
PENGANTAR:
Senin (8/12/2008) besok, seluruh umat Islam Indonesia dan satu setengah miliyar muslim di dunia membahanakan tahmid, takbir dan syukur atas nikmat Allah yang besar. Umat muslim berhari raya dengan datangnya Idul Adha 1429 H. Dari tahun ke tahun Idul Adha selalu datang menjelang. Namun apa sebenarnya hikmah ibadah di hari itu dimana jutaan penduduk dunia juga melakukan penyembelihan hewan qurban? Menjawab pertanyaan itu, wartawan Haluan Muhammad Subhan mewawancarai Penasihat MUI Sumbar Buya H. Mas’oed Abidin. Berikut petikan wawancaranya:
Buya, penyembelihan hewan qurban disebut pula sebagai jihad besar. Apa maksudnya?
Jihad di sini adalah jihad untuk mencari redha Allah, yang dilambangkan dengan penyembelihan hewan qurban. Semata-mata karena hendak menjalankan perintah Allah SWT. Jihad dibuktikan dengan kerelaan berkorban, artinya setiap saat taqarrub ila Allah-menghampirkan diri kepada Allah Yang Maha Besar. Semua pengakuan perlu pembuktian, dengan amal perbuatan seperti yang telah dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail A’laihimas-salam. Kerelaan berkorban inilah namanya jihad besar.
Bagaimana qurbannya Nabi Ibrahim dan Ismail?
Ibadah qurban mengikut millah Nabi Ibrahim AS secara lengkap disebutkan dalam QS.37, Shaffat, ayat 100-113, simbol taqarrub (mendekatkan), tafakkur (memikirkan) serta tadzakkur (mengingat) nikmat Allah, yang telah ditetapkan sebagai manasik bagi setiap umat beriman. Ibadah adalah “persembahan hamba kepada Allah Yang Maha Kuasa” sebagai bukti ketaatan ‘abid (hamba) dalam menunaikan perintah, dan penerjemahan secara hakiki arti ibadah qurban itu. Beberapa ahli fiqh Islam meletakkan ibadah qurban tidak semata sunnat muakkad, bahkan menetapkannya pada taraf wajib bagi yang mampu. Refleksi ibadah ini adalah lahirnya sikap pengorbanan yang tulus, rela, sadar, menjadi bukti tanggung jawab yang tinggi dari makhluk terhadap khaliknya. Allah SWT menyediakan pahala besar dari ibadah ini, “hasanah pada setiap helai bulu ternak yang di korbankan”, dan menjadikan ibadah qurban satu amal paling disenangi Allah di yaumun-nahar (hari qurban), puncak kegembiraan muttaqin. Rasakan betapa redhanya Ibrahim a.s. mengorbankan anaknya, dan bagaimana ikhlasnya Ismail a.s dalam melaksanakan perintah Allah, menjadi ruh dari ibadah qurban ini.
Apa makna ibadah di sini?
Makna ibadah adalah lahirnya watak positif sebagai hasil jalinan hubungan komunikatif dengan ma’bud (hablum minallah), membentuk sisi kejiwaan (psychological side-effect) yang tampak pada sikap ikhlas (bersih), redha (siap sedia), shabar (tahan uji), istiqamah (disiplin), qanaah (hemat), jihad (rajin dan berani), taat (setia), syukur nikmat (pandai berterima kasih), yang merupakan dasar-dasar akhlaq mulia yang menjadi tugas pokok risalah keutusan Muhammad SAW.
Apakah ibadah hanya semata untuk Tuhan?
Hakikinya iya. Tapi ibadah juga mengokohkan hubungan mu’amalah atau hubungan sosial kemasyarakatan yang terlihat nyata pada jalinan tugas-tugas kebersamaan (hablum minan-naas), kesediaan meringankan beban orang lain, peduli dengan kaum fuqarak wal masakin, sedia memikul beban secara bersama, hidup dengan prinsip ta’awun (saling menolong, bekerja sama dan sama-sama bekerja). Maka hikmah ibadah pembuktian yang nyata dari tauhidiyah (shalat, nusuk, hidup-mati), ditujukan kepada Allah, dengan sikap prilaku hubbullah, menghidupkan sunnah al muwahhidin, dan membudayakan mawaddah wa rahmah (hubungan kasih sayang sesama manusia), syukur atas nikmat Allah, berarti tunduk, cinta, pengakuan, memuji, redha, mawas diri dengan tafakkur (berfikir) dan tadzakkur (berzikir) atas hidayah-Nya, dan ihsan, bersikap peduli sesama.
Semangat terpuji itu apakah ada korelasinya dengan semangat membangun bangsa?
Ya, amat sangat berguna di dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta, dengan keikhlasan, rela berkorban, semangat persatuan yang kuat, yang diraih dengan mabrur itu. Sejarah bangsa Indonesia banyak terkait dengan perjalanan Haji sampai kini. Sejak mula pertama kali sang Merah Putih berkibar di Padang Arafah (1946), jauh sebelum Haji Miskin, Haji Piobang, Haji Sumanik, dan para mujahid sesudahnya, di antaranya, Syeikh DR. H. Abdullah Ahmad, DR. H. Abdul Karim Amarullah, dan kawan-kawan, diikuti oleh Ilyas Yakub, Muchtar Luthfie, Hamka, dan lain-lainnya. Bahkan sejak abad 11 hingga abad 21 ini–, sambung bersambung tidak terputus, dalam kurun sepuluh abad lamanya. Berbahagialah satu bangsa yang memiliki para Hujjaj yang mabrur, ketika kembali ke kampung halaman, mampu memberi contoh hajjan mabruran, sa’yan masykuran, dzanban maghfuran, dan tijaratan lan-taburan, dengan pengabdian membangun negeri, melawan kemelaratan, peduli terhadap mustadh’afin yang jumlahnya bertambah setiap hari, walau tanah air kita adalah negeri yang kaya, menggapai kebahagiaan tertinggi, maghfirah dan jannah.
Qurban juga wujud seorang muslim mensyukuri nikmat, benarkah Buya?
Benar. Apabila kita tidak mampu memelihara nikmat, demokrasi akan menjadi laknat bertabur tindakan anarkis. Keadaan akan berubah dari terbaik bertukar menjadi terbalik, bertolak belakang 180 derajat. Ujungnya, masyarakat banyak akan dihimpit derita dan nestapa. Ketika itu, penguasa dan pengusaha akan berubah menjadi penindas dan penghisap. Di sampingnya akan tegak berhimpun para cendekiawan yang menjadi penghasut. Mau tidak mau, rakyat jelata terpaksa memikul beban berat, karena posisi rakyat hanya akan menjadi sekedar alat tunggangan untuk mencapai kedudukan semata. Maka, demokrasi tanpa akhlak akan membuka kesempatan kepada pemaksaan kehendak. Padahal ajaran demokrasi menetapkan satu pilihan demi kemashlahatan umat banyak dan terjaminnya kesejahteraan. Maka di sini, peran umarak amat menentukan.
Qurban juga menciptakan rasa kasih sayang sesama muslim?
Ya. Belum sempurna iman seorang muslim sebelum dia mampu menyayangi orang lain (saudaranya), sebagaimana dia menyayangi dirinya sendiri, demikian di antara bimbingan agama yang sudah lama kita ketahui. Makna lebih dalam adalah kebaikan atau kemuliaan seseorang diukur dengan berapa besar kepeduliannya terhadap umat di sekelilingnya. Apakah itu dalam lingkaran RT, lingkungan RW, atau lebih luas lagi sebagai warga kota, provinsi dan Negara sekalipun.
Ukuran kemuliaan lainnya?
Kemulian seseorang dapat juga diukur dari kepekaan hati dalam berbuat baik secara ikhlas terhadap orang-orang lain, yang belum bernasib baik (fuqarak wal masakin), dibandingkan dengan dirinya. Bukti dari semua ini dapat juga terlihat dari bertumbuhnya ruhul infaq (kerelaan berinfaq, bersedekah, membantu, atau menyumbang) bagi kemashalahatan orang banyak, lillahi ta’ala atau semata mencari redha Allah. Karena itu, membayarkan zakat, infaq, dan shadaqah, bagi meringankan beban derita kaum tak berpunya (dhu’afak) sesuai bimbingan Rasulullah SAW, senyatanya adalah satu kewajiban asasi setiap peribadi berpunya, dalam merasakan suatu kegembiraan secara bersama (ijtima’i).
Pesan Buya kepada masyarakat Sumbar?
Sebagai umat yang beradat dengan bimbingan agama Islam, khususnya di Sumatera Barat, dengan adaik basandi syarak, dan syarak basandi Kitabullah sangat dianjurkan memperhatikan keadaan karib kerabat (qarib ba’id), sesuku, sekampung, senagari, bahkan lebih makro adalah kepentingan nasional lebih diutamakan dari kepentingan-kepentingan lainnya, suatu sikap yang mendasari kepedulian dalam berbangsa dan bernegara. Hubbul wathan minal iman, artinya mencintai nagari dan negara adalah bahagian dari iman. Nilai-nilai ini telah melahirkan sikap rela berkorban di masa lalu, sejak 63 tahun Indonesia diproklamasikan, dan atau bahkan sejak ratusan tahun ketika mulai tumbuh cita-cita merintis kemerdekaan Indonesia, mempertahankan karakter bangsa yang bertuhan, dan berbudaya dalam membangun bangsa dan Negara. Mewujudkan masyarakat yang bertangan di atas tidaklah mudah, dan ini satu pekerjaan berat dan besar, karena terlebih dahulu harus ditumbuhkan keberpunyaan dalam arti seluasnya adalah punya harta, punya keinginan, punya kerelaan, punya sikap untuk memberi itu. Memberi adalah suatu izzah (kemuliaan) yang dimiliki oleh aghniya’, yakni orang atau bangsa, yang berpunya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar