Minggu, 03 Januari 2010

Usai Pesta Tahun Baru


Oleh: Muhammad Subhan

Bukittinggi “berpesta” tahun baru tanpa penutupan Jam Gadang seperti tahun lalu. Meski gerimis mengguyur namun orang tetap datang juga ke kota ini. Agaknya, ditutup-tidaknya Jam Gadang tidak membawa pengaruh apa-apa. Masyarakat sudah semakin cerdas bahwa memperingati tahun baru tidak harus di pelataran Jam Gadang. Ya, Bukittinggi sudah menjadi icon agaknya setiap kali pergantian tahun.

Yang istimewa, bersamaan perayaan tahun baru itu, di Lapangan Kantin Bukittinggi dilakukan pula penutupan Pedati Nusantara IX, tanpa hiburan kecuali pemukulan beduk dan doa. Pedati ditutup Walikota Bukittinggi Ismet Amzis dengan memberikan pesan kepada masyarakat untuk tidak berlebih-lebihan dalam merayakan tahun baru.

Ya, tidak sewajarnya masyarakat merayakan malam tahun baru secara berlebih-lebihan apalagi menjadikannya sebagai ajang hura-hura. Sebab, sebagaimana diketahui bersama, bahwa tahun baru Masehi bukanlah tahun baru umat Islam. Disinilah kaum muda kita seringkali terjebak budaya hedonisme yang sedang dikampanyekan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap masa depan generasi muda. Lalu keresahan generasi tua semakin menjadi-jadi melihat produk hedonis itu kian merusak pemimpin masa depan bangsa ini.

Pedati Nusantara kali ini, agaknya, memang tidak sesemarak Pedati di tahun-tahun sebelumnya. Tapi itu wajar, sebab Sumatera Barat masih berduka setelah musibah gempa bumi 7,9 SR menewaskan banyak korban jiwa, khususnya di Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman. Orang luar yang ingin datang ke Sumbar bisa saja masih trauma lantaran Sumbar disebut daerah rawan gempa. Di samping itu, Indonesia juga masih berkabung atas meninggalnya mantan Presiden RI ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berpulang sehari jelang pergantian tahun. Dalam suasana demikian pantas Bukittinggi mengibarkan bendera setengah tiang, juga masyarakat di daerah lainnya untuk menghormati jasa-jasa Sang Guru Bangsa itu. Adalah tidak bijak rasanya, di tengah suasana duka itu, ada sekelompok orang, siapapun mereka, melakukan pesta dan hura-hura di malam pergantian tahun.

Sewajarnya, dengan semua musibah itu, pemerintah dan masyarakat merenung bahwa tahun 2009 yang penuh suka duka itu dilepas dengan doa dan harapan baru di tahun 2010. Menyambutnya tentu tidak dengan melepas mercon, meledakkan kembang api, ataupun meniupkan terompet yang memekakkan gendang telinga. Tapi dengan mentafakuri diri apakah Tuhan masih memberikan sedikit kesempatan kepada kita untuk dapat menjalani hari-hari di tahun ini secara lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Kematian massal yang menimpa saudara-saudara kita korban gempa bumi 30 September 2009 lalu adalah bukti nyata janji Tuhan itu benar adanya, bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Sebenarnya, bukan kematian itu yang dipersoalkan, tapi dengan cara apa kita mati dan apa bekal yang akan dibawa setelah mati. Tentu, kematian bukanlah akhir dari segala-galanya, sebab akan ada kehidupan baru sesudah mati yang tentu saja tak dapat kita jelaskan kondisinya di alam sana.

Andai saja, di malam pergantian tahun baru itu, ketika semua orang berkumpul, berhura-hura, bermaksiat, lalu tiba-tiba saja bumi kembali bergoncang dengan goncangan yang lebih dahsyat, tentu kematian lebih besar akan terjadi. Atau pula, seandainya gunung Merapi yang menghadap Bukittinggi itu meletus dan menghancurkan alam sekitarnya, akankah masih ada terompet yang ditiupkan atau mercon yang diledakkan? Semua itu tidak mustahil terjadi jika Tuhan sudah berkehendak.

Maka, sepantasnya di malam itu, manusia menanyai diri kembali, “dari mana kita datang, di mana kita sekarang, dan kemana esok kita akan pulang”. Inilah pertanyaan inti yang semestinya ada di hati setiap insan, bahwa sesungguhnya kita hanya debu yang beterbangan di bumi fana ini.

Pesta memang sudah usai. Dan, sudahlah. Tak usah dipersoalkan lagi. Sekarang, di tahun yang sebenarnya tidak baru ini—melainkan jatah tahun buat kita semakin berkurang—mari kita tata hidup yang lebih baik. Semoga saja, tidak ada lagi tangis yang tumpah di negeri ini. Semoga saja, tidak ada lagi duka di Ranah Minang ini. Rabbana, kabulkan doa kami. Amin. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar