritakan, Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Di titik ini, ada perubahan paradigmatik dalam konsep merantau. Bila di masa lalu, merantau adalah pergi menuju sesuatu, tapi perantauan Fikri adalah sebuah ikhtiar meninggalkan sesuatu; luka. Riwayat perjalanan Fikri dimanfaatkan pengarang untuk merekam jejak-luka yang pernah menimpa ibunya, Maimunah. Di Pasaman, Fikri sempat merawat paman Safri─di Padang disebut “mamak─yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh─dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima─utamanya Ningsih (kakak Rahima)─bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang,” “orang di pinggang.” Menurut hemat saya, alibi yang mengatasnamakan adat itu tampaknya tidak lagi terlalu penting, sebab alasan inti dari penolakan itu adalah karena Fikri laki-laki miskin. Di titik ini pengarang tidak saja melakukan redistribution of sensibility, tapi juga berupaya mengekalkan persepsi tentang luka itu dari pangkal hingga ujung novel ini. Jacques Ranciere menyebut upaya kreatif semacam ini sebagai petrification, membatukan pengalaman personal untuk menjadi kesadaran orang banyak.

Dari sisi kebaruan, novel ini belum terlalu menjanjikan. Sebab, eksplorasi tematiknya lebih banyak bergelimang dengan hal-ihwal usang yang dalam roman-roman karya pengarang Minang tahun 40-an sudah ramai diperbincangkan. Sebutlah misalnya roman-roman karya Buya Hamka seperti Merantau Ke Deli (1940) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939). Garis identifikasi tematiknya lebih kurang sama, meski latar-tempatan dan waktu pengisahannya berbeda. Sebentuk stok baru dari barang lama. Namun, pencapaian estetika novel tentu tidak bisa ditimbang semata-mata dengan aspek kebaruan. Oleh karena itu, kedalaman galian Rinai Kabut Singgalang, sesungguhnya dapat ditandai dengan upaya Muhammad Subhan dalam mempertahankan identitas roman berlatar alam Minangkabau yang belakangan mulai terabaikan. Nestapa cinta Fikri dan Rahima boleh jadi setali tiga uang dengan kasih tak sampai Zainudin dan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tapi romantika semacam ini dapat mengingatkan kembali bahwa keistimewaan roman berlatar lokalitas Minangkabau memang dapat tertandai di titik ini. Resistensi terhadap adat-istiadat, ketersingkiran kaum laki-laki lantaran kuatnya tikaman “garis ibu,” dan konsep keterusiran yang dilemah-lembutkan dengan terminologi “merantau.” Muhammad Subhan, sedang berusaha melakukan konservasi ingatan dan kenangan terhadap peristiwa-peristiwa penting yang terus bergejolak di bawah permukaan.

Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluhlantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas megabencana Gempa dan Tsunami (2004). Anisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan, begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak? Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong suaminya ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam keterpiuhan perasaan. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak kepedihan.

Penggambaran semesta kepiluan dan dukalara Fikri yang begitu dramatik─Fikri bahkan sempat berkeinginan menenggelamkan dirinya ke laut─dan sesekali berpola sinetronik, menurut hemat saya bertolak belakang dengan militansi dan watak pantang-menyerah laki-laki yang tumbuh-besar di bumi Serambi Mekah. Pada bagian eksplorasi kesedihan, Fikri tampak sebagai laki-laki yang gampang sekali menangis dan berlarut-larut dalam kesedihan. Sangat berbeda dengan watak Sidan, tokoh rekaan dalam Nirzona (2008), novel berlatar Aceh karya Abidah el-Khalieqy. Keras, tangguh, dan tak gampang dihempas gelombang.

Padahal, di penghujung kisah, Fikri menjadi laki-laki yang terlahir kembali. Ia pengarang tersohor, bahkan salah satu novelnya akan dilayar-lebarkan. Alur kisah yang mengingatkan saya pada ketokohan Zainudin dalam Tenggelamnya Kapal Vander Wick, yang pada akhirnya sukses sebagai dramawan terkemuka. Pada salah satu bagian tentang keberhasilan Fikri dituliskan “Hamka baru lahir kembali di Padang,” memperlihatkan obsesi kepengarangan yang terdorong oleh kekaguman pada riwayat kepengarangan Buya Hamka. Kabar tentang keberhasilan Fikri membuat Ningsih (orang yang telah memisahkannya dengan Rahima), tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Lagi pula, pada saat yang sama, Rahima sedang tertimpa masalah; suaminya menjadi tersangka korupsi, dan bunuh diri di penjara. Sejatinya, rasa cinta Fikri pada Rahima tiada bakal punah, meski pengkhianatan itu sukar ia lupakan. Atas dasar itu pula Fikri memenuhi undangan Ningsih untuk datang ke Jakarta, perempuan itu hendak mempertemukan kembali “kasih tak sampai” yang telah membuat perasaan Fikri-Rahima tercabik-cabik. Namun, novel ini disudahi dengan cara sangat tragis, kepulangan Ningsih, Rahima, dan Fikri bukan kepulangan yang membahagiakan. Pesawat yang mereka tumpangi tergelincir. Rahima selamat, tapi Fikri mengalami geger-otak, dan karena itu ia merasa tak memenuhi syarat lagi untuk menjadi suami Rahima. Ia meminta sejawat karibnya, Yusuf, untuk menikahi Rahima. Saat ijab-kabul pernikahan itu berlangsung, Fikri menghembuskan napas penghabisan. Begitulah. Lantaran pada mulanya luka, pengarang pun menimbun romantikanya dengan luka.

DAMHURI MUHAMMAD
Cerpenis, esais Alumnus Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada Bermukim di pinggiran Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar