Oleh: Muhammad Subhan
Pak Natsir (Muhammad Natsir), andai saja ia masih hidup, bisa jadi tak pernah berfikir ia akan mendapatkan gelar pahlawan. Hidup dan pengabdiannya semata tulus untuk membangun bangsa, membela keyakinan agama. Dan, ketika gelar pahlawan itu diberikan negara kepadanya, bukan saja harus disyukuri oleh masyarakat Sumatera Barat, namun hendaknya jejak perjuangan beliau menjadi anutan bagi generasi bangsa, sepeninggalannya.
Siapapun tahu, Natsir melalui "mosi integral" telah mengembalikan Indonesia dari Republik Indonesia Serikat (RIS) ke Republik Indonesia. Natsir pula yang menyatukan kembali NKRI tanpa ada satu peluru yang ditembakkan, tanpa ada setetes darah yang tertumpah dan tanpa ada satu pun yang merasa kehilangan wajah.
Natsir "pulang" ke Sumatera Barat, kemudian masuk hutan bersama gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), bukanlah karena niatnya untuk memberontak kepada NKRI, bukan pula hendak merebut kekuasaan negara yang dipimpin Soekarno-Hatta. Natsir "pulang" semata karena kekecewaannya terhadap "ketidakadilan" yang diciptakan Soekarno ketika antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI) nyaris menguasai istana dan mengendalikan pemerintahan. Dan, PRRI, kalau boleh diibaratkan, sama halnya dengan Gerakan Refomasi Mahasiswa 1998 yang menuntut keadilan, pemerataan pembangunan, dan perobahan kebijakan pemerintah yang dituntut pro kepada rakyat.
Staf Ahli Mensesneg Dadan Wildan Annas kepada wartawan pernah mengatakan, "keterlibatan" Natsir dalam peristiwa PRRI itu harus mengganjal perjalanan sejarah Natsir untuk diakui sebagai pahlawan nasional. Dadan Wildan boleh berkata begitu. Namun setiap zaman akan membuat sejarahnya sendiri seperti halnya Natsir telah melahirkan sejarahnya dan sejarah masa depan bangsanya. Meski sempat menuai pro kontra, akhirnya Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, berkenan memberikan gelar Pahlawan kepada Natsir, yang diterima ahli warisnya pada 7 Nopember 2008 silam di Jakarta.
Dan, Sumatera Barat pantas berbangga mendengar kabar itu. Kabar yang dinanti-nantikan sejak lama, puluhan tahun. Bahkan menurut tokoh Alahan Panjang Hamdi El Gumanti perjuangan agar Natsir diberi gelar pahlawan oleh pemerintah, telah disuarakan sejak masa orde baru. "Kami, di Alahan Panjang, menyambut dengan rasa penuh syukur atas gelar pahlawan untuk Pak Natsir," ujar Hamdi El Gumanti ketika berbincang dengan saya via telepon.
Meski Natsir telah tiada, kenapa Mantan Perdana Menteri Indonesia (1950-1951) itu layak diberikan gelar Pahlawan Nasional?. "Mosi Integral" Natsir agaknya yang pantas menjawab pertanyaan itu.
Dalam buku "Mosi Integral Natsir: Dari RIS ke NKRI", Ketua Panitia Peringatan 100 Tahun Natsir, Laode M. Kamaluddin, memberikan catatan ringkas bahwa Mosi Integral Natsir, adalah sebuah prestasi gemilang dan monumental yang pernah dicapai oleh parlemen Indonesia. Natsir, tulis Kamaluddin, mampu menyatukan kembali Indonesia yang terpecah belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal buatan Van Mook menjadi NKRI yang kita kenal sekarang ini.
Dan, mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda (23 Agustus-2 November 1949). Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah Natsir yang waktu itu Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Natsir menolak jabatan Menpen dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Salah satu alasan Natsir menolak jabatan itu adalah karena ia tak setuju Irian Barat tak dimasukkan ke dalam RIS.
Perdana Menteri (PM) RIS Mohammad Hatta menugaskan Natsir dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir. Selain itu, kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya-maksudnya RI-asal jangan disuruh bubar sendiri.
Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah-daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata "Mosi Integral" dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.
Itulah sosok Natsir. Pantas ia menjadi panutan dan contoh pemimpin yang demokratis di antara banyaknya perbedaan ideologi dan pandangan.
Tak hanya gelar Pahlawan Nasional yang layak diberikan kepada ‘lelaki pilih tanding’ kelahiran Alahan Panjang 17 Juli 1908 itu, namun ia juga pantas dan berhak mendapatkan gelar ‘Bapak Pergerakan Islam Modern’. Ya, karena Natsir adalah tokoh pergerakan Islam yang istiqamah dan konsikuen dalam perjuangan dakwahnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar