Oleh: Muhammad Subhan
Rakyat Aceh mungkin tak akan pernah lupa dengan ketidakadilan demi ketidakadilan yang dilakukan “Jakarta”. "Penganaktirian" lebih dari 30 tahun. Ketidakadilan yang menoreh bekas luka yang sulit sembuh. Bernanah. Berdarah. Dan menyisakan trauma berkepanjangan, ketika itu.
Sejarah mencatat—namun sering dilupakan—tentang Presiden RI Soekarno yang menangis menghiba-hiba, meminta rakyat Aceh agar membantu perjuangan Republik melawan imperial Belanda. Tapi ketika Gubernur Aceh Daud Buereueh meminta Soekarno membuat pernyataan tertulis seandainya Indonesia merdeka akan dilaksanakannya Syariat Islam di Bumi Aceh, dengan manis Soekarno berkata: “Kanda, tiada percayakah Kanda akan niat tulus Adinda?”
Daud Buereueh terenyuh. Soekarno menang. Republik mendapat bantuan berkilo-kilo emas murni sumbangan rakyat Aceh untuk menyokong perjuangan Republik. Dua pesawat udara (Seulawah Agam dan Seulawah Inong) dibeli. Akhirnya Republik merdeka. Namanya Indonesia Raya.
Namun di lain kesempatan, di hadapan ribuan pendukungnya di Sulawesi, Soekarno pidato berapi-api, “Tak ada Syariat Islam di Indonesia, termasuk di Aceh!”
Dek! Rakyat Aceh tersentak. Daud Buereueh berang dengan pernyataan Soekarno yang telah meludahi wajahnya. Daud Buereueh dengan pendukungnya pun berontak. Namanya DI/TII. Pemberontakan gerilya berpuluh-puluh tahun. Menelan ribuan korban jiwa rakyat Aceh, dan juga tentara-tentara Jakarta.
Soekarno mangkat, Jenderal Soeharto naik tahta. Ternyata, tak juga perubahan dirasakan rakyat Aceh. Penderitaan semakin berat. Luka semakin tersayat-sayat. Mengiris-iris bagai sembilu di dada rakyat Aceh.
Soeharto memang sukses menumpas DI/TII. Tapi Soeharto tak pernah bermimpi bisa melumpuhkan perjuangan gerakan pemberontak baru di Aceh yang menamakan diri mereka GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Pentolan-pentolan GAM seperti Hasan Tiro (cucu pahlawan Teuku Tjik Di Tiro—pen) meminta restu pada Daud Bereueh untuk meneruskan perjuangan DII/TII yang telah mengarah pada upaya mewujudkan Negara Islam Aceh Merdeka.
Soeharto tak hilang akal, DOM (Daerah Operasi Militer) Jilid I dan DOM Jilid II pun digelar. Puluhan ribu tentara dikirim ke Aceh. Dari berbagai satuan dan bermacam nama operasi. Yang terkenal adalah Operasi Jaring Merah yang disinyalir telah melakukan pembantaian besar-besaran di Aceh.
Bukti pembantaian itu, seperti dilaporkan Komnas HAM dan Kontras, hampir di setiap tempat bumi Aceh ditemui kuburan massal. Korban penculikan, penembakan, pemerkosaan dan penyiksaan.
Di masa Soeharto ini pula, kekayaan Aceh dikeruk habis-habisan untuk memakmurkan "Jakarta". Gas Elpiji Arun LNG, Pabrik Pupuk Asean, Pabrik Pupuk Iskandar Muda, Exon Mobil, Pabrik Kertas Kraf di Aceh Utara, Tambang Emas di Aceh Barat, Pabrik Semen di Aceh Besar, perkebunan di Aceh Tengah adalah barang tambang sah milik rakyat Aceh yang tak pernah dinikmati. Aceh yang kaya, tapi rakyatnya miskin dan menderita. Pekerja-pekerja perusahaan tambang itu didatangkan dari Jawa, sementara pemuda-pemuda Aceh dicurigai terlibat sebagai Gerakan Seperatis Aceh (GSA) dan diburu sampai ke hutan-hutan.
Bukti lainnya di masa DOM, tepatnya di Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie, tersebutlah sebuah kampung yang bernama “Kampung Janda”. Dinamakan Kampung Janda karena di kampung ini hanya dihuni kaum janda yang telah ditinggal pergi oleh suami mereka, baik karena diculik, hilang, ataupun dibunuh. Masa itu berlangsung sejak 1991-1996. Ya, nyaris kosong laki-laki. Hanya ada 9 laki-laki tua dan anak-anak yatim yang tak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah.
Reformasi bergulir, Soeharto lengser ke prabon. Lalu muncullah presiden Indonesia baru, bertubuh kecil tapi berotak jenius. Namanya BJ. Habibie, sang pembuat pesawat terbang.
Habibie yang cerdas diharapkan bisa memberi pencerahan bagi kesejahteraan rakyat Aceh. Benar, Habibie pun mengeluarkan maklumat 9 janji, diantaranya membuka Pelabuhan Sabang menjadi pelabuhan bebas, membuat jalan rel kereta api di Aceh, dan mempekerjakan kembali pemuda-pemuda Aceh pada perusahaan-perusahaan provit di Aceh.
Tapi janji Habibie sekedar janji. Sabang masih tetap sepi. Malah Batam yang dulunya gersang sekarang dikembangkan. Begitupun dengan pembuatan rel kereta api yang menghubungkan Aceh dan Sumatra Utara, belum juga kunjung rampung. Bahkan, saking lamanya menunggu, beberapa oknum warga Aceh malah mempreteli rel-rel besi itu kemudian menjualnya ke tukang loak dengan harga kiloan.
“Miseu hana geutanyo publo, ngon pue lom kamoe pajoh bu? (Kalau tidak dijual dengan apa lagi kita makan nasi?)” ujar seorang pemuda dengan logat Aceh yang kental.
Habibie tak lama menjabat presiden. Lalu muncullah pemimpin baru. Dia seorang Kyai, namanya Abdurrahman Wahid atau sering disebut oleh pendukungnya Gus Dur.
Terpilihnya Gusdur kembali menjadi harapan baru bagi rakyat Aceh. Keadaan memang sedikit tenang ketika itu. Tapi ternyata tidak berlangsung lama. Perang masih terus berkecamuk di Aceh. Apalagi ketika Sang Kyai kontroversial ini mengeluarkan statmen bahwa dirinya adalah “Nabi Orang Aceh”.
Melihat berbagai pemikiran kontra Gus Dur itulah, keadaan kembali semrawut. Tak hanya di Aceh, hampir di seluruh wilayah Indonesia, mahasiswa meminta Gus Dur agar turun dari jabatannya sebagai presiden.
Peluang itu pun dimanfaatkan oleh orang-orang PDIP, tepatnya kubu Megawati Soekarnoputri yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Presiden. Politik pun kian bermain. Akhirnya Gusdur berhasil dilengserkan dalam Sidang Istimewa (SI). Tapi Gusdur tidak pernah mengakui pelengseran dirinya. Sampai sekarang Gus Dur mengaku dirinya sebagai Presiden Indonesia.
Mega naik. Dialah satu-satunya perempuan Indonesia pertama yang menjadi presiden Republik ini. Khusus untuk Aceh, dengan senyumnya yang khas ia lontarkan sebuah kalimat, “Jika ‘Cut Nyak’ yang memimpin bangsa ini, maka tidak setetes darah pun akan tumpah lagi di Aceh!”
Kalimat Mega itu tetap diingat oleh rakyat Aceh. Tapi lagi-lagi Mega hanya pandai berhias bibir. Ocehannya lips service. Lipstik! Di masa kepemimpinannyalah darah paling banyak tumpah di Aceh. Bukan lagi setetes, tapi sudah menjadi telaga darah dan air mata yang membanjiri bumi suci Aceh. Dimasanya juga puluhan ribu tentara dikirim ke Aceh, berdalih memburu GAM dan menciptakan keamanan. Tapi bukannya aman, malah bertambah runyam. Mega kalah dalam Pemilu 2005. Mantan menterinya naik menggantikan posisinya. Nama presiden baru itu Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lagi-lagi ada secercah cahaya baru untuk Aceh. SBY yang kharismatik, bijaksana, dan bertekad mengembalikan Aceh menjadi negeri yang aman.
Namun, belum genap setengah tahun kepemimpinannya, musibah besar melanda Aceh. Gempa bumi dan tsunami. Lebih 120 ribu rakyat Aceh tewas menggenaskan. Dua kekuatan besar di Aceh, TNI dan GAM teresentak. Tuhan murka!
Bencana yang menimpa Aceh itu menjadi musibah nasional Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan.
Tapi siapa sangka, gempa dan tsunami menjadi sejarah baru bagi Aceh menuju perdamaian. Bercermin pada musibah itu pula serta melihat penderitaan rakyat Aceh yang berkepanjangan, Senin, 15 Agustus 2005 silam, di Helsinki, Finlandia, dua hari menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, babak barupun dimulai. GAM dan RI berdamai. Nota Kesepahaman (MoU) damai ditandatangani. Jutaan rakyat Aceh sujud syukur. Indonesia tersenyum.
Tapi yang pasti, sejarah akan tetap menjadi saksi dan sulit dibohongi. Bahwa di Aceh pernah ada penindasan, pembantaian, pemerkosaan, pembunuhan, dan juga air mata yang belum juga kering ketika mengenangnya kembali.
Harapan rakyat Aceh—yang tampaknya setiap waktu akan terus berharap—damai benar-benar menebar di Aceh. Jangan ada lagi “pengkhianatan”. Sebab pengkhianatan akan selalu menyisakan dendam yang tak kunjung padam.
Dan, ketika Pemilu Presiden lalu, jutaan rakyat Aceh menentukan pilihannya, dan SBY-Boediono meraih 95 persen suara di Aceh, mengalahkan dua kandidat presiden lainnya. Ini membuktikan, besarnya harapan rakyat Aceh kepada presiden untuk terus memperhatikan kesejahteraan rakyat Aceh dan menggalakkan pembangunan di negeri ini, selayaknya negeri-negeri lainnya di Indonesia. SBY-Boediono, sepantasnya mewujudkan mimpi-mimpi rakyat Aceh itu.
Benar kata orang, perbuatan paling sulit adalah memaafkan ketika disakiti. Tapi siapa sangka, sikap memaafkan lebih mulia, karena disanalah letak perbedaan hakiki antara manusia terhormat dengan manusia yang hina dina.
Sebagai seorang yang pernah dibesarkan di bumi Aceh, saya berharap ini kali penghabisan kanak-kanak Aceh bermain asap mesiu, selonsong peluru, pecahan mortir, darah dan air mata. Semestinyalah alaf baru di tanah Tjoet Njak itu bersinar terang menuju hidup yang damai dan penuh kemuliaan. Semoga. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar